Takrifat

Mafhûm al-mukhâlafah – Mafhûm al-‘Adad

Mafhûm al-mukhâlafah adalah lafal yang madlul (makna) pada posisi diamnya berlawanan dengan madlul (makna)-nya pada posisi pengucapan. Artinya, makna dan hukum yang dipahami dari madlul lafalnya berlawanan (mukhâlif[an]) dengan apa yang dipahami dari lafal itu sendiri. Jadi makna lazim untuk madlul lafal itu berlawanan dengan madlul tersebut.

Salah satu dari jenis mafhûm al-mukhâlafah yang menjadi hujjah dan diamalkan, seperti penjelasan para ulama ushul, adalah mafhûm al-‘adad  (mafhum hitungan). Ini merupakan pendapat Imam Malik dan ulama Malikiyah, Dawud azh-Zhahiri, Imam Syafii, Abu Hamid, Imam al-Ghazali, Qadhi Abbu Thayyib ath-Thabari, Qadhi al-Mawardi dan sebagian ulama Syafiiyyah lainnya, Imam Ahmad dan ulama Hanbali, Burhanuddin al-Marghinani pengarang Al-Hidâyah Syarhu al-Bidâyah dari kalangan ulama Hanafiyah, dan lainnya.

Abu Hanifah dan ulama Hanafiyah serta banyak ulama Syafiiyyah seperti Imam al-Juwaini dan Imam an-Nawawi, dan mereka yang mengingkari mafhûm ash-shifat menilai mafhûm al-‘adad bukan sebagai hujjah (Lihat: Az-Zarkasyi, Bahru al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqhi; Asy-Syaukani, Irsyâdu al-Fuhûl).

 

Ketentuan Mafhûm al-‘Adad

Imam Ibnu Qudamah di dalam Rawdhah an-Nâzhir wa Jannah al-Munâzhir mendefinisikan mafhûm al-‘adad sebagai: mengkhususkan suatu jenis hitungan dengan hukum.

Menurut az-Zarkasyi di dalam Bahru al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqhi dan Imam asy-Syaukani di dalam Irsyâd al-Fuhûl, mafhûm al-‘adad adalah pengaitan hukum dengan hitungan khusus, menunjukkan penafian hukum pada selain hitungan itu, baik yang lebih atau kurang.

Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Jilid 3, mendefinisikan mafhûm al-‘adad adalah pengaitan hukum dengan hitungan. Pengaitan hukum dengan hitungan khusus menunjukkan bahwa selain hitungan itu, hukumnya berlawanan dengannya.

Dengan demikian mafhûm al-‘adad itu, ketika suatu hukum dikaitkan atau dibatasi dengan hitungan, hal itu menunjukkan pengkhususan hukum dengan hitungan tersebut baik penetapan atau penafian. Makna itu menunjukkan makna lazimnya, yaitu hukum pada selain al-‘adad (hitungan) itu adalah kebalikan dari hukum yang dinyatakan. Jika hukum yang dikaitkan dengan hitungan itu berupa penetapan (itsbât) maka mafhûm al-mukhâlafah darinya berupa penafiannya dari selain hitungan itu. Sebaliknya jika hukum yang dikaitkan dengan hitungan itu berupa penafian (nafy[an]), maka mafhûm al-mukhâlafah darinya adalah penetapan hukum tersebut pada selain hitungan itu.

Ada tiga dalil yang mendasari bahwa mafhûm al-‘adad merupakan hujjah. Pertama: Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Umar ra., bahwa ketika Abdullah bin Ubay meninggal, anaknya yakni Abdullah meminta Rasul saw. menshalatkan dia. Ketika Rasul saw. hendak menshalatkannya, Umar berkata, “Ya Rasulullah, engkau menshalatkan dia, sementara Rabb-mu telah melarangmu menshalatkan dia?” Rasul saw bersabda kepada Umar ra.:

إِنَّمَا خَيَّرَنِي الله فَقَالَ : اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ، إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً [التوبة: 80]، وَسَأَزِيدُهُ عَلَى السَّبْعِينَ

Sungguh Allah telah memberi aku pilihan, Allah berfirman (yang artinya): Kamu memohonkan ampunan bagi mereka ataukah tidak  (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali (TQS at-Tawbah [9]: 80). Akan aku tambah dari 70 kali.

 

Umar ra. berkata, “Dia seorang munafik.”

Ibnu Umar ra. berkata: “Lalu Rasul saw. menshalatkan dia. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya:

وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰٓ أَحَدٖ مِّنۡهُم مَّاتَ أَبَدٗا وَلَا تَقُمۡ عَلَىٰ قَبۡرِهِۦٓۖ ٨٤

Janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka dan jangan pula kamu berdiri (mendoakan dia) di kuburnya (TQS at-Tawbah [9]: 84).

 

Imam ath-Thabari di dalam Tafsîr ath-Thabarî meriwayatkan yang serupa dari Qatadah.

Di dalam riwayat itu jelas bahwa Rasul saw memahami dari ayat QS at-Taubah ayat 80 bahwa ampunan itu dikaitkan (dibatasi) dengan hitungan 70 kali, dan jika lebih dari hitungan 70 kali maka hukumnya pun—yaitu tidak adanya ampunan—hilang. Lalu beliau bersabda, “Akan aku tambah dari 70 kali.”

Jadi pengkhususan hokum—yaitu tidak adanya ampunan—dengan hitungan itu menunjukkan penafiannya dari selain hitungan itu.

Kedua: Nas-nas yang di dalamnya disebutkan hitungan maka hukum pada selain hitungan itu berbeda (kebalikan) dari hukum pada hitungan itu. Di antaranya firman Allah (yang artinya): Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka cambuklah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali cambukan (TQS an-Nur [24]: 2).

Juga tentang hukum qadzaf: Cambuklah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali cambukan (TQS an-Nur [24]: 4).

Hukum cambuk terhadap pezina ghayru muhshan lebih atau kurang dari 100 kali hukumnya tidak boleh. Begitu pula hukum cambuk terhadap orang melakukan qadzaf lebih atau kurang dari 80 kali, hukumnya tidak boleh. Ini menjadi pemahaman seluruh Sahabat (bahkan umat seluruhnya) tanpa ada perbedaan.

Ketiga: Kalau hukum juga berlaku pada selain hitungan yang dikaitkan dengan hukum itu, baik lebih atau kurang dari hitungan itu, maka pengaitan dan pengkhususan hukum dengan hitungan itu menjadi tidak ada faedahnya. Kalam Asy-Syâri’ jelas mustahil tidak ada faedahnya. Faedah paling kuat dari pengaitan hukum dengan hitungan adalah pengkhususan hukum pada hitungan itu dan menunjukkan hukum pada selain hitungan itu adalah sebaliknya.

Hanya saja, mafhûm al-‘adad ini berlaku jika terpenuhi dua syarat (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Jilid 3): Pertama, jika hukum dibatasi dengan hitungan khusus, maka ini menunjukkan telah tetap adanya hukum pada hitungan itu dan dinafikannya hukum tersebut dari selain hitungan itu; atau menunjukkan penafian hukum pada hitungan itu dan tetapnya hukum pada selain hitungan itu.

Kedua, konteks kalimatnya menunjukkan kebalikan dari hukum yang dinyatakan. Artinya, bahwa mafhum kebalikan itu menjadi kelaziman dari kalimat tersebut, yang mana benak langsung beralih pada mafhum kebalikan itu ketika mendengar kalimat itu. Hal itu karena mafhûm al-‘adad merupakan bagian dari dalâlah al-iltizâm.

Misalnya, Rasul saw. bersabda:

إِذَا كَانَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ

Jika ada tiga orang dalam safar, hendaklah mereka mengangkat salah seorang mereka menjadi amir (HR Abu Dawud, al-Baihaqi dan ath-Thahawi).

 

Di sini hukumnya, yaitu pengangkatan seorang amir, dibatasi dengan hitungan, yaitu satu. Konteks kalimat menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah pengangkatan satu orang menjadi amir, bukan dua orang. Artinya, mafhûm al-mukhâlafah-nya, tidak boleh diangkat amir (dalam satu perkara) lebih dari satu orang. Ini juga ditegaskan dalam banyak hadis lainnya.

Contoh lain mafhûm al-‘adad, dalam QS al-Maidah [5]: 89, kafarah melanggar sumpah (termasuk nadzar) adalah memberi makan 10 orang miskin. Mafhum al-mukhâlafah-nya, kafarah-nya tidak boleh kurang atau lebih dari 10 orang.

Sabda Rasul saw.:

إِذَا شَرِبَ الكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْه سَبْعًا

Jika anjing minum di bejana salah seorang kalian maka hendaklah dia mencuci bejana itu tujuh kali (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasai, Ibnu Khuzaimah, Syafii dan Malik).

 

Mafhûm al-mukhâlafah-nya, jika dicuci kurang dari tujuh kali, maka belum memenuhi (belum suci).

Dari semua itu, dalam mafhûm al-‘adad ini ada beberapa yang harus diperhatikan (Syaikh Atha’ bin Khalil, At-Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl). Pertama: Jika hitungan itu termasuk lafal banyak (lafzhu al-katsrah) maka memiliki mafhûm al-muwâfaqah min al-a’la ilâ al-adnâ (mafhum muwafaqah dari yang besar ke yang kecil) dan tidak memiliki mafhûm al-mukhâlafah. Contohnya di dalam firman Allah QS Ali Imran [3]: 75.

Kedua: Jika hitungan itu termasuk lafal qillah (menunjukkan sedikit atau minimal) maka memiliki mafhûm al-muwâfaqh min al-adnâ ilâ al-a’lâ (mafhum muwafaqah dari yang kecil ke yang besar) dan tidak memiliki mafhûm al-mukhâlafah. Contohnya sabda Rasul saw.:

مَنْ ظَلَمَ قِيدَ شِبْرٍ مِنَ الأَرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ

Siapa yang berbuat zalim (mengambil) sejengkal tanah saja, niscaya ia dibebani tujuh lapis bumi (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Ini tidak memiliki mafhûm al-mukhâlafah, yakni tidak berarti bahwa siapa yang berbuat zalim mengambil tanah kurang dari sejengkal maka tidak masalah. Lafal syibr[un] termasuk lafal qillah dan tidak memiliki mafhum mukhâlafah karena konteks kalimat tidak menunjukkan mafhum al-mukhâlafah.

Ketiga: Pada kebanyakannya, hitungan yang menetapkan maka memiliki mafhûm al-muwâfaqah pada yang lebih banyak dan memiliki mafhûm al-mukhâlafah pada yang lebih sedikit (lebih kecil). Contoh firman Allah QS al-Baqarah [2]: 234 menetapkan masa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari. Karena itu wanita itu tidak boleh menikah sebelum empat bulan sepuluh hari dan dia boleh menikah setelah itu.

Keempat: Kebanyakannya, yang hitungannya menafikan, maka jawabannya muwâfaqah pada yang lebih sedikit (lebih kecil) dan mukhâlafah (kebalikan) pada yang lebih banyak, kecuali dengan qarinah. Contohnya firman Allah QS at-Taubah [9]: 80, mafhûm muwâfaqah-nya jika kurang dari 70 kali maka lebih tidak dijawab lagi. Adapun mafhûm al-mukhâlafah berlaku pada yang lebih banyak, yakni pada yang lebih dari 70 maka mungkin dipenuhi. Meski permintaan ampunan itu diharamkan kemudian oleh QS at-Tawbah [9]: 84.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yoyok Rudianto]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × 5 =

Back to top button