Tafsir

Penentang Al-Quran dan Hukumannya

QS al-Muddatstsir [74]: 18-25

إِنَّهُۥ فَكَّرَ وَقَدَّرَ  ١٨ فَقُتِلَ كَيۡفَ قَدَّرَ  ١٩ ثُمَّ قُتِلَ كَيۡفَ قَدَّرَ  ٢٠ ثُمَّ نَظَرَ  ٢١ ثُمَّ عَبَسَ وَبَسَرَ  ٢٢ ثُمَّ أَدۡبَرَ وَٱسۡتَكۡبَرَ  ٢٣ فَقَالَ إِنۡ هَٰذَآ إِلَّا سِحۡرٞ يُؤۡثَرُ  ٢٤ إِنۡ هَٰذَآ إِلَّا سِحۡرٞ يُؤۡثَرُ  ٢٥

Sungguh dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang dia tetapkan). Celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? Sekali lagi, celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? Kemudian dia merenung. Lalu berwajah masam dan cemberut. Kemudian berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri. Lalu dia berkata, “(Al-Quran) ini hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dulu). Ini hanyalah perkataan manusia (QS al-Muddatstsir [74]: 18-25).

 

Dalam ayat sebelumnya Allah SWT menceritakan seseorang yang mendapatkan kenikmatan yang sangat besar dari-Nya. Mulai dari diciptakan seorang diri, diberi harta yang melimpah, anak-anak yang banyak dan selalu hadir menemani, dan berbagai kemudahan hidup lainnya. Dia pun menginginkan tambahan kenikmatan lagi. Akan tetapi, dia justru menjadi penentang ayat-ayat-Nya. Atas sikap dan perbuatannya itu, keinginannya tidak dituruti. Bahkan dia pun dibebani dengan pendakian yang memayahkan.

Kemudian dalam ayat ini menjelaskan penyebab lebih detail hukuman yang ditimpakan kepada dirinya.

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: إِنَّهُ فَكَّرَ وَقَدَّرَ   (Sungguh dia telah memikirkan dan menetapkan ([apa yang dia tetapkan]). Orang yang diceritakan dalam ayat-ayat sebelumnya, yakni al-Walid bin al-Mughirah.1

Menurut Abu Ja’far an-Nahhas, tak ada perbedaan pendapat tentang hal ini.2 Ayat ini berkedudukan sebagai ta’lîl (menerangkan sebab) terhadap ancaman yang disampaikan dalam ayat sebelumnya.”3 Maksudnya adalah firman Allah SWT:

سَأُرۡهِقُهُۥ صَعُودًا  ١٧

Aku akan membebani dia dengan pendakian yang memayahkan (QS al-Muddatstsir [74]: 17).

 

Bisa juga berkedudukan sebagai badal dari ayat:

إِنَّهُۥ كَانَ لِأٓيَٰتِنَا عَنِيدٗا  ١٦

Sungguh dia telah menentang ayat-ayat Kami (al-Quran) (QS al-Muddatstsir [74]: 18).

 

Menjelaskan penentangannya.4

Diberitakan bahwa orang tersebut fakkara (memikirkan). Makna fakkara adalah a’mala fikratahu (menggunakan pikirannya).5 Tidak disebutkan perkara yang menjadi maf’ûl bih (objeknya). Padahal kata tersebut tergolong al-fi’l al-muta’addî (kata kerja transitif, yang membutuhkan objek). Meskipun demikian, dari ayat sebelum dan sesudahnya dapat dipahami dengan jelas bahwa perkara yang dipikirkan al-Walid bin al-Mughirah adalah al-Quran yang merupakan ayat-ayat-Nya. Menurut Ibnu Katsir, dia mempertimbangkan apa yang akan dikatakan tentang al-Quran ketika ditanya tentang al-Quran, lalu ia memikirkan perkataan yang dia rekayasa mengenai al-Quran.6

Az-Zamakhsyari berkata, “Maknanya, dia memikirkan apa yang akan dia katakan tentang al-Quran.”7

Penjelasan serupa dikatakan oleh al-Baidhawi, al-Alusi, Abu Bakar al-Jazairi, Wahbah al-Zuhaili, dan Abdurrahman al-Sa’di.8

Selain al-Quran, dia juga memikirkan Rasulullah saw. Asy-Syaukani berkata, “Sungguh ia telah memikirkan Nabi saw. dan al-Quran yang diturunkan kepada beliau.”9

Hal senada juga disampaikan Abu Hayyan al-Andalusi, al-Baghawi dan al-Khazin.10

Adapun frasa wa qaddara, menurut Ibnu Katsir, bermakna tarawwâ (mempertimbangkan dengan tidak tergesa-gesa).11 Sebagaimana berpikir, pertimbangan dan penentuan itu masih berkecamuk dalam hatinya. Menurut al-Baidhawi dan al-Jazairi, wa qaddara (dia menetapkan) fî nafsihi (di dalam jiwanya) tentang apa yang akan dia katakan.12

Yang dimaksud dengan qaddara fî nasihi (menetapkan dalam jiwanya) adalah hayya‘a al-kalâm fî nafsihi (dia menyiapkan perkataan dalam jiwanya). Demikian menurut az-Zamakhsyari, al-Syaukani dan Ibnu Juzyi.13

Orang Arab berkata, “Hayya`tu asy-syay`a (aku telah menyiapkan sesuatu).” Artinya: qaddartuhu (aku telah menetapkannya). Hal itu terjadi tatkala dia mendengar al-Quran, lalu dia memikirkan apa yang hendak dia katakan dan dia menyiapkan dirinya untuk menetapkan apa yang akan diucapkan tentangnya.14

Menurut Fakhruddin ar-Razi, tatkala dia sedang berpikir dalam hatinya tentang sebuah perkataan dan menyiapkan kata-katanya, perbuatan itulah yang dimaksud dalam firman-Nya: فَقَدَرَ (lalu dia menetapkannya).15

Muhammad Ali ash-Shabuni berkata tentang ayat ini, “Artinya, sungguh dia memikirkan Nabi saw. dan al-Quran. Dia memutar otak dan hatinya yang cerdas. Lalu dia menyusun dan mempersiapkan ucapan dalam hatinya, apa yang akan dikatakan tentang al-Quran? Apa celaan terhadapnya?”16

Kemudian Allah SWT berfirman: فَقُتِلَ كَيۡفَ قَدَّرَ (Celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan?). Secara bahasa, kata al-qatlu berarti menghilangkan nyawa dari badan, seperti kematian.17 Namun, dalam beberapa konteks kalimat, kata tersebut berarti laknat.

Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, ungkapan: qâtalahumuL-lâh (Semoga Allah mengutuk mereka) populer digunakan dalam percakapan orang Arab ketika ada perkara yang dianggap besar dan takjub terhadapnya. Artinya, perkara itu telah sampai pada derajat yang tidak diinginkan dan didoakan buruk oleh orang-orang yang tidak suka terhadapnya.18

Ini pula makna kata qutila dalam ayat ini menurut sebagian mufassir.  Di antaranya adalah Imam al-Quthubi yang mengatakan bahwa makna faqutila adalah lu’ina (dilaknat, dikutuk).19

Pendapat yang sama juga dikemukakan Abu Hayyan al-Andalusi, al-Baghawi, dan al-Samarqandi.20 Menurut as-Samarqandi, makna ini sebagaimana firman-Nya:

قُتِلَ ٱلۡخَرَّٰصُونَ  ١٠

Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta (QS adz-Dzariyat [51]: 10).21

 

Juga dalam firman-Nya:

قَٰتَلَهُمُ ٱللَّهُۖ أَنَّىٰ يُؤۡفَكُونَ  ٣٠

Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? (QS at-Taubah [9]: 30).

 

Menurut al-Qurthubi, ayat di atas bermakna لعنهم الله (Allah SWT melaknat mereka). Sebab, al-mal’ûn (orang yang dilaknat) seperti al-maqtûl (yang terbunuh).22

Dengan demikian makna ayat ini, sebagaimana kata Ibnu Jarir ath-Thabari: “Kemudian dia dilaknat, bagaimana dia menetapkan perkataan tentang al-Quran?”23

Kata tersebut juga merupakan doa keburukan. Menurut Ibnu ‘Athiyah dan Ibnu Juzyi, kata tersebut merupakan du’â ‘alayhi (doa keburukan) dan celaan terhadap keadaannya.24

Ibnu ‘Asyur juga menyebutnya sebagai doa keburukan kepada orang yang dilaknat agar dibunuh oleh pembunuh. Maksudnya, doa keburukan agar dipercepat kematiannya karena kehidupannya merupakan kehidupan yang buruk.25

Pengertian lainnya dikemukakan oleh az-Zuhri. Menurutaz-Zuhri, qutila bermakna ‘udzdziba (diazab). Ini termasuk dalam bab doa keburukan atasnya.26

Asy-Syaukani dan al-Alusi menggabungkan kedua makna tersebut, yakni: dilaknat dan diazab.27 Dengan demikian makna ayat ini: lu’ina wa ‘udzdziba (dia dilaknat dan diazab), bagaimana dia telah menentukannya?28

Ada pula yang menyatakan bahwa qutila berarti faquhhira wa ghuliba (ditundukkan dan dikalahkan), sebab semua yang tundukkan atau dihinakan sesungguhnya telah terbunuh.29 Di antara maknanya terdapat dalam kalimat berikut:

لسَهْمَيْكِ فِي أَعْشَارِ قَلْبٍ مُقَتَّلٍ

Karena kedua anak panahmu yang menusuk ke dalam hati yang tertundukkan

 

Makna muqattal adalah yang tertundukkan dan terkalahkan dengan cinta. Dengan demikian lu’ina (dilaknat) merupakan doa keburukan kepada orang yang dilaknat dengan dijauhkan dan dikalahkan. Hal itu memberitakan tentang kekalahan dan kehinaannya.30

Laknat, azab dan segala doa keburukan itu ditimpakan kepada dia karena penetapannya terhadap al-Quran. Kata kayfa (bagaimana) merupakan ism al-istifhâm (kata tanya). Dalam konteks ayat ini, al-istifhâm tersebut bermakna al-ta’jîb wa at-tahakkum wa at-tawbîkh (keheranan, cemoohan dan teguran).

Menurut az-Zamakhsyari, makna كَيۡفَ قَدَّرَ adalah تعجيب من تقديره (keheranan terhadap penetepannya).31

Itu seperti halnya ungkapan yang ditujukan kepada seseorang lantaran perbuatannya yang mengherankan, “Bagaimana bisa kamu mengerjakan ini?”

Juga sebagaimana firman Allah SWT:

ٱنظُرۡ كَيۡفَ ضَرَبُواْ لَكَ ٱلۡأَمۡثَالَ ٤٨

Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan untuk kamu (Muhammad) (QS al-Isra‘ [17]: 48).32

 

Menurut az-Zamakhsyari, firman Allah SWT فَقُتِلَ كَيۡفَ قَدَّرَ juga merupakan tahakkum (ejekan, cemoohan) kepada mereka dan keheranan terhadap penetapan mereka.33

Penjelasan senada juga dikemukakan oleh az-Zuhaili. Ayat tersebut menunjukkan keheranan terhadap penetapannya sekaligus sebagai istihzâ‘ (olok-olok). Maknanya, Allah SWT melaknat dia; bagaimana dia sampai pada perkataan sebagaimana diinginkan oleh orang-orang Quraisy.34

Menurut al-Baghawi dan al-Khazin, istifhâm dalam ayat ini memberikan makna at-ta’ajjub wa al-inkâr wa at-tawbîkh (keheranan, pengingkaran dan teguran).35   

Abu Hayyan al-Andalusi juga mengatakan bahwa al-istifhâm dalam firman-Nya “kayfa qaddara” bermakna, “Betapa aneh dan mengherankan penetapannya?”36

Penetapan yang mengharuskan dia mendapatkan laknat dan azab adalah penetapannya tentang al-Quran sebagaimana diberitakan dalam ayat sebelumnya. Dia menyebut al-Quran sebagai sihir yang dipelajari dari orang lain. Lalu menegaskan lagi bahwa al-Quran tak lain hanyalah perkataan manusia.37

Kemudian Allah SWT berfirman: ثُمَّ قُتِلَ كَيۡفَ قَدَّرَ (Sekali lagi, celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan?).  Ayat ini mengulangi apa yang telah disampaikan dalam ayat sebelumnya. Ini termasuk dalam al-ithnâb bi at-tikrâr.38 Ungkapan tersebut berfaedah untuk menegaskan dan memantapkan maknanya di hati pendengar. Ini pula yang disampaikan oleh para mufassir tentang at-tikrâr (pengulangan kalimat) pada ayat tersebut. Al-Baghawi dan al-Khazin berkata, “Allah SWT mengulanginya adalah li al-ta`kîd (untuk menegaskan).” 39

Wahbah az-Zuhaili juga berkata, “Pengulangan kalimat adalah li ziyâdat al-tawbîkh (untuk menambah teguran atau kecaman).”40

Muhammad Ali al-Shabuni juga mengatakan bahwa tikrâr al-‘ibârah (pengulangan ungkapan) berguna ta`kîd[an] li dzammihi (untuk menguatkan celaan) dan تقبيحاً لحاله (kecaman terhadap keadaannya), serta sangat menertawakannya. Seolah-olah Allah SWT berfirman: Semoga Allah mengutuk dia. Betapa aneh jalan pikirannya dan buah akalnya yang bijak itu ketika dia mengatakan tentang al-Quran: “Sungguh al-Quran adalah sihir yang dipelajari.”41

Penggunaan al-‘athf (kata penghubung) dengan kata tsumma (kemudian) yang masuk  dalam pengulangan itu, menurut az-Zamakhsyari dan Fakhruddin ar-Razi, menunjukkan bahwa pengulangan yang kedua lebih tegas daripada yang pertama.42

Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, pengulangan kalimat dengan tsumma menunjukkan bahwa kalimat yang kedua lebih tegas daripada yang pertama karena adanya at-tarâkhî (jarak) di antara keduanya. Seolah-olah dia didoakan keburukan pertama kali dan diharapkan dia mau berhenti. Akan tetapi, itu tidak dilakukan. Lalu dia didoakan lagi untuk kedua kalinya.43

Menurut Syihabuddin al-Alusi, penggunaan al-‘athf dengan kata tsumma menunjukkan adanya variasi tingkatan dan yang kedua lebih tegas daripada yang pertama. Seolah dikatakan, “Dia dilaknat dengan satu jenis laknat. Tidak, bahkan lebih keras dan lebih keras lagi. Oleh karena itu, ada al-‘athf yang masuk ke dalammnya, padahal itu merupakan ta`kîd (penegasan, penguatan).44

Kemungkinan makna lainnya pada pengulangan dikemukakan oleh al-Qurthubi. Menurut al-Qurthubi, firman-Nya “tsumma qutila (kemudian dilaknat)” mengandung makna bahwa dia dilaknat sesudah sebelumnya mendapat laknat.45 Hal senada juga dikemukakan as-Samarqandi.46

Ada pula yang berpendapat, makna ayat ini adalah: “Dia dilaknat dengan sebuah hukuman, kemudian dia dilaknat lagi dengan hukuman lainnya.”47

Menurut al-Jazairi, Allah SWT melaknat dia dua kali yang melekat pada dirinya. Yang pertama di dunia dan yang kedua di akhirat.48

WalLâh a’lam bi al-shawâb. [K.H. Rokhmat S. Labib, S.E.I]

 

Catatan kaki:

1        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishiryyah, 1964), 74

2        al-Nahhas, I’rab al-Qur‘ân, vo., 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 46

3        al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 648; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 392; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10 (Beirut: Dar al-Fikr,  1420 H), 330; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta`wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabiy,1998), 261; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 136; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 224

4        Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 330. Lihat juga al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 261;

5        Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29 (Tunisa: al-Dar al-Tunisiyah, 1984), 307

6        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 266

7        al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 649

8        al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 261; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 , 136; al-Jazairi, Aysar al-Tafasîr, vol. 4 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 465;  al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 224; al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahman (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 896

9        al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 392

10      Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 330; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabiyy 1420 H), 176; al-Khazin, Lubâb al-Ta`wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 364

11      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 266

12      al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 261; al-Jazairi, Aysar al-Tafasîr, vol. 4, 465

13      al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 649; Ibnu Juzyi, al-Tas-hîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Syarikah Dar al-Arqam, 1996), 429; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 392

14      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 392

15      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 706

16      al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, vol. 3 (Damaskus: Dar Ibn Katsir, 1994), 453

17      al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar a-Qalam, 1992), 655

18      Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 330

19      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 75

20      Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 330; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 5, 176; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 516

21      al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 516

22      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 8, 119

23      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), 23

24      Ibnu Juzyi, al-Tas-hîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 2, 428; Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 266

25      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 308

26      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 392. Lihat juga dalam al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 5, 176

27      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 392; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 13

28      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 392

29      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 75; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 330

30      Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 330

31      al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 649. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 75

32      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 75

33      al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 649

34      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 224

35      al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 5, 177; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 364

36      Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 330

37      Lihat al-Jazairi, Aysar al-Tafasîr, vol. 4, 466

38      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 223. Yang dimaksud dengan al-Ithnâb adalah mengungkapkan perkataan yang panjang dan banyak daripada makna aslinya karena ada tujuan tertentu. Sedangkan al-tikrâr iadalh mengulangi penyebutan suatu lafadz

39      al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 5, 177; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 364. Lihat juga al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 392

40      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 223

41      al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, vol. 3, 452

42      al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 649; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 706

43      Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 330

44      al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 137

45      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 75

46      al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 516

47      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 75

48      al-Jazairi, Aysar al-Tafasîr, vol. 4, 466

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four × 1 =

Back to top button