Tafsir

Ujian dan Taklif Hukum

(Tafsir QS al-Insan[76]: 1-3)

هَلۡ أَتَىٰ عَلَى ٱلۡإِنسَٰنِ حِينٞ مِّنَ ٱلدَّهۡرِ لَمۡ يَكُن شَيۡ‍ٔٗا مَّذۡكُورًا ١  إِنَّا خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن نُّطۡفَةٍ أَمۡشَاجٖ نَّبۡتَلِيهِ فَجَعَلۡنَٰهُ سَمِيعَۢا بَصِيرًا ٢ إِنَّا هَدَيۡنَٰهُ ٱلسَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرٗا وَإِمَّا كَفُورًا ٣

Bukankah telah datang kepada manusia satu waktu dari masa, sementara dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sungguh Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang kemudian Kami uji (dengan perintah dan larangan). Karena itu Kami menjadikan dia mendengar dan melihat. Sungguh Kami telah menunjuki dia jalan yang lurus. Ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir (QS al-Insan [76]: 1-3).

 

Surat ini dinamai dengan Surat al-Insan yang berarti manusia. Di awal, surat ini memang berbicara tentang manusia; mulai dari ketiadaannya, lalu diciptakan, pilihan hidupnya, hingga akhir nasibnya di akhirat. Menurut Syihabuddin al-Alusi, surat ini juga dinamai dengan surat ad-Dahr, al-Abrar dan al-Amsyaj.1

Menurut jumhur ulama, surat ini termasuk Madaniyyah. Ada juga yang mengatakan termasuk Makkiyyah, seperti Ibnu Abbas, Muqatil dan al-Kalbi.2

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Hal atâ ‘alâ al-insân (Bukankah telah datang kepada manusia). Ayat ini diawali dengan huruf Hal yang merupakan istifhâm atau kata tanya: Apakah? Dalam konteks ayat ini kata itu bermakna qad (sungguh). Sehingga: Hal atâ (Apakah telah datang) bermakna: Qad atâ (Sungguh telah datang).3

Adapun yang dimaksud dengan al-insân terdapat perbedaan. Menurut sebagian, manusia itu adalah Adam as.4 Sebagian lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud adalah jins al-insân. Artinya, mencakup seluruh manusia.5 Alasannya adalah firman Allah SWT selanjutnya: Innâ Khlaqnâ al-insân (Sungguh Kami telah menciptakan manusia).6

Kemudian dilanjutkan: hîn[un] min al-dahr lam yakun syay‘a[n] madzkûr[an] (suatu waktu dari masa, sementara dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut). Yang dimaksud dengan hîn adalah bagian tertentu dari zaman atau waktu. Adapun kata ad-dahr adalah masa  yang terbentang dan tidak terbatas.7

Menurut ayat ini, pada masa itu manusia bukan merupakan sesuatu yang disebut. Menurut sebagian besar mufassir, masa itu adalah masa empat puluh tahun. Saat itu Adam masih berupa tanah yang didiamkan dan belum ditiupkan ruh di dalamnya. Itulah ukuran masa yang disebutkan dalam ayat ini.8

Masa tersebut dinyatakan belum merupakan sesuatu yang dapat disebut”. Pasalnya, ketika itu manusia belum menjadi sesuatu yang dikenal, tidak memiliki derajat dan kemuliaan, dan hanya berupa tanah liat yang keras dan menyerupai tembikar.9

Al-Khazin berkata, “Tidak disebut, tidak dikenal, tidak diketahui namanya dan tidak dikehendaki.” Itu terjadi sebelum ditiupkan ruh di dalamnya; menjadi sesuatu yang tidak disebut.10

Menurut az-Zuhaili, ketika itu manusia dilupakan dan belum ada. Saat itu Adam beserta anak-anaknya bukanlah sesuatu yang dikenal, belum diciptakan dan tidak disebut oleh khalifah yang mendahuluinya, yakni malaikat dan jin. Ini mengabarkan bahwa manusia pada awal penciptaannya tidak ada dan bukan makhluk.11 Menurut Ibnu Katsir, manusia tidak disebut-sebut ketika itu karena keadaannya yang hina dan lemah.12

Kemudian Allah SWT berfirman: Innâ Khlaqnâ al-insân min nuthfah amsâj (Sungguh Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur). Ayat ini menerangkan bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berasal dari nuthfah yang bercampur.

Jika dalam ayat sebelumnya terdapat perbedaan tentang siapa yang dimaksud dengan al-insân, dalam ayat ini kata tersebut jelas menunjuk kepada anak keturunan Adam.13 Bahkan menurut Imam al-Qurthubi, dalam menafsirkan kata tersebut tidak ada perbedaan.14 Hal itu karena disebutkan bahwa mereka diciptakan dari nuthfah amsâj (air mani yang bercampur). Ini jelas bukan Adam as. karena dia diciptakan dari tanah sebagaimana diberitakan dalam banyak ayat.

Secara bahasa, kata nuthfah bermakna air yang menetes. Yang dimaksud adalah air mani.15 Menurut al-Qurthubi, asy-Syaukani dan yang lainnya, semua air sedikit yang berada dalam sebuah wadah adalah nuthfah.16

Kata amsâj berkedudukan sebagai sifat bagi kata nuthfah. Kata tersebut bermakna akhlâth (bercampur), merupakan bentuk jamak dari kata al-masyj atau al-masîj. Artinya, sesuatu yang sebagian darinya bercampur dengan sebagian yang lain.17 Menurut para mufassir, nuthfah yang bercampur itu adalah air laki-laki dan air perempuan. Demikian menurut Ibnu Abbas, Ikrimah, al-Hasan dan Mujahid.18 Demikian  juga menurut al-Hasan dan Rabi’ bin Anas. Mereka semua mengatakan bahwa amsyâj adalah air mani laki-laki yang bercampur dengan air mani perempuan.19 Menurut ar-Razi, ini merupakan pendapat kebanyakan, sebagaimana diterangkan dalam QS ath-Thariq [86]: 7.20

Kemudian dijelaskan bahwa Allah SWT yang menciptakan manusia akan menguji makhluk ciptaan-Nya. Disebutkan: Nabtalîhi (Kami hendak mengujinya). Maknanya: linabtalîhi (agar Kami mengujinya).21

Makna al-ibtilâ‘ adalah al-ikhtibâr (ujian). Banyak mufassir menafsikran makna Nabtalîhi sebagai Nakhtabiruhu (Kami mengujinya).22 Ujian kepada manusia itu berupa adanya berbagai taklif hukum yang dibebankan kepada mereka, baik perintah maupun larangan, ketika dia telah mampu melakukannya, yaitu sudah balig dan berakal.23 Selain taklif-taklif hukum, ujian tersebut juga berupa kebaikan dan keburukan.24

Lalu disebutkan: Faja’alnâhu samî[an] bashîr[an] (Karena itu Kami menjadikan dia mendengar dan melihat). Untuk bisa menjalankan berbagai taklif hukum yang merupakan ujian dari Allah SWT, maka Dia memberi manusia perangkat. Itulah pendengaran dan penglihatan. Dengan begitu, menurut Ibnu Katsir, manusia dapat melakukan ketaatan atau kedurhakaan.25

Kemudian Allah SWT berfirman dalam ayat berikutnya: Innâ hadaynâ as-sabîl immâ syâkir[an[ wa immâ kafûr[an] (Sungguh Kami telah menunjuki dia jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir). Selain diberi indera sebagai perangkat penting untuk berpikir, manusia juga diberi petunjuk oleh Allah SWT. Dalam ayat disebutkan: Innâ hadaynâ al-sabîl (Sungguh Kami telah menunjuki dia jalan). Kata hadaynâ bermakna: bayyannâ lahu wa ‘arrafnâhu (Kami menerangkan dan memberitahu dia).

Adapun as-sabîl bermakna ath-tharîq (jalan). Dalam konteks ayat ini, yang dimaksud adalah jalan petunjuk dan kesesatan; kebaikan dan keburukan. Ini sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Balad [90]: 10.26

Maknanya: Kami menerangkan kepada manusia jalan kebaikan dan jalan keburukan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ikrimah, Athiyyah, Ibnu Zaid dan Mujahid—menurut riwayat yang masyhur—serta Jumhur ulama.27 Mujahid berkata, “(Maknya) Kami menerangkan kepada manusia jalan kesengsaraan dan kebahagiaan.”28

Petunjuk yang berasal dari Allah SWT itu disampaikan kepada manusia melalui para rasul-Nya. Imam al-Qurthubi berkata, “(Maknanya) Kami menerangkan dan memberitahukan kepada manusia jalan petunjuk dan kesesatan, kebaikan dan keburukan, dengan mengutus para rasul.”29

Atas petunjuk dari Allah SWT tersebut, sikap manusia pun terbelah. Ada yang menerima dan ada yang menolak. Allah SWT berfirman: immâ syâkir[an] wa immâ kafûr[an] (ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir).

Syâkir adalah orang yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah SWT, mengimani-Nya dan mendapatkan petunjuk-Nya.30 Itulah orang Mukmin yang benar dalam keimanannya dan taat kepada Tuhannya.31

Sebaliknya, kafûr adalah orang yang mengingkari nikmat-Nya, berpaling dari ketaatan kepada-Nya dan menentang petunjuk Ilahi.32 Itulah orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan perjumpaan dengan-Nya (Hari Kiamat).33

           

Beberapa Pelajaran Penting

Pertama: Awal mula dan asal usul manusia. Ayat ini mengingatkan manusia saat mereka belum ada dan belum diciptakan. Mereka bukan siapa-siapa, bukan apa-apa dan bahkan tidak dikenal dan tidak disebut-sebut. Menurut Ibnu Katsir, mereka tidak disebut-sebut karena kehinaan dan kelemahan mereka. Jadi, atas dasar apa manusia bisa sombong dan takabur setelah dihidupkan?

Setelah sebelumnya tiada, kemudian Allah SWT menciptakan mereka. Dari tiada menjadi ada. Dari yang sebelumya mati menjadi hidup. Dengan demikian mereka ada di dunia karena Dia ciptakan. Mereka bisa hidup di dunia karena Dia hidupkan. Seandainya Dia tidak menciptakan mereka, niscaya mereka tidak akan pernah ada. Lalu atas dasar apa mereka ingkar kepada Zat Yang menciptakan mereka? Bahkan berani lancang dan melawan Penciptanya?

Diingatkan pula asal-usul mereka. Mereka diciptakan dari nuthfah amsyâj (air mani yang bercampur). Air yang hanya setetes; pencampuran dari air yang berasal dari bapak dan ibu mereka. Dari bahan air yang amat sedikit lagi menjijikkan itulah oleh SWT menciptakan mereka sehingga menjadi makhluk yang sempurna dengan segala kelebihannya. Lalu atas dasar apa mereka bersikap sombong dan takabur terhadap Penciptanya? Bagaimana pula manusia mengingkari Hari Kiamat yang Allah SWT beritakan pasti akan terjadi? Jika Dia yang menciptakan manusia pada awal mulanya, tentu Dia pun berkuasa menghidupkan kembali mereka pada Hari Kiamat.

Kedua: Tujuan penciptaan manusia. Harus diingat bahwa penciptaan manusia bukan tanpa tujuan. Akan tetapi, ada yang dikehendaki Allah SWT atas makhluk ciptaan-Nya itu. Dalam ayat disebutkan: Nabtalîhi. Menurut para ulama, kata tersebut bermakna Nakhtabiruhu (Kami akan menguji dia).

Ujian yang diberikan kepada manusia itu adalah berbagai taklif hukum yang dibebankan kepada manusia. Taklif-taklif hukum itu disampaikan oleh para nabi dan rasul yang Dia utus dan kitab-kitab yang Dia turunkan. Dengan ujian tersebut akan diketahui siapakah di antara mereka: yang beriman dan kufur, yang baik dan jahat, yang berhak mendapatkan ridha-Nya dan mendapatkan murka-Nya, serta yang akan diberi surga dan neraka. Menurut Ibnu Katsir, ayat ini senada dengan QS al-Mulk [67]: 2.34

Ketiga: Bekal yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia untuk bisa menerima taklif hukum. Dalam ayat ini ada dua bekal yang disebutkan. Pertama, pendengaran dan penglihatan. Kedua indera tersebut amat penting bagi manusia. Keduanya juga merupakan salah unsur yang harus ada dalam berpikir. Tanpa keduanya manusia tidak akan bisa berpikir dengan benar. Oleh karena itu, ketika dua indera itu tidak dimiliki, manusia tidak ada taklif karena tiadanya kemampuan.

Sebagai gambaran, bagaimana mungkin seseorang akan bisa mengerjakan kewajiban dari Allah SWT jika dia tidak bisa mendengar dan menyaksikan apa saja yang diwajibkan dan bagaimana menjalankannya. Bagaimana mungkin pula dia bisa menjauhi larangan-Nya jika dia tidak bisa mendengar dan menyaksikan apa saja yang diharamkan dan bagaimana menjauhinya.

Ayat ini menjelaskan kepada kita, Allah SWT  telah menganugerahkan dua perangkat penting itu kepada manusia. Dengan dua indera itulah manusia pantas dan layak untuk diuji. Kedua, petunjuk jalan dari Allah SWT berupa agama. Dengan akal, yang di antara perangkat pentingnya adalah indera pendengaran dan penglihatan, manusia dapat memahami fakta. Dia bisa membedakan antara makanan yang bergizi atau berbahaya bagi kesehatan, rumah yang bagus atau jelek, suara yang merdu atau sumbang, dan lain-lain. Akan tetapi, manusia hanya dengan akalnya tidak akan mengetahui perbuatan mana yang mendapatkan ridha-Nya dan mendapatkan murka-Nya, yang mendapatkan pahala atau dosanya, dan yang mengantarkan pada surga atau neraka. Sebab, semua itu tidak dapat dijangkau oleh indera manusia sehingga akal itu pun tidak bisa digunakan dalam wilayah ini. Di sinilah manusia memerlukan petunjuk jalan dari Allah SWT. Tanpa meminta, Allah SWT telah mengutus para nabi dan rasul kepada manusia untuk menyampaikan petunjuk-Nya.

Keempat: Respon manusia terhadap petunjuk dari Allah SWT. Ayat ini memberitakan tentang sikap manusia mendapatkan petunjuk jalan-Nya. Disebutkan: immâ syâkir[an] wa immâ kafûr[an] (ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir). Ini menunjukkan menjadi Mukmin atau kafir merupakan pilihan. Namun demikian, pilihan itu harus dipertanggunjawabkan, terutama di akhirat. Dalam ayat selanjutnya diberitakan siksa berat telah disediakan Allah SWT bagi orang-orang kafir. Sebaliknya, berbagai kenikmatan surga akan dianugerahkan kepada orang-orang Mukmin yang bertakwa.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1          Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 166.

2          Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 118.

3          Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2993), 481. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 118; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 415; al-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 739.

4          Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 119; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 415; al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 87; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutuba al-;Ilmiyyah, 1995), 376; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 482.

5          Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 665; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 167; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 2, 281-282.

6          Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 665; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 282; al-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 739.

7          Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 281.

8          Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 87-88. Lihat al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 482.

9          Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 88.

10        Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 376.

11        Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 282.

12        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibahm 1999), 285.

13        Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 88; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 415; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 482.

14        Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 120.

15        Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 120.

16        Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 120; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 415; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 482.

17        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 285; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 120; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wïl, vol. 5, 269; al-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 740.

18        Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 88-89; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wïl, vol. 5, 269.

19        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 285

20        Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 740.

21        Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 740.

22        Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 121; al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 91; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 286.

23        Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 482

24        Asy-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 416

25        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 286.

26        Asy-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 416; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 283

27        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 286.

28        Asy-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 416.

29        Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 122.

30        Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 283.

31        Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 483.

32        Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 283.

33        Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 483.

34        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 286.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one × 5 =

Back to top button