Tafsir

Tuntunan Untuk Para Da’i

رَّبُّ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ فَٱتَّخِذۡهُ وَكِيلٗا  ٩ وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَٱهۡجُرۡهُمۡ هَجۡرٗا جَمِيلٗا  ١٠

(Dialah) Tuhan timur dan barat. Tidak ada tuhan selain Dia. Karena itu jadikanlah Dia sebagai Pelindung. Bersabarlah (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik. (QS al-Muzzammil [73] 9-10)

 

Beberapa Pelajaran Penting

Dalam ayat-ayat ini terdapat banyak pelajaran penting. Pertama: Penegasan tentang tauhid. Dalam ayat ini Allah SWT berfirman: رَّبُّ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ (Tuhan timur dan barat). Maknanya adalah Dialah Tuhan Pencipta, Pemilik dan Pengatur timur dan barat beserta semua yang ada di antara keduanya. Dengan kata lain Dialah Tuhan alam semesta. Hal yang sama juga disebutkan dalam firman Allah SWT yang lain (Lihat, misalnya: QS ar-Rahman [55]: 17; QS al-Ma’arij [70]: 40).

Dalam ayat ini juga ditegaskan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq dan wajib disembah. Allah SWT berfirman: لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ (Tidak tidak ada Tuhan [yang layak disembah] kecuali Dia). Ayat ini seolah menegaskan bahwa Zat Yang menjadi Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam, adalah Zat Yang berhak dan layak untuk disembah dan ditaati atas semua perintah-Nya (Lihat, misalnya QS Maryam [18]: 65, dan penjelasannya oleh Wahbah az-Zuhaili).1

Kedua: Perintah menjadikan Allah SWT sebagai Wakîl. Perintah tersebut dengan jelas disebutkan dalam firman-Nya: فَٱتَّخِذۡهُ وَكِيلٗا (Karena itu jadikanlah Dia sebagai Pelindung), yakni menjadikan Allah sebagai Hâfizh wa Mudabbir (Pejaga dan Pengatur) segala sesuatu.2

Patut ditegaskan bahwa Allah SWT adalah Al-Wakîl. Menurut Ibnu Manzhur, الوَكِيل adalah المقيم الكفيل بأَرزاق العباد Penanggung Jawab dan Penjamin Rezeki hamba.3 Sangat banyak ayat menegaskan bahwa Allah adalah Al-Wakîl segala sesuatu (Lihat, misalnya, QS al-Zumar [39]: 62).

Sikap menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT dan bersandar hanya kepada-Nya itu disebut sebagai at-tawakkul. Ibnu Rajab berkata:

وَحَقِيقَةٌ التَّوَكُّلِ: هُوَ صِدْقُ اعْتِمَادِ الْقَلْب عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي اسْتِجْلَابِ الْمَصَالِحِ، وَدَفْعِ الْمَضَارِّ مِنْ أُمُورِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ كُلِّهَا، وَكِلَة اْلأُمُورِ كُلِّهَا إِلَيْهِ، وَتَحْقِيقُ اْلإِيمَانِ بِأَنَّهُ لاَ يُعْطِي وَلاَ يَمْنَعُ وَلاَ يَضُرُّ وَلاَ يَنْفَعُ سِوَاهُ.

Hakikat tawakal adalah menyandarkan hati kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan benar untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya, baik dalam urusan dunia maupun akhirat; menyerahkan semua urusan kepada-Nya; serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada yang  bisa memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata.4

 

Sangat banyak ayat yang memerintahkan orang-orang Mukmin untuk bertawakal kepada-Nya (Lihat, misalnya: QS al-ahzab [33]: 3, dan penjelasannya).5

Sikap tawakal juga menjadi di antara ciri orang-orang beriman. Allah SWT berfirman:

وَعَلَى ٱللَّهِ فَتَوَكَّلُوٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ  ٢٣

Bertawakallah kalian hanya kepada Allah jika kalian kaum Mukmin (QS al-Maidah [5]: 23).

 

Perintah tersebut ditegaskan dengan adanya larangan menjadikan wakîl (penjaga, pengatur) selain Allah SWT.  Allah SWT berfirman:

أَلَّا تَتَّخِذُواْ مِن دُونِي وَكِيلٗا  ٢

Janganlah kalian mengambil pelindung selain Aku (QS al-Isra’ [17]: 2).

 

Kepada orang yang bertawakal kepada-Nya, Allah SWT menjanjikan untuk mencukupi (segela keperluan)-nya. Allah SWT berfirman:

وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ ٣

Siapa saja yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi (keperluan)-nya (QS ath-Thalaq [65]: 3).

 

Patut dicatat, tawakal merupakan amalan hati. Jika ada seseorang mengatakan bahwa dia telah bertawakal kepada Allah SWT, namun hatinya tidak membenarkannya, maka tidak dianggap sebagai orang yang bertawakal.

Juga patut ditegaskan, tawakal bukan berarti boleh meninggalkan faktor-faktor yang menjadi sebab-musabab. Buktinya Rasulullah saw. senantiasa bertawakal kepada Allah SWT, pada saat yang sama beliau juga beramal dengan berpegang pada hukum kausalitas. Beliau telah memerintahkan para Sahabat agar melakukan kedua perkara tersebut, baik yang ada dalam al-Quran atau al-Hadits. Beliau telah menyiapkan kekuatan yang mampu dilakukan, seperti (menutu) sumur-sumur pada saat Perang Badar dan menggali parit pada saat Perang Khandaq. Beliau menyebarkan mata-mata, memutuskan air dari Khaibar, dan mencari informasi tentang kaum Quraisy ketika melakukan perjalanan untuk memutuhat Makkah.

Menurut Ibnu Rajab, mewujudkan tawakal bukan  berarti meniadakan usaha yang menjadi sebab-sebab sebab atau sunnatullah yang telah ditetapkan dan ditakdirkan Allah SWT. Sebabnya, Allah memerintahkan kita untuk melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan kita untuk bertawakal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab merupakan ketaatan kepada Allah SWT, sedangkan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya (Lihat, misalnya: QS al-Nisa [4]: 71; QS al-Anfaal [8]: 60; QS al-Jumu’ah [62]: 10).6

Gambaran tawakal yang benar juga diterangkan dalam Hadis dari Umar bin al-Khaththab ra. bahwa Nabi saw. bersabda:

لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِه لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

Andai kalian bertawakal kepada Allah dengan sebanr-benarnya, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang (HR Ibnu Majah, Ahmad dan al-Hakim).

 

Menurut al-Mula al-Harawi al-Qari, hadis ini mengingatkan bahwa usaha bukan pemberi rezeki. Ar-Razzâq (Zat Yang Maha Pemberi Rezeki) adalah Allah SWT. Bukan berarti melarang untuk melakukan usaha. Sebab, tawakal tempatnya adalah hati, sehingga tidak meniadakan gerakan tubuh (usaha). Meskipun demikian, kadang Allah SWT juga memberikan rezeki kepada tanpa harus usaha, namun dengan menggerakkan pihak lain lain yang mengantarkan rezeki Allah SWT dengan barakah-nya. Ini sebagaimana dapat dipahami dari firman-Nya:

۞وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا ٦

Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah (QS Hud [11]: 6).7

 

Ketiga: Perintah bersabar terhadap berbagai perkataan yang menyakitkan. Dalam ayat ini Allah SWT berfirman: وَاصْبِرْ عَلى مَا يَقُوْلُوْنَ (dan bersabarlah (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan). Sebagaimana diterangkan, berbagai perkataan yang menyakitkan, baik berupa gangguan, cacian, olok-olokan dan semacamnya tidak boleh membuat beliau merasa cemas dan menghentikan dakwah beliau.8  Perintah senada juga disampaikan dalam firman-Nya dalam ayat yang lain: (Lihat, misalnya: QS Qaf [50]: 39).

Patut dicatat, dakwah sesungguhnya merupakan kebutuhan orang yang didakwahi. Sebab, orang yang tidak mengetahui jalan yang benar, menjadi tahu dengan adanya dakwah. Orang yang sebelumnya berada dalam kesesatan, menjadi terselamatkan dari azab, mendapatkan ampunan dan surga-Nya dengan dakwah. Oleh karena itu, ketika mereka berpaling dari seruan dakwah, apalagi dengan cara yang buruk, secara manusiawi sungguh sangat menjengkelkan bagi penyenyerunya. Inilah yang diadukan oleh Nuh as. kepada Allah SWT sebagaimana diberitakan dalam firman-Nya (QS Nuh [71]: 10).

Apalagi jika orang yang didakwahi justru memusuhi, melontarkan perkataan yang buruk, dan  berbagai tindakan yang menyakitkan. Semua itu jelas akan menyedihkan penyeru dakwah. Ujung akhirnya, bisa kehilangan kesabaran dan berhenti menyampaikan dakwah. Jika itu terjadi, maka keadaan masyarakat sudah rusak dan tersesat akan semakin rusak dan tersesat. Kekufuran dan kemungkaran semakin mendominasi. Sebaliknya, kebenaran justru tenggelam.

Oleh karena itu, dakwah tidak boleh berhenti sekalipun mendapatkan penolakan, permusuhan dan berbagai tindakan menyakitkan. Ini pula yang diperintahkan Allah SWT kepada Nabi-Nya:  tetap bersabar dan tidak  risau terhadap  orang yang ingkar (QS ar-Rum [30]: 60).

Allah SWT juga mengingatkan bahwa pendustaan dan permusuhan oleh kaumnya tidak hanya dialami oleh Rasulullah saw., namun juga para nabi dan rasul terdahulu (QS al-An’am [6]: 34; QS al-Ahqaaf [46]: 35).

Rasulullah saw. pun telah mempraktikkan kesabaran yang luar biasa. Berbagai hinaan, celaan, cacian, ejekan beliau alami. Bahkan lemparan batu, kekerasan fisik, dan ancaman jiwa. Semua itu tidak membuat menyurutkan beliau dari dakwah.

Keempat: Meninggalkan orang-orang yang menentang dakwah dengan cara yang baik. Dalam ayat ini Allah SWT berfirman: وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيْلاً (dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik). Menurut para mufassir, yang dimaksud dengan al-hajr al-jamîl (meninggalkan dengan cara yang baik) adalah  meninggalkan mereka dengan tidak mencaci-maki,  mencela dan mencerca.9

Menurut yang lainnya, al-hajr al-jamîl (meninggalkan dengan baik) adalah dengan menjauhi mereka dengan hati dan kecenderungannya, menyelisihi mereka dalam hal perbuatan dengan diiringi kelembutan, serta tidak melakukan pembalasan. Hal serupa juga disebutkan dalam firman Allah SWT yang lain (QS al-Nisa‘ [4]: 63; QS al-A’raf [7]: 199; QS al-Najm [53]: 29).10

Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan meninggakan dengan baik adalah meninggalkan karena Allah SWT. Ini sebagaimana diperintahkan dalam firman-Nya yang lain (QS al-An’am [6]: 68).11

Demikianlah. Inilah berbagai ketentuan dan  perintah Rasulullah saw. pada awal dakwahnya. Perintah ini juga berlaku bagi umatnya dan senantiasa relevan di sepanjang zaman. Bagi siapa pun yang menapaki jalan yang beliau tempuh, terutama dalam mengemban dakwah di tengah umat, hendaklah mengerjakan berbagai ketentuan dan perintah tersebut. Semoga kita diberikan taufik untuk menjalaninya.

WalLâh a’lam bi al-shawwâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1        al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 16, 140

2        al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahman fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, 893

3        Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 11, 734

4        Ibnu Rajab al-Hambali, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, vol. 2 (Beirut: Muassah al-Risalah, 2001), 497

5        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 6, 375

6        Ibnu Rajab al-Hambali, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, vol. 2, 498

7        Al-Mula al-Harawi al-Qari, Mirâqat al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, vol. 8 (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), 3320

8        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘an, vol. 19, 45

9        al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 443

10      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiy, 1420 H), 689

11      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 689; Nizhamuddin al-Naisaburi, Gharâib al-Qur‘ân wa Raghâib al-Furqân, vol. 6, 380; Abu Ja’far Ahmad al-Nahhas, I‘râb al-Qur‘ân, vol. 5, 39

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × 3 =

Back to top button