Hari Kiamat dan Jiwa yang Menyesali Diri
Qur’an Suarah al-Qiyamah [75]: 1-5
لَآ أُقۡسِمُ بِيَوۡمِ ٱلۡقِيَٰمَةِ ١ وَلَآ أُقۡسِمُ بِٱلنَّفۡسِ ٱللَّوَّامَةِ ٢ أَيَحۡسَبُ ٱلۡإِنسَٰنُ أَلَّن نَّجۡمَعَ عِظَامَهُۥ ٣ بَلَىٰ قَٰدِرِينَ عَلَىٰٓ أَن نُّسَوِّيَ بَنَانَهُۥ ٤ بَلۡ يُرِيدُ ٱلۡإِنسَٰنُ لِيَفۡجُرَ أَمَامَهُۥ ٥
Aku bersumpah demi Hari Kiamat. Aku pun bersumpah dengan jiwa yang amat menyesalii (dirinya sendiri). Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? Bukan demikian. Sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna. Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus-menerus (QS al-Qiyamah [75]: 1-5)
Surat ini dinamai dengan al-Qiyamah yang berarti Hari Kiamat. Pada awal surat ini memang berbicara tentang kiamat. Menurut Syihabuddin al-Alusi, surat ini juga dinamai dengan ad-Dahr, al-Abrar dan al-Amsyaj.1
Surat yang terdiri dari 40 ayat ini termasuk Makkiyyah. Menurut asy-Syaukani dan al-Alusi, tak ada perbedaan tentang hal ini dan tidak ada perkecualian.2
Allah SWT berfirman di akhir QS al-Muddatstsir: Kallâ bal lâ yakhâfûna al-âkhirah (Sekali-kali tidak. Sebenarnya mereka tidak takut pada negeri akhirat) (QS al-Muddatsir [74]; 53) setelah mengingatkan surga dan neraka serta ketiadaan rasa takut mereka terhadap Hari Kiamat lantaran pengingkaran mereka terhadap Hari Kebangkitan. Lalu dalam surat ini disebutkan tentang dalil atas hal itu dengan sempurna disertai dengan penggambaran Hari Kiamat, kegentingannya, dan berbagai keadaannya. Diberitakan juga apa yang terjadi sebelumnya, yakni keluarnya ruh dari badan dan apa yang terjadi sebelum penciptaan yang kronologisnya berkebalikan secara fakta. Lalu Allah Swt berfirman dalam surat ini.3
Sabab an-Nuzûl
Diriwayatkan bahwa Adi bin Rabiah pernah berkata kepada Rasululullah saw., “Muhammad, ceritakan kepadaku tentang Hari Kiamat, kapan itu terjadi?” Rasulullah saw lalu memberitakan Hari Kiamat kepada dia. Kemudian Adi bin Rabiah berkata, “Andai aku melihat hari itu, aku tidak akan membenarkan-mu dan mengimaninya. Apakah Allah SWT akan mengumpulkan tulang-tulang ini setelah rusak?” Lalu turunlah ayat ini.
Ada juga yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Jahal yang berkata, “Apakah Muhammad mengaku bahwa Allah SWT akan mengumpulkan tulang-belulang ini setelah rusak dan tercerai-berai, lalu mengembalikannya menjadi makhkluk yang baru?”4
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Lâ uqsimu bi Yawm al-Qiyâmah (Aku bersumpah demi Hari Kiamat). Dalam ayat ini, Allah SWT bersumpah dengan menggunakan kata: Uqsimu (Aku bersumpah). Al-Qasam atau sumpah dengan sesuatu disebabkan karena keagungan dan kebesarannya. Jika manusia hanya boleh bersumpah dengan nama Allah SWT dan tidak boleh bersumpah dengan makhluk, maka sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas ra. dan Qatadah, Allah SWT boleh bersumpah dengan apa saja yang Dia kehendaki dari makhluk-makhluk-Nya.5
Qasam atau sumpah dalam ayat ini didahului dengan huruf lâ di depannya. Menurut Abu al-Laits as-Samarqandi, semua ahli tafsir sepakat bahwa makna Lâ uqsimu di sini adalah Uqsimu (Aku bersumpah). Hanya saja mereka berbeda tafsir tentang huruf lâ.6
Menurut Abu Ubaidah dan sekelompok mufassir, huruf lâ tersebut adalah zâ’idah (tambahan). Diperkirakan maknanya: Uqsimu (Aku bersumpah).7 Menurut as-Samarqandi, ziyâdah atau tambahan tersebut li as-zînah (untuk memperindah) ungkapan. Menurut beliau, dalam percakapan orang-orang Arab, tambahan huruf lâ itu biasa terjadi, seperti dalam firman-Nya: Mâ mana’aka allâ tasjuda (Apakah yang menghalangi kamu untuk bersujud (kepada Adam) (QS al-A’raf [7]: 12). Artinya: an tasjuda (kamu bersujud).
Menurut Wahbah az-Zuhaili, huruf lâ yang merupakan zâ’idah atau tambahan itu berada di dua tempat dan digunakan orang Arab sebagai li ta’kîd atau penguat sumpah. Huruf tersebut digunakan ketika al-muqsam ‘alayhi (perkara yang diyakinkan dengan sumpah) merupakan kalimat negatif. Gunanya untuk menekankan nafiy atau kalimat negatif.8
Menurut sebagian lainnya, huruf lâ tersebut merupakan radd li kalâmihim (bantahan atas ucapan mereka) ketika mereka mengingkari kebangkitan. Dengan demikian Dia berfirman: Laysa al-amr kamâ dzukira (Masalahnya tidak seperti yang telah disebutkan). Lalu Dia berfirman: Uqsimu bi Yawm al-Qiyâmah (Aku bersumpah dengan Hari Kiamat).9
Ini merupakan pendapat al-Farra‘ dan sebagian besar ahli Nahwu. Itu seperti perkataan: Lâ, walLâhi (Tidak, demi Allah). Dalam hal ini, huruf Lâ membantah kalinat sebelumnya.10
Al-Farra’ berkata, “Sebagian besar ahli Nahwu mengatakan bahwa huruf lâ adalah shilah (penghubung) dan tidak boleh dimulai dengan pengingkaran kemudian menjadi shilah. Sebab, seandainya demikian maka tidak diketahui khabar yang di dalamnya terdapat pengingkaran dan khabar yang tidak ada pengingkaran di dalamnya. Akan tetapi, al-Quran datang untuk membantah orang-orang yang mengingkari kebangkitan, surga dan neraka. Lalu datanglah sumpah sebagai bantahan terhadap mereka (dalam banyak firman, baik sebagai mubtada’ maupun bukan). Misalnya perkataan, “Tidak. Demi Allah SWT saya akan mengerjakan.” Hurur lâ membantah perkataan sebelumnya. Seperti perkataan Anda, Tidak. Demi Allah, sungguh Kiamat itu benar-benar ada.” Seakan-akan Anda mendustakan orang-orang yang mengingkari Hari Kiamat. Manfaatnya untuk penguatan sumpah dalam bantahan.11
Pendapat ini juga dipilih Ibnu Jarir ath-Thabari.12
Yang dijadikan sebagai al-muqsam bih (alat sumpah) adalah Yawm al-Qiyâmah (Hari Kiamat). Allah SWT bersumpah dengan Hari Kiamat. Menurut asy-Syaukani, sumpah Allah SWT dengan Hari Kiamat itu untuk mengagungkan dan memuliakannya.13
Menurut Wahbah al-Zuhaili, sumpah dengan Hari Kiamat tersebut berguna untuk menambah penetapan dan penegasan terhadap kejadiannya. Sebab, bersumpah dengan sesuatu yang tidak ada merupakan sesuatu yang tidak masuk akal.14
Hari Kiamat adalah hari yang ketika itu manusia menghadap Tuhan mereka, Allah.15 Itulah Hari Kebangkitan setelah kematian; kebangkitan manusia dari kubur mereka serta berdirinya mereka menantikan putusan Allah SWT kepada mereka.16
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa lâ uqsimu bi an-nafs al-lawwâmah (Aku pun bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali [dirinya sendiri]). Ada beberapa penjelasan tentang jiwa yang dimaksud. Menurut sebagian, jiwa yang dimaksud adalah jiwa kaum Mukmin yang tidak melihatnya kecuali menyesali dirinya. Dia berkata, “Aku tidak bermaksud dengan ini.” Artinya, tidak melihat kecuali mencela atau menyesali dirinya sendiri. Demikian pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, al-Hasan dan yang lainnya.17
Al-Hasan berkata, “Demi Allah. Sungguh jiwa seorang Mukmin. Seorang Mukmin tidak melihat kecuali dia menyesali dirinya sendiri atau mencelanya dengan mengatakan, ‘Aku tidak bermaksud dengan kalimatku ini; aku tidak bermaksud dengan makananku, dan aku tidak bermaksud dengan bisikan jiwaku.’ Adapun orang fâjir (pelaku maksiat) tidak melakukan muhasabah terhadap dirinya.”18
Menurut sebagian lainnya, itu mencakup semua jiwa. Di antara yang berpendapat demikian adalah Abdurrahman as-Sa’di. Menurut beliau, an-nafs al-lawwâmah itu mencakup seluruh jiwa, jiwa yang baik maupun yang jahat.19
Al-Jazairi juga berkata: Al-Lawwâmah, jika dia berbuat baik maka dia menyesali dirinya karena masih kurang banyak; jika berbuat keburukan maka dia menyesali dirinya karena kelalaiannya.20
Pendapat serupa juga dikemukakan Ibnu Jarir ath-Thabari.21
Kemudian Allah SWT berfirman: Ayahsabu al-insân ‘allan Najma’a ‘izhâmah (Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya)? Setelah Allah SWT mengucapkan sumpah dengan Hari Kiamat dan an-nafs al-lawwûmah, kemudian dilanjutkan dengan ayat ini. Semestinya, sebagaimana layaknya sumpah, setelah disebutkan al-muqsam bih, dilanjutkan dengan jawâb al-qasam (jawaban sumpah) yang merupakan al-muqsam atau perkara yang hendak dikuatkan dengan sumpah itu. Namun, hal itu tidak dijumpai secara lahiriah. Menurut an-Nahas, jawab sumpah itu dihilangkan, yakni: latub’atsunna (kamu benar-benar akan dibangkitkan). Hal itu ditunjukan dengan firman-Nya: Ayahsabu al-insân ‘allan Najma’a ‘izhâmah (Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya)? Yakni ntuk menghidupkan dan membangkitkan.22
Ayat ini berbentuk kalimat tanya yang ditunjukkan dengan huruf hamzah. Menurut Muhammad Ali ash-Shabuni, istifhâm atau kalimat tanya ayat ini li al-tawbîkh wa al-taqrî’ (untuk mengecam dan mencela).23 Menurut asy-Syaukani, al-hamzah tersebut bermakna li al-inkâr (untuk menyatakan pengingkaran).24
Tentang kata al-insân di sini, ada yang memahaminya sebagai li al-jins, yakni mencakup seluruh manusia. 25 Ada juga yang mengatakan manusia tertentu, yakni al-insân al-kâfir. Demikian menurut Imam al-Qurthubi.26
Dengan demikian maknanya: “Apakah orang kafir dan mendustakan Kebangkitan itu mengira Kami tidak akan mengumpulkan tulang-belulang setelah berserakan?”27
Kemudian Allah SWT berfirman: Balâ Qâdirîna ‘alâ an Nusawwiya banânah (Bukan demikian. Sebenarnya Kami kuasa menyusun [kembali] jari-jemarinya dengan sempurna). Ayat ini pun membantah pengingkaran orang-orang kafir itu terhadap Kari Kiamat sekaligus mengukuhkan kepastian kejadian hari tersebut. Tatkala mereka mempertanyakan bagaimana mungkin manusia bisa dikumpulkan kembali ketika sudah menjadi tulang-belulang yang berserakan? Dijawab oleh ayat ini: Balâ.
Menurut as-Syaukani, kata balâ merupakan jawaban terhadap kalimat nafi yang disimpulkan dari al-istifhâm atau kalimat.28 Maknanya: Bukan demikian. Allah SWT berkuasa lebih dari itu, yakni: an-nusawwiya banânahu (menyusun [kembali] jari-jemarinya dengan sempurna). Kata al-banân menurut orang Arab bermakna al-ashâbi‘ (jari-jemari). Bentuk tunggalnya banânat[un].29
Menurut asy-Syaukani, firman-Nya: ‘alâ an Nusawwiya banânah (menyusun [kembali] jari-jemarinya dengan sempurna) bermakna: Kami mengumpulkan kembali sebagian dengan sebagian lainnya, lalu Kami mengembalikannya seperti semula dengan kerumitan dan kekecilannya. Lalu bagaimana dengan organ lainnya yang lebih besar?30
Secara khusus, Allah SWT menyebutkan kata al-banân, yakni al-‘ashâbi` (jari-jemari) serta tidak menyebutkan organ lainnya. Ini menunjukkan, kekuasaan untuk membangkitkan dan mengembalikan organ lainnya tentu lebih bisa daripada mengembalikan jari-jemari yang kecil dan rumit beserta sendi-sendinya, kukunya, urat-uratnya yang halus dan tulang-tulangnya yang rumit. Inilah aspek penyebutannya secara khusus. Demikian menurut al-Zajjaj dan Qutaibah.31
Maknanya: “Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan kembali tulang-belulangnya? Bukan demikian. Sebenarnya Kami akan mengumpulkannya kembali dan Kami mampu untuk menyusun kembali jari-jemarinya.” 32
Kemudian Allah SWT berfirman: Bal yurîdu al-insânu li yafjura amâmahu (Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus-menerus). Kata bal di sini bermakna idhrâb, mengalihkan dari topik pembicaraan sebelumnya dalam rangka untuk mengukuhkan perkara lain.33 Maknanya, manusia pada hakikatnya menginginkan untuk terus-menerus mengerjakan perbuatan al-fujûr. Menurut asy-Syaukani, kata al-fujûr asalnya bermakna al-mayl ‘an al-haqq (menyimpang dari kebenaran). Lalu digunakan untuk menyebut semua yang menyimpang dari kebenaran, baik ucapan maupun perbuatan.34 Kata amâmahu menunjukkan terus-menerus.
Dengan demikian ayat ini memberitakan bahwa manusia terus-menerus berbuat maksiat dan menyimpang dari kebenaran. Demikian penjelasan para mufassir. Asy-Syaukani berkata, “Bahkan manusia mengerjakan perbuatan maksiat di hadapannya setiap saat dan masa yang akan datang sehingga melakukan dosa dan menunda tobat.”35
Al-Anbari berkata, “Manusia ingin berbuat maksiat sepanjang usianya dan tidak ada niatan untuk bertobat dari dosa yang dia kerjakan.”36
Mujahid, al-Hasan, Ikrimah, as-Sudi dan Said bib Jubair berkata: Dia mengatakan, “Saya akan bertobat.” Namun, dia tidak bertobat hingga mati. Itu adalah keadaan yang paling buruk.37
Setelah menjelasakan ayat-ayat tersebut Wahbah az-Zuhaili berkesimpulan bahwa pengingkaran terhadap kebangkitan muncul dari tuduhan: Pertama, manusia menganggap mustahil berkumpulnya bagian-bagian tubuh setelah terpisah-pisah dan hilang. Kedua, manusia mengingkari Hari Kiamat berdasarkan hawa nafsu, buruknya tabiat dan penyimpangan dari kebenaran.38
Pelajaran Penting
Terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil dari ayat ini. Di antaranya:
Pertama, kepastian dan keagungan Hari Kiamat. Penyebutan Hari Kiamat sebagai al-muqsam bih atau benda yang disebutkan sebagai penguat sumpah jelas menunjukkan Hari Kiamat sekaligus keagungan dan kebesarannya. Sebab, Allah SWT tidak ada akan menjadikan sesuatu tidak ada untuk menguatkan sumpah.
Demikian juga bantahan terhadap pengingkaran kaum kafir yang menganggap mustahil tulang-belulang akan dikumpulkan menjadi manusia kembali. Bahkan ayat ini menegaskan bahwa Dia akan menyusun kembali jari-jemari manusia yang sudah lenyap setelah mati seperti sedia kala. Ini menunjukkan dengan jelas kepastian Hari Kiamat.
Kedua, buruknya sikap manusia. Berita adanya Hari Kiamat yang membalas semua perbuatan manusia semasa hidup di dunia tidak membuat mereka serta-merta berhenti dari kemaksiatan. Sebaliknya, dalam ayat ini mereka terus-menerus melakukan kemaksiatan dan kedurhakaan hingga mati.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan Kaki:
1 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 166
2 Al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 415; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 150
3 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 150
4 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 344
5 As-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, vol. 8, 342
6 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 520
7 Asy-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 402
8 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 252
9 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 520
10 As-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 402
11 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 92
12 Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 49
13 Asy-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 403
14 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 253-254
15 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 92
16 As-Sa’di, Taysìr al-Karìm al-Rahmân, 898
17 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 93
18 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 93 Lihat juga Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibahm 1999), 275; al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 659
19 As-Sa’di, Taysìr al-Karìm al-Rahmân, 898
20 Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2993), 474
21 Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 50
22 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 93
23 Ash-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, vol. 3 (Kairo: Dar al-Shabuni, 1997), 460
24 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 403
25 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 403
26 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 93
27 Ash-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, vol. 3 (Kairo: Dar al-Shabuni, 1997), 460
28 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 403
29 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 93
30 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 403-404
31 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 404. Lihat juga dalam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 276; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 252
32 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 276
33 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 252
34 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 404
35 Ay-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 404
36 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 404
37 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 404
38 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 255