Afkar

RUU HIP: Mengganti Pancasila, Menggusur Agama?

Di tengah musibah wabah Corona, publik dikejutkan dengan munculnya RUU-HIP (Haluan Ideologi Pancasila). RUU ini tidak ada kaitanya dengan penanganan wabah Corona. Justru RUU ini diduga merupakan upaya dari mereka yang ingin meraup untung dengan memanfaatkan situasi wabah Corona.

Tampak pengusung RUU ini ingin mengikuti jejak sukses RUU sebelumnya. Ya, di tengah suasana wabah Corona ini, telah disahkan Perppu 1/2020 menjadi UU no. 20/2020, Perpres BPJS, UU Minerba, dll. Padahal kebijakan tersebut banyak menuai kritik publik karena dinilai sangat pro kapitalis dan menguntungkan mereka sekaligus merugikan kepentingan rakyat dan negara.

Banyak pihak yang resah karena RUU-HIP ini disinyalir akan memeras Pancasila menjadi TRISILA dan diperas lagi menjadi EKASILA. Bahkan tak sekadar memeras, namun diduga kuat akan mengganti Pancasila (Pasal 7). Ini sekaligus meruntuhkan mitos para penganut paham “NKRI Harga Mati”.

Selama ini siapa saja yang mencoba kritis dan menasihati penguasa akan dituduh anti Pancasila. Bahkan mereka pun difitnah akan mengganti Pancasila. Dengan tuduhan itu mereka bisa dikriminalisasi secara legal. Bahkan aparat negara dikerahkan untuk menekan dan menghukum mereka yang kritis. Tak penting apakah benar-benar mereka anti Pancasila atau tidak. Yang penting mereka bisa dikriminalisasi dan tak kritis lagi.

Padahal kita pun tahu, hanya pihak penguasa yang bisa mengubah dan mengganti Pancasila. Lebih khusus lagi adalah rezim yang sedang berkuasa. Rakyat biasa tak mungkin bisa mengubah Pancasila. Ormas pun tak mungkin bisa mengubah Pancasila. Kalau ada yang menuding ada orang atau kelompok yang hendak mengubah Pancasila, itu fitnah yang keji.

Pancasila hanya bisa diubah oleh rezim yang berkuasa melalui institusi negara yang diberi kewenangan oleh Undang-undang. Rakyat biasa tak bisa melakukan itu. Kalau tiba-tiba ada si “Anu bin Fulan” yang mengaku sudah mengubah Pancasila dan menyampaikan ke publik maka tentu tidak dianggap sah. Bahkan dianggap tidak ada. Si Anu pun bisa dianggap orang kurang waras. Karena ia tak punya kewenangan sesuai amanat UU.

Akan sangat berbeda jika yang membuat tafsir dan mengubah Pancasila itu DPR dan Pemerintah. Tentu sebagai lembaga resmi negara, keduanya akan diakui publik. Bahkan negara adalah satu-satunya institusi yang punya kewenangan untuk memaksa rakyatnya tunduk, menerima dan menjalankan kebijakan negara.

Ketika membaca RUU HIP ini, ada dua hal yang sangat krusial. Pertama: Kita akan menemukan aroma dan indikasi dugaan kuat ada yang hendak mengubah dan mengganti Pancasila. Ini tentu berdampak pada negara. Kedua: Diduga keras ini akan menggusur peran agama dan ajarannya, bahkan mengamputasi otoritas Tuhan sebagai Pencipta alam semesta.

Setidaknya hal itu terdapat dalam beberapa pasal dalam RUU HIP ini. Di antaranya: Pertama, Pasal 6: 1, 2 menunjukkan adanya upaya untuk mengganti Pancasila. Ada perbedaan konsep yang semula sesuai kesepakatan para pendiri bangsa pada sidang PPKI tanggal 18/8/1945 akan diubah dan diganti dengan konsep Pancasila yang diajukan Bung Karno dalam pidato sidang BPUPKI 1/6/1945. Hal ini tampak dengan Peringatan 1 Juni sebagai hari kelahiran Pancasila. Padahal konsep Pancasila 1 juni 1945 itu berbeda dengan konsep ketika berdirinya negara dalam pembukaan Konstitusi 1945.

Indikasi yang lain, tampak jelas pada konsep RUU-HIP ini menjadikan sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial. Padahal sebelumnya yang menjadi dasarnya adalah Ketuhanan. Bukan keadilan sosial. Konstitusi negeri ini menegaskan hal ini pada Pasal 29 ayat (1): Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kedua, Pasal 7 ayat 1,2,3 menjadikan ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial. Pada ujungnya, ciri pokok Pancasila adalah Ekasila, yakni Gotong Royong. Pasal Ini dapat diartikan mengubah Pancasila menjadi Ekasila.

RUU ini justru lebih kental memuat misi Soekarnoisme tentang Pancasila menjadi Trisila dan menjadi Ekasila. Ini tampak pada Pasal 7 draft RUU ini, yaitu pada ayat (3): Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam Ekasila, gotong royong. Jadi intinya adalah gotong royong.

Pasal ini bisa dimaknai bahwa cara memahami dan mengamalkan Pancasila adalah dengan Ekasila. Intinya gotong-royong. Lalu siapakah orang yang paling baik dalam mengamalkan Pancasila dan dapat dijadikan contoh dan teladan bagi masyarakat?

Ketiga, RUU HIP ini diduga menggusur peran agama. Peran Agama diminimalisasi bahkan dinafikan. Termaktub pada Pasal 22: Pembangunan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 meliputi bidang-bidang sebagai berikut: (a) agama, rohani dan kebudayaan.

Pada pasal ini agama tidak lagi menjadi ruh dalam pembangunan nasional. Agama hanya disetarakan dengan kebudayaan. Posisi agama disejajarkan dengan ruhani dan kebudayaan.

Bahkan pada Misi dari Masyarakat Pancasila butir (a) sampai terakhir (f), sama sekali tak tersentuh aspek ketuhanan dan keagamaan (Pasal 11).

Keempat, diduga menolak otoritas Tuhan Yang Mahakuasa dan menguatkan otoritas manusia. RUU ini sudah terlalu jauh masuk ranah keimanan bahkan melecehkan kekuasaan Tuhan. Bagaimana mungkin di antara Ciri Manusia Pancasila yang beriman dan bertakwa itu harus menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Jadi ukuran keimanan dan ketakwaan harus didasarkan pada otoritas dan standar pendapat manusia. Pada Pasal 12 ayat 3 (a) dinyatakan: “…beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.”

Konsepsi “Ketuhanan yang berdasar kemanusiaan” ini sama mendegradasai kekuasaan Tuhan ke tingkat ukuran kemanusiaan. Ini adalah ancaman serius atas otoritas hukum Tuhan. Saat ini saja banyak aturan Tuhan yang tak diterapkan. Bagaimana nanti jika ditemukan ada aturan Tuhan, namun tidak cocok dengan selera manusia. Akankah selera manusia yang akan diutamakan?  Jika Tuhan saja tak lagi ditakuti, bagaimana negeri ini akan meraih berkah dan terhindar dari berbagai musibah?

Kelima, sulit menghindari dugaan publik bahwa RUU ini terpapar virus komunis. Semestinya dalam membahas Pancasila, TAP MPR yang melarang PKI dan ajaran komunis harusnya dimasukan dalam konsideran. Sejarah mencatat beberapa kali PKI yang berpaham komunis telah berkhianat dan memberontak di negeri ini. Namun, dalam konsiderannya justru tidak memuat Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, Organisasi Terlarang, dan Larangan Menyebarkan dan Mengembangkan Faham Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Selain masalah konsideran yang menimbulkan tanya publik, ternyata draft RUU-HIP yang terdiri dari 10 Bab dan 60 Pasal ini pun mengundang tanda tanya publik. RUU ini merupakan inisiatif DPR yang kini dipimpin oleh Puan Maharani (PDIP). RUU ini pun dibahas oleh Panja (Panitia Kerja) yang dipimpin juga oleh politisi PDIP, Rieke Dyah Pitaloka.

Tampak RUU ini terjadi di rezim yang dipimpin oleh Presiden (dari PDIP), Menkumham (dari PDIP), Ketua DPR (PDIP) dan Ketua Panja (PDIP). Jadi sulit dihindari banyak tanda tanya publik bahwa di balik RUU ini PDIP punya banyak peran.

Keenam, RUU ini diduga “mengubah” Konstitusi Negara. Ia mengubah haluan negara dan mengancam NKRI. Pasal 4 huruf b dapat dinilai sebagai menempatkan UU ini setara dengan UUD (Konstitusi): “pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pendidikan, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berketuhanan.”

Pasal tersebut dapat juga dinilai ‘setara’ dengan UUD (Konstitusi), karena terdapat frasa ‘pedoman’ bagi bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pendidikan, pertahanan dan keamanan. Meminjam istilah Prof. Danil Rasyid, Pasal 4 huruf b menjadi Omnibus Law Cipta Rezim Otoriter untuk membentuk sebuah Masyarakat Pancasila (Pasal 8) sesuai kehendak rezim berkuasa.

Entah mengapa DPR berinisiatif mengusulkan RUU semacam ini. Apalagi di tengah wabah Corona yang telah menelan banyak korban. RUU ini sangat berbahaya dan mengancam keutuhan negara. Perlu kewaspadaan dari seluruh elemen bangsa. Jangan sampai RUU ini justru diperalat untuk tunggangan kepentingan ideologi lain, baik itu kapitalis-liberal maupun sosialis-komunis.

Alhasil, patut diduga keras RUU ini memuat agenda berbahaya yang menghancurkan negara. Mengobrak-abrik hukum dan tatanan negara, mengancam konstitusi, menggusur peran agama bahkan melecehkan otoritas Tuhan yang harus tunduk pada konsep kemanusiaan.

Lalu, siapakah yang tak suka dengan ajaran agama dan ingin menggusur otoritas Tuhan?  Yang jelas saat ini ada yang sedang bekerja menyerahkan kekayaan alam kepada oligarki dan korporasi. Lalu mereka menikmati kekayaan itu bersama kroninya sambil menuding ada bahaya dari kelompok agama, aktifis garis keras, teroris, radikal, anti pancasila, intoleran, dll.

Publik dan elemen bangsa harus waspada dan menolak RUU ini. Selanjutnya segera kembali tunduk pada otoritas Tuhan, hukum Allah SWT, Pencipta semesta alam.

Semoga Allah SWT menjaga negeri ini dari tangan-tangan jahat yang akan menghancurkannya. Amin. []

 

[Penulis pernah belajar pemerintahan di STPDN angkatan ke-04 dan IIP Jakarta angkatan ke-29 serta MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twelve − 11 =

Back to top button