Tafsir

Gambaran Lain Nikmat Surga

(Tafsir QS al-Insan [76]: 19-22)

۞وَيَطُوفُ عَلَيۡهِمۡ وِلۡدَٰنٞ مُّخَلَّدُونَ إِذَا رَأَيۡتَهُمۡ حَسِبۡتَهُمۡ لُؤۡلُؤٗا مَّنثُورٗا  ١٩ وَإِذَا رَأَيۡتَ ثَمَّ رَأَيۡتَ نَعِيمٗا وَمُلۡكٗا كَبِيرًا  ٢٠ عَٰلِيَهُمۡ ثِيَابُ سُندُسٍ خُضۡرٞ وَإِسۡتَبۡرَقٞۖ وَحُلُّوٓاْ أَسَاوِرَ مِن فِضَّةٖ وَسَقَىٰهُمۡ رَبُّهُمۡ شَرَابٗا طَهُورًا  ٢١ إِنَّ هَٰذَا كَانَ لَكُمۡ جَزَآءٗ وَكَانَ سَعۡيُكُم مَّشۡكُورًا  ٢٢

Mereka dikelilingi oleh para pelayan muda yang tetap muda. Jika kalian melihat mereka, kalian akan mengira mereka mutiara yang bertaburan. (Jika kalian melihat di sana (surga), niscaya kalian akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar. Mereka memakai pakaian sutra halus yang hijau dan sutra tebal serta dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak. Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih.  Sungguh inilah balasan untuk kalian dan usaha kalian diberi balasan (QS al-Insan [76]: 19-22).

 

Dalam ayat-ayat sebelumnya telah diberitakan tentang balasan orang-orang yang melakukan kebajikan. Mereka dilindungi dari siksa dan dimasukkan ke dalam surga. Lalu digambarkan berbagai kenikmatan surga. Udaranya yang tidak panas menyengat, juga tidak sangat dingin. Mereka berada di bawah naungan, dan dimudahkan mengambil buah-buahan di dalamnya. Diedarkan kepada mereka bejana-bejana dan piala yang terbuat dari perak yang putih nan jernih. Semuanya dibuat sesuai dengan ukuran yang mereka inginkan. Diberikan pula minuman yang bercampur dengan jahe yang berseumber dari mata air Salsabila.

Ayat-ayat ini masih melanjutkan gambaran kenikmatan lainnya di dalam surga.

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Wa yathûfu ‘alayhim wildân[un] mukhalladûn[a] (Mereka dikelilingi oleh para pelayan muda yang tetap muda). Setelah digambarkan minuman yang disajikan kepada al-abrâr (orang-orang yang banyak melakukan kebajikan) di dalam surga, kemudian dideskripsikan para pelayan memberikan minuman mereka.1

Para pelayan itu disebut: wildân[un] mukhalladûn[a] (anak-anak muda yang tetap muda). Kata [wildân[un]  merupakan bentuk jamak dari kata al-walîd dengan wazan fa’îl yang bermakna maf’ûl. Dengan demikian kata tersebut bermakna al-mawlûd (anak yang dilahirkan). Hanya saja, kata tersebut banyak digunakan untuk menunjuk anak yang masih kecil atau berusia muda tanpa memandang sebagai anak yang dilahirkan.2

Dengan demikian pelayan yang mengitari al-abrâr adalah anak-anak yang berusia muda. Menurut al-Qurthubi, anak-anak muda itu lebih cekatan dalam melayani.3

Para pelayan yang berusia muda itu disifati: mukhalladûn. Secara bahasa, kata tersebut bermakna dâ’im  (tetap, selamanya). Dalam konteks ayat ini, maksud dari ayat ini adalah lâ yamûtûna (mereka tidak akan mati). Di antara yang berpendapat demikian adalah Qatadah.4

Menurut sebagian lainnya, keadaan mereka tetap seperti itu dan usianya pun tetap segitu. Imam al-Qurthubi berkata, “Mukhalladûn adalah tetap dalam keadaan mereka  dari segi usianya yang muda, semangatnya dan keelokannya. Mereka tidak menjadi tua dan tidak akan berubah. Mereka terus berada dalam usia yang sama sepanjang zaman.5

Menurut al-Jazairi, frasa tersebut bermakna selamanya muda dan tidak pernah tua.6 Lebih jauh mufassir tersebut berkata, “Orang-orang yang berbuat kebajikan di surga itu dikelilingi oleh para pelayan yang tetap muda. Tidak akan tua dan tidak akan mati. Keadaan mereka terus muda dan tidak berubah.”7

Menurut asy-Syaukani, makna mukhalladûn adalah mereka tetap dalam keadaan mereka yang muda, segar dan cerah. Tidak menjadi tua dan tidak berubah.8

Penjelasan senada banyak dikemukakan oleh mufassir lainnya, seperti Ibnu Katsir, dan lain-lain.9

Kemudian disebutkan: Idzâ raytahum hasibtahum lu‘lu‘[an] mantsûr[an] (Jika kalian melihat mereka, kalian akan mengira mereka adalah mutiara yang bertaburan). Frasa: idzâ raytahum (jika kalian lihat mereka) bermakna: idzâ nazharta ilayhim (jika kalian memandang mereka). Adapun hasibtahum bermakna zhanantahum (kalian akan mengira mereka). Ketika dilihat, mereka bagaikan lu‘lu‘[an] mantsûr[an] (mutiara yang bertaburan). Hal itu disebabkan karena eloknya rupa mereka, jernihnya kulit mereka dan cerahnya wajah mereka.10

Menurut Wahbah az-Zuhaili, ini merupakan tasybîh râ‘i’ (penyerupaan yang menakjubkan), yakni seperti mutiara yang bertaburan dalam hal bening dan putihnya.11

Menurut al-Jazairi, aspek keserupaan pada tasybîh (penyerupaan) itu adalah keindahannya dan tersebar dalam pelayanannya, di sini dan di sana.12

Menjelaskan ayat ini, al-Qurthubi berkata, “Maksudnya, kalian mengira mereka dari sisi bagusnya, banyaknya dan beningnya warna mereka seolah mutiara yang bertebaran di pelataran ruangan. Mutiara, jika ditebar di atas permadani, sangat tertata rapi.”13

Ibnu Katsir juga berkata, “Apabila kami melihat mereka tersebar dalam melayani kebutuhan tuan-tuan mereka, banyaknya jumlah mereka, cerahnya wajah mereka, eloknya warna kulit, pakaian dan perhiasan mereka, maka kalian akan mengira mereka adalah mutiara yang bertaburan.”

Kemudian mufassir itu berkata, “Tidak ada perumpamaan yang lebih bagus dari ini. Tidak ada pemandangan yang lebih indah dari mutiara yang bertaburan di tempat yang indah.”14

Diserupakan anak-anak muda itu sebagai mutiara yang bertebaran karena kecekatan mereka mereka dalam melayani. Ini berbeda dengan para bidadari yang diserupakan dengan al-lu‘lu‘ al-maknûn (mutiara yang tersimpan rapi) disebabkan karena mereka tidak disibukkan dengan pelayanan ini.15

Menurut Abdurrahman as-Sa’di, ini termasuk kesempurnaan nikmat penghuni surga. Para pelayan mereka adalah anak-anak muda yang tetap muda, menyenangkan ketika dipandang, dapat memasuki ke kediaman mereka dengan aman, datang ketika ketika dipanggil dan diminta oleh mereka.16

Kemudian Allah SWT berfirman: Wa idzâ ra‘ayta tsamma ra‘yta na’îm[an] wa mulk[an] kabîr[an] (Jika kalian melihat di sana (surga), niscaya kalian akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar).

Khithâb atau seruan ayat ini untuk kepada Rasul saw atau semua orang yang menyaksikannya.17 Kata tsamma (di sana) bermakna hunâka (di sana). Yang dimaksud adalah al-jannah (surga).18

Ketika mereka melihat surga dilihat, niscaya mereka akan melihat: na’îm[an] wa mulk[an] kabîr[an] (berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar). Menurut al-Qurthubi, kata an-na’îm di sini adalah semua yang dapat dinikmati.19

Menurut Asy-Syaukani, itu adalah kenikmatan yang tidak dapat dilukiskan. Adapun  al-mulk al-kabîr (kerajaan besar) adalah kerajaan yang sangat luas dan tak berbatas.20

Menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir berkata, “Hai Muhammad, jika engkau melihat keadaan di surga beserta kenikmatan, keluasan, ketinggian, dan segala kemewahan serta kesenangannya, niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar. Artinya, kerajaan milik Allah SWT di sana sangat besar dan kekuasaan yang sangat bagus. Ini sebagaimana dalam hadis sahih yang memberitakan tentang firman Allah SWT kepada orang terakhir yang dikeluarkan dari neraka sekaligus terakhir yang masuk surga, “Sungguh bagi kamu di dalam surga semisal dengan dunia dan sepuluh kali lipatnya.”21

Jika pemberian Allah SWT kepada ahli surga yang paling rendah kedudukannya sudah seperti ini, maka tidak terbayangkan pahala yang diberikan Allah kepada ahli surga yang lebih tinggi kedudukannya.22

Kemudian Allah SWT berfirman: Âliyahum tsiyâbu sundus[in] hudhru wa [i]stibraq (Mereka memakai pakaian sutra halus yang hijau dan sutra tebal). Setelah digambarkan kenikmatan surga berupa minuman beserta wadah dan pelayannya, lalu diceritakan pakaian yang dikenakan oleh al-abrâr. Kata Âliyahum bermakna fawqahum (di atas mereka). Artinya, di atas al-abrâr ada tsiyâbu sundus[in]  (pakaian sutera).23

Menurut banyak mufassir, as-sundus itu adalah sutra yang tipis, sebagai pakaian luar. Adapun al-istabraq adalah sutra yang tebal, pakaian bagian dalam.24

Lalu dilanjutkan: Wa hullû asâwira min fidhdhah (dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak). Selain diberi pakaian, mereka juga diberi perhiasan. Perhiasan yang dikenakan berupa gelang yang dipakaikan berupa asâwira min fidhdhah. Kata  asâwira merupakan bentuk jamak dari kata aswirah (gelang). Dengan demikian ayat ini menggambarkan bahwa kepada mereka dipakaikan gelang dari perak. Menurut Abdurraham As-Sa’di, itu berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Di tangan mereka semuanya dipakaikan gelang dari perak.25

Menurut Ibnu Katsir, gelang dari perak itu diberikam kepada al-abrâr. Adapun kepada al-muqarrabûn mereka dipakaikan gelang dari emas (QS al-Hajj [22]: 23).26

Pendapat lainnya mengatakan bahwa penghuni surga itu mengenakan gelang dari perak dan dari emas, baik bergantian atau bersamaan.27

Kemudian Allah SWT berfirman: Wasaqâhum Rabbuhum syarâb[an][ thahûr[an] (Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih). Selain minuman bercampur sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya, mereka juga diberi: syarâb[an][ thahûr[an]  (minuman yang suci). Kata al-thahûr merupakan shîghah mubâlaghah (bentuk kata untuk melebihkan makna) dari kata al-thahir (yang suci). 28

Tentang pengertian suci ini, ada beberapa penjelasan: bahwa minuman tersebut tidak najis seperti yang ada di dunia yang disifati dengan najis. Artinya, minuman tersebut suci, tidak seperti khamr di dunia. Demikian penjelasan al-Farra‘.29

Minuman juga tidak berubah menjadi kotoran sebagaimana minuman di dunia yang berubah menjadi air seni. Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Orang-orang yang banyak berbuat kebajikan diberi minuman berupa syarâb[an] thahûr[an] (minuman yang bersih). Karena bersihnya, ia tidak berubah menjadi air seni yang najis, namun berubah menjadi keringat yang keluar dari badan mereka seperti minyak kesturi.”30 .

Bahkan bukan hanya suci, namun juga mensucikan. Menurut Abdurrahman as-Sa’di, minuman tersebut tidak ada kotorannya sama sekali. Bahkan sekaligus dapat membersihkan batin mereka dari semua segala penyakit dan kotorannya.31

Ibnu Katsir berkata, “Artinya, air itu membersihkan batin mereka dari hasud, dengki, iri hati dan semua akhlak yang hina.”32

Kemudian disebutkan: Inna hadzâ kâna lakum jazâ‘a[n] (Sungguh ini adalah balasan untuk kalian). Setelah diberikan gambaran berbagai nikmat yang akan dianugerahkan kepada al-abrâr, kemudian dikatakan kepada mereka ayat ini. Kata hadzâ dalam ayat ini menunjuk semua jenis kenikmatan yang dianugerahkan Allah SWT kepada mereka.33

Ditegaskan, semua kenikmatan itu diberikan Allah SWT sebagai jazâ‘a[n]  (balasan) kepada mereka. Kata jazâ‘a[n]  bermakna tsawâb[an] (pahala).34

Ibnu Jarir ath-Thabari menyampaikan penjelasan senada. Menurut ath-Thabari, dikatakan kepada al-abrâr ketika itu, “Sungguh yang Aku berikan kepada kalian berupa kemuliaan itu merupakan pahala atas amal shalih yang kalian kerjakan selama di dunia.”35

Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya: Wakâna sa’yukum masykûr[an] (dan usaha kalian adalah disyukuri [diberi balasan]). Kata sa’yukum bermakna ‘amalukum (amal perbuatan kalian). Dalam konteks ayat ini bermakna amal perbuatan kalian di dunia yang menaati Allah SWT diridhai dan diterima.36

Dinyatakan dalam ayat ini bahwa semua amal shalih seperti itu masykûr[an] (disyukuri). Artinya, dibalas, tidak disia-siakan. Al-Imam al-Qurthubi berkata, “Maksudnya, diberi balasan oleh Allah SWT. Bentuk ‘syukur’ Allah SWT kepada hamba adalah dengan menerima ketaatannya, memuji dia dan memberi dia pahala.”37

Penjelasan senada juga dikemukakan Ath-Thabari dan Asy-Syaukani.38

Menurut Ibnu Katsir, penggalan ayat ini memberikan makna bahwa Allah SWT memberi balasan kepada kalian dari amal kalian yang sedikit dengan balasan pahala yang banyak.39

 

Pelajaran dari Ayat-ayat Ini

Ayat-ayat ini menggambarkan kepada kita sebagian dari kenikmatan surga. Tentu realitas yang sesungguhnya tidak seperti yang dibayangkan manusia. Sebab, manusia hanya bisa membayangkan sesuatu yang pernah dia lihat, dia dengar atau dia indera. Adapun surga beserta semua kenikmatannya belum pernah diindera manusia.

Ayat ini menegaskan berbagai kenikmatan yang dianugerahkan kepada penghuninya merupakan balasan dari Allah SWT atas amal manusia yang sedikit. Artinya, di sana memang ada amal shalih yang dikerjakan oleh manusia. Akan tetapi, balasan yang diberikan jauh lebih besar dari apa yang dikerjakan oleh manusia. Karena itu sudah selayaknya manusia memperbanyak amal shalih di dunia agar mendapatkan balasan besar dari Allah SWT, yakni surga beserta seluruh kenikmatannya. Semoga kita  termasuk di dalamnya.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1        Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 423.

2        Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 29 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 393

3        Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 143.

4        Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 110 .

5        Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 143.

6        Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 485

7        Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 486.

8        Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 143.

9        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 292.

10      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 423.

11      Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 295

12      Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 286.

13      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 143.

14      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 292.

15      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 423. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 144.

16      As-Sa’di, Taysìr al-Karìm al-Rahmân, 902

17      Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 753-754; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutuba al-‘0Ilmiyyah, 1995), 380; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 298.

18      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 292; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 424; al-Sa’di, Taysìr al-Karìm al-Rahmân, 902;

19      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 144.

20      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 424; lihat juga: al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 295; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 380.

21      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 292.

22      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 292.

23      Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 112. Lihat juga al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 424; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 380.

24      Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 754; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 425; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 380; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 295.

25      As-Sa’di, Taysìr al-Karìm al-Rahmân, 902

26      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 293.

27      Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 295. Lihat juga al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 425.

28      Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 755.

29      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 425.

30      Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 113.

31      As-Sa’di, Taysìr al-Karìm al-Rahmân, 902

32      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 293.

33      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 425.

34      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 147. Lihat juga al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 425.

35      Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 115.

36      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 425.

37      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 147.

38      Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 115; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 425

39      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 293.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 + 20 =

Back to top button