Tafsir

Persiapan Menerima Perkataan Yang Berat (2)

إِنَّا سَنُلۡقِي عَلَيۡكَ قَوۡلٗا ثَقِيلًا  ٥ إِنَّ نَاشِئَةَ ٱلَّيۡلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقۡوَمُ قِيلًا  ٦

Sungguh Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu. Sungguh, bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa) dan (bacaan pada waktu itu) lebih berkesan.(Tafsir QS al-Muzzammil [73] 5-6)

 

Dalam ayat sebelumnya Allah SWT menyeru Rasulullah saw. dengan panggilan yang sangat lembut dan ramah: Yâ ayyuhâ al-muzzammil (Wahai orang-orang yang berselimut). Beliau dipanggil untuk diperintahkan mengerjakan shalat pada malam hari. Menurut para ulama, yang dimaksud dengan shalat malam tersebut adalah shalat tahajud. Shalat dikerjakan pada setengahnya, kurang sedikit, atau lebih sedikit. Beliau juga diperintahkan untuk membaca al-Quran dengan tartil.

Kemudian ayat ini Allah SWT menerangkan alasan perkara itu diperintahkan kepada beliau.

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman:

إِنَّ نَاشِئَةَ ٱلَّيۡلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقۡوَمُ قِيلًا  ٦

Sungguh, bangun malam itu lebih kuat dan (bacaan pada waktu itu) lebih berkesan.

 

Kandungan kalimat dalam ayat ini merupakan ta’lîl (menjelaskan alasan) terhadap apa yang disampaikan dalam ayat sebelumnya.1 Ada dua hal yang diperintahkan dalam ayat sebelumnya, yakni mendirikan shalat dan membaca al-Quran secara tartil.

Kata (النَّاشِئَة) merupakan ism al-fâ’il (pelaku pekerjaan) dari kata نَشَأَ – يَنْشَأُ (mulai, muncul, permulaan, tumbuh, terjadi).2 Menurut al-Raghib al-Asfahani, kata النَّشْءُ والنَّشْأَةُ berarti mengadakan dan memelihara sesuatu).3 Dengan demikian, menurut Fakhruddin ar-Razi, semua yang terjadi adalah نَاشِئٌ (terjadi, muncul), bentuk muannats-nya adalah نَاشِئَةٌ.4 Kata tersebut juga bisa merupakan bentuk jamak dari kata نَاشِئٌ.5

Ketika disandingkan dengan  kata al-layl (malam), yakni menjadi nâsyi‘at al-layl (yang terjadi pada malam hari), maka setidaknya terdapat dua pendapat tentang maknanya. Pertama, yang dimaksud dengan nâsyi‘at al-layl adalah waktu atau saat malam hari. Artinya, ayat ini bermakna saat-saat dan waktu-waktu pada malam hari. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Qurthubi, Ibnu Katsir, al-Khazin, Ibnu ‘Adil, al-Samarqandi, dan lain-lain.6

Seluruh waktu yang berlangsung sepanjang malam disebut sebagai nâsyi‘ah karena muncul atau terjadi sedikit demi sedikit.7 Dengan kata lain, waktu itu datang setelah ada waktu yang sebelumnya datang.8 Dikatakan: نَشَأَ الشَّيْءُ يَنْشَأ (sesuatu itu muncul), ketika sesuatu itu mulai muncul dan datang sedikit demi sedikit). Karena itu sesuatu yang muncul itu disebut nâsyi‘ (sesuatu yang muncul).

Tentang waktu malam yang dimaksud, terdapat beberapa penjelasan. Ibnu Mulaikah pernah bertanya kepada Ibnu Abbas ra. dan Ibnu az-Zubair ra. tentang makna nâsyi‘at al-layl. Lalu dijawab, “Malam secara keseluruhan adalah nâsyi‘ah.”9

Penafsiran yang sama juga dikemukakan Ikrimah, al-Dhahhak, al-Baghawi, dan lain-lain.10

Ada juga yang mengatakan bahwa waktu malam yang dimaksud ayat ini bukan waktu sepanjang malam, namun hanya sebagian waktunya. Di antara yang berpendapat demikian adalah Zainal ‘Abidin. Katanya, itu adalah waktu antara maghrib dan isya’. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Said bin Jubair, adh-Dhahhak, dan al-Kisa`i. 11 Mereka beralasan, karena tersebut adalah permulaan malam.12 Sebagian lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud adalah waktu malam sesudah waktu isya’. Ini merupakan pendapat Abu Mijlaz, Qatadah, dan Abu Raja`.13

Pendapat kedua menyatakan bahwa nâsyi‘at al-layl adalah berbagai kejadian yang terjadi pada malam).14 Menurut Wahbah az-Zuhaili, yang dimaksud adalah apa yang muncul pada malam hari, terjadi dan berulang-ulang. Itulah berdiri untuk shalat setelah tidur.15 Dengan demikian, yang dimaksud dengan nâsyi‘at al-layl adalah aktivitas yang dikerjakan pada waktu malam, yakni shalat malam. Bukan waktunya itu sendiri sebagaimana penafsiran pertama.

Mereka yang berpendapat demikian mengatakan bahwa nâsyi‘at al-layl adalah seseorang yang bangun dari tempat tidurnya untuk beribadah. Maknanya, ketika orang itu bangun, beranjak dari tempatnya, lalu berdiri.16

Menurut al-Harari, al-mawshûf (benda yang disifati) dihilangkan. Lalu idhâfah (disandarkan pada al-layl, malam) berguna sebagai al-mulâbasah. Dengan demikian maknanya adalah jiwa yang bangun dan berdiri untuk shalat pada malam hari.17

Tentang waktu pelaksanaan shalat malam sehingga bisa disebut nâsyi’ah, terjadi perbedaan pendapat. Menurut Ibnu Zaid, kapan pun pada malam hari dikerjakan shalat, berarti dia telah naysa‘a (bangun). Pendapat yang sama juga dikemukakan Ibnu Abbas ra, Malik bin Anas, dan Mujahid.18

Sebagian mengatakan,  dilakukan antara maghrib dan isya’.  Diriwayatkan bahwa Ali bin al-Husain mengerjakan shalat antara maghrib dan isya’. Ia berkata, “Inilah nâsyi`at al-layl.” 19

Menurut al-Hasan, semua shalat sesudah isya’ akhir, itulah yang dimaksud dengan nâsyi‘at al-layl. 20 Ibnu Abbas berkata, “Shalat yang dikerjakan sesudah isya’ itulah nâsyi‘ah. Jika belum, maka bukanlah nâsyi‘ah.”21

Menurut sebagian lainnya, nâsyi‘at al-layl adalah qiyâm al-layl (shalat malam) yang dilakukan sesudah tidur. Ubaid bin Umar pernah bertanya kepada Aisyah ra., “Seseorang shalat pada awal malam. Apakah dia telah mendirikan nâsyi‘at al-layl? Aisyah ra. menjawab. “Tidak, sesungguhnya nâsyi‘at al-layl adalah shalat yang dilakukan sesudah tidur.”22

Meskipun terdapat perbedaan dalam menafsirkan kata nâsyi‘at al-layl, para ulama tidak berbeda tentang topik pembahasan ayat ini, yakni tentang qiyâm al-layl (shalat malam). Sebab, ayat ini merupakan penjelasan terhadap alasan mengapa shalat malam diperintahkan.

Hal ini sebagaimana diterangkan Ibnu Katsir. Setelah mengatakan bahwa makna nâsyi‘at al-layl adalah waktu-waktu pada malam hari, ia lalu berkata, “Yang dimaksud dengan nâsyi‘at al-layl di sini adalah qiyâm al-layl (shalat malam).”23

Diberitakan dalam ayat ini bahwa shalat malam itu هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا. Kata هِيَ adalah dhamîr fashl,24 yakni dhamîr (kata ganti) yang berada di antara mubtada’ (subjek) dan khabar (predikat) untuk memberitahu bahwa kata sesudah dhamîr fashl adalah khabar (predikat), bukan sifat. Dengan demikian kata أَشَدُّ berkedudukan sebagai khabar.

Dalam konteks ayat ini, dhamîr fashl tersebut berguna li taqwiyat al-hukm (untuk menguatkan hukum), bukan li al-hashr (untuk membatasi).25 Bisa juga li al-ikhtishâsh, sehingga memberikan makna khusus. Artinya, khusus shalat malam itu lebih kuat, bukan shalat pada siang hari.26 Menurut al-Biqa’i, hal itu karena shalat malam memiliki berbagai keistimewaan.27

Kata أَشَدُّ berarti  asyaqq (lebih berat).28 Al-Biqa’i juga memaknai kata itu dengan: lebih berat, lebih kuat, lebih kokoh dan lebih teguh.29 Adapun kata وَطْئًا berkedudukan sebagai tamyîz.30

Terdapat perbedaan dalam membaca ayat ini. Jumhur ulama membaca وَطْئًا dengan fathah pada al-wâwu dan sukûn pada ath-thâ‘ yang maqshur. Qirâ‘ah ini dipilih juga oleh Abu Hatim.31 Kata وَطْئًا merupakan mashdar dari kata  وطِئَ – يَطَأ (menginjak).32

Ada juga yang membaca kasrah pada al-wâwu dan ath-thâ‘ dipanjangkan, yakni: وِطَائًا Qirâ‘ah ini dibaca oleh Abu al-Aliyah, Ibnu Abi Ishaq, Mujahid, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir, Humaid, Ibnu Muhaishin, al-Mughirah, Abu Haiwah dan Abu ‘Ubaid.33

Perbedaan bacaan itu berkonsekuensi terhadap maknanya. Jika didasarkan pada bacaan yang pertama, yakni وَطْئًا, maka maknanya adalah shalat pada waktu malam lebih berat bagi orang yang melaksanakannya daripda shalat pada siang hari, karena malam hari untuk tidur.

Ibnu Qutaibah berkata, “Maknanya, shalat malam itu lebih berat bagi orang yang melaksanakannya daripda shalat pada waktu-waktu siang.”34

Penjelasan serupa juga dikemukakan al-Qurthubi, al-Baghawi, al-Khazin, dan lain-lain.35 Alasannya, malam hari adalah waktu untuk tidur dan istirahat. Karena itu siapa saja yang menyibukkan diri untuk beribadah, maka sungguh dia telah menanggung beban yang beratdan agung.36

Menurut Ali ash-Shabuni, bangun malam lebih susah dan berat bagi jiwa. Termasuk inti ibadah berat ini adalah menguatkan jiwa, meneguhkan tekad dan mengokohkan badan. Tidak ada keraguan bahwa penentangan musuh-musuh Islam memerlukan kekuatan jiwa dan ketangguhan fisik.”37

Adapun bacaan yang kedua, yakni وَاطَأَ, merupakan bentuk mashdar dari kata وَاطَأَ, yang berarti الْوِفَاقُ وَالْمُلاَءَمَةُ (kesesuaian, kecocokan, keserasian, keharmonisan). Makna ini seperti dalam firman Allah SWT:

لِّيُوَاطِئُوْا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ ٱللَّهُ ٣٧

Agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang telah Allah haramkan (QS at-Taubah [9]: 37).38

 

Dengan bacaan demikian, makna ayat ini adalah bahwa sesungguhnya shalat malam itu lebih selaras antara pendengaran, penglihatan, hati dan ucapan. Sebabnya, pada malam hari tidak terdapat suara-suara dan gerakan lain. Demikian penjelasan Mujahid dan Ibnu Abu Mulaikah. 39

Asy-Syinqithi mengatakan bahwa shalat malam yang dikerjakan pada malam hari lebih tepat untuk hati.40 Abdurrahman as-Sa’di juga berkata, “Sungguh shalat sesudah tidur lebih dekat untuk mencapai maksud al-Quran; hati dan lisan lebih selaras dengan al-Quran; kesibukannya berkurang, apa yang dikatakan dapat dapat dipahami; dan urusannya menjadi lurus. Berbeda halnya dengan siang hari, yang semua maksud tersebut tidak tercapai.”41

Kemudian disebutkan: وَأَقْوَمُ قِيلاً ([bacaan pada waktu itu] lebih berkesan). Kata أَقْوَمُ tersebut bermakna aktsaru ‘adlpan](lebih tepat) dan lebih dekat dengan kebenaran.

Adapun makna قِيلاً bermakna الْقَوْلُ (perkataan). Yang dimaksud adalah bacaan al-Quran sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya. Dengan demikian ayat ini bermakna, “Sungguh shalat malam lebih membantu dalam mengingat al-Quran dan aman dari lupa pada sebagian ayat dan lebih menunjang dalam meningkatkan tadabbur terhadap al-Quran.”42

Asy-Syaukani berkata, “Perkataannya lebih mengena dan bacaannya lebih kokoh karena hati turut menyertai; keadaan tenang tanpa suara-suara yang mengganggu; lebih istiqamah dan langgeng bacaannya karena pada malam hari tidak ada suara-suara berisik dan suasananya yang tenang, sehingga orang yang shalat tidak terganggu dalam bacaannya.”43

Muhammad Ali ash-Shabuni berkata, “Lebih kuat dan lebih jelas ucapannya. Sebab, pada  malam hari suasana hening dan aktivitas berhenti. Dengan demikian jiwa menjadi lebih jernih dan hati lebih terang. Sebab, tenangnya suara pada malam dan diamnya manusia lebih membantu jiwa untuk merenung dan menghayati rahasia al-Quran.”44

WalLâh a’lam bi al-shawwâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1        Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhu, vol. 10 (Damaskus: Dar al-Yamamah, 1995), 261. Lihat juga Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 2, 262

2        Lihat Ibnu al-‘Arabiyy, Ahkâm al-Qur`ân, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 328; al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 379; al-Qinnauji, Fath al-Bayân fî Masqâshid al-Qur`ân, vol. 14, 384

3        al-Ashfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-QUr‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 2001), 807

4        Lihat al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 684

5        al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzîl, vol. 8 (Beirut: Dar al-Thayyibah, 1997), 253

6        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 39. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar Thayyibah, 1999,   252; Ibnu ‘Adil, al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, vol. 19 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 462; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 509; al-Qinnauji, Fath al-Bayân fî Masqâshid al-Qur‘ân, vol. 14, 384; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 357.  Lihat juga al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 684

7        al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 379; al-Qinnauji, Fath al-Bayân fî Masqâshid al-Qur‘ân, vol. 14, 384

8        al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 357

9        Lihat al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 684; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 682; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 251

10      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 682-683; al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzîl, vol. 8, 253

11      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 684; Nizhamuddin al-Naisaburi, Gharâib al-Qur‘ân wa Raghâib al-Furqân, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 379

12      Nizhamuddin al-Naisaburi, Gharâib al-Qur‘ân wa Raghâib al-Furqân, vol. 6, 379

13      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 683

14      Lihat al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 684; Nizhamuddin al-Naisaburi, Gharâib al-Qur‘ân wa Raghâib al-Furqân, vol. 6, 379

15      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 190

16      Lihat al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 117; al-Zamakhsyari, al-Kasyasyîf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1983), 638; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 685; al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 379; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 350

17      al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 350

18      Ibnu al-‘Arabiyy, Ahkâm al-Qur`ân, vol. 4, 329; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. 24, 682-683; Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol. 5, 387

19      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 683

20      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 683

21      al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fî  Tanâsub al-Suwar, vol. 21, 11

22      al-Zamakhsyari, al-Kasyasyîf, vol. 4, 638; Nizhamuddin al-Naisaburi, Gharâib al-Qur‘ân wa Raghâib al-Furqân, vol. 6, 379. Lihat juga al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 685

23      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 252

24      Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Rasyid, 1998), 133

25      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 263

26      Lihat al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 117; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 350

27      al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fî  Tanâsub al-Suwar, vol. 21, 11

28      al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 350

29      al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fî  Tanâsub al-Suwar, vol. 21, 11

30      Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29, 133

31      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 40; al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 380.

32      Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29, 133

33      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 40; al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 380. Lihat juga al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzîl, vol. 8, 253; Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 263

34      al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 380. Lihat juga al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzîl, vol. 8, 253

35      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 40; al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzîl, vol. 8, 253; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 357

36      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 40. Lihat juga al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzîl, vol. 8, 253; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 357

37      al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 442

38      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 263. Lihat juga al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 380

39      al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 380

40      al-Syinqithi, Adhwâ‘u al-Bayân, vol. 8, 359

41      al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahman fî Tafsîr Kalâm al-Mannân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 892. Lihat juga Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 263

42      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 263

43      al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 380

44      al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 442

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four × five =

Back to top button