Mafhûm Al-Mukhâlafah – Mafhûm Asy-Syarth
Mafhûm al-mukhâlafah adalah lafal yang madlul-lnya pada posisi diam berlawanan dengan madlul-nya pada posisi pengucapan. Al-‘Allamah Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Juz 3, menjelaskan bahwa makna dan hukum yang dipahami dari madlul lafal berlawanan (mukhâlif[an]) dengan apa yang dipahami dari lafal itu sendiri. Jadi makna lazim untuk madlul lafal itu, jika berlawanan dengan madlul tersebut, itulah mafhûm al-mukhâlafah.
Salah satu dari jenis mafhûm al-mukhâlafah yang menjadi hujjah dan diamalkan, seperti penjelasan Al-‘Allamah Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLah di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Juz 3 dan Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, adalah mafhûm asy-syarth (mafhum syarat). Imam al-Amidi (w. 630 H) di dalam al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm menyebutnya Mafhûm asy-Syarth wa al-Jazâ`.
Imam Badruddin az-Zarkasyi rahimahulLah (w. 794 H) di dalam Bahru al-Muhîth fî ‘Ilm Ushûl al-Fiqh dan Imam asy-Syaukani rahimahulLah (w. 1250 H) di dalam Irsyâd al-Fuhûl menjelaskan, syarat (asy-syarthu) dalam istilah mutakallimin adalah apa yang sesuatu bergantung padanya dan tidak masuk di dalam sesuatu itu dan tidak berpengaruh padanya. Dalam istilah para ulama nahwu, syarat adalah apa yang masuk terhadapnya salah satu huruf “in dan idzâ” atau yang menduduki posisinya berupa isim dan zharf yang menunjukkan yang awal sebagai sebab dan yang kedua sebagai musabab (akibat).
Definisi syarat (asy-syarthu) yang kedua inilah yang disebut asy-syarthu lughawiy, syarat secara bahasa. Menurut para ulama, pengertian syarat yang dimaksudkan dalam pembahasan mafhum syarat (mafhûm asy-syarth) adalah syarat secara bahasa, bukan syarat dalam pengertian secara ‘aqli ataupun syar’i.
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahulLah (w. 620 H) di dalam Rawdhah an-Nâzhir wa Jannatu al-Manâzhir menyatakan, mafhum syarat (mafhûm asy-syarth) adalah pengaitan hukum dengan syarat.
Menurut Tsana’allah az-Zahidi di dalam Talkhîsh al-Ushûl, mafhum syarat adalah penunjukan nas yang di dalamnya hukum dikaitkan terhadap sesuatu dengan alat syarat dengan ketentuan dinafikannya hukum itu ketika syarat tersebut tidak ada.
Al-‘allamah asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLah di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Juz 3 menjelaskan, mafhum syarat adalah pengaitan hukum terhadap sesuatu dengan kata “in” atau syarat secara bahasa lainnya. Itu menunjukkan penafian hukum tersebut ketika tidak terpenuhinya syarat itu.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa mafhum syarat merupakan hujjah. Dalil atas ke-hujjah-an mafhum syarat setidaknya ada dua, yaitu: Pertama, tidak ada perbedaan pendapat dalam terbukti adanya al-masyrûth (yang disyaratkan) ketika terbukti adanya syarat (asy-syarthu) secara bahasa. Tidak ada perbedaan pendapat tentang penunjukkan “in” terhadap adanya hal itu. Juga tidak ada perbedaan pendapat tentang tidak adanya yang disyaratkan (al-masyrûth) ketika syarat secara bahasa itu tidak ada.
Hal itu menunjukkan bahwa adanya yang disyaratkan (al-masyrûth) menjadi keniscayaan ketika adanya syarat. Penunjukkan “in” terhadapnya sudah cukup dalam menunjukkan bahwa hukum iu terkait dengan adanya syarat, sebab maknanya bahwa jika tidak ada syarat maka al-masyrûth juga tidak ada.
Bahwa kata “in” menunjukkan hal itu buktinya bahwa para ulama nahwu telah menyatakan bahwa kata “in” itu untuk syarat, dan dari ketiadaan syarat itu meniscayakan tidak adanya al-masyrûth.
Di sini tidak dikatakan bahwa penamaan “in” sebagai huruf syarat adalah istilah para ulama nahwu seperti istilah mereka rafa’, nashab, jar dsb. Sebab rafa’, nashab, jar itu betul merupakan istilah ulama nahwu yang mereka alihkan dari makna bahasa asal kata itu, sehingga menjadi istilah. Ini berbeda dengan penamaan “in” huruf syarat. Sebab itu bukanlah pengalihan maknanya dari makna bahasa atau asalnya, melainkan penamaan “in”—termasuk idzâ—sebagai huruf syarat adalah penamaan kata dengan penggunaan orang Arab untuk kata itu. Orang Arab menggunakan “in” untuk syarat sehingga disebut huruf syarat. Jadi itu digunakan sebagaimana penggunaan orang arab, bukan dialihkan maknanya. Dengan penggunaannya untuk syarat itu menjadi dalil bahwa secara bahasa memang seperti itu.
Atas dasar itu, penetapan adanya al-masyrûth ketika adanya syarat, dan penunjukkan “in” terhadapnya, serta tidak adanya al-masyrûth ketika syarat tidak ada dan penunjukkan “in” terhadap hal itu membuktikan bahwa mafhum syarat itu berlaku.
Kedua, para Sahabat yang merupakan para pakar bahasa Arab memahami bahwa apa yang “in” masuk padanya maka itu merupakan syarat dalam hukum dan bahwa jika itu merupakan syarat maka ketiadaannya meniscayakan tidak adanya al-masyrûth (yang disyaratkan). Ya’la bin Umayyah berkata kepada Umar bin al-Khaththab ra., “Mengapa kita meng-qashar shalat, padahal kita aman, sementara Allah SWT berfirman:
وَإِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَقۡصُرُواْ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ إِنۡ خِفۡتُمۡ أَن يَفۡتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْۚ ١٠١
Jika kalian bepergian di muka bumi tidaklah mengapa kalian men-qashar shalat kalian jika kalian takut diserang orang-orang kafir (QS an-Nisa‘ [4]: 101).
Umar berkata kepada dia, “Aku juga merasa heran seperti engkau. Karena itu aku bertanya kepada Nabi saw. tentang hal itu, Beliau bersabda:
صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوْا صَدَقَتَهُ
Itu merupakan sedekah yang Allah sedekahkan kepada kalian. Karena itu terimalah sedekah-Nya (HR Muslim, Abu Dawud dan an-Nasai).
Jadi Ya’la bin Umayyah memahami dari pengkhususan kebolehan qashar dengan keadaan takut. Dia memahami ketidakbolehan qashar ketika tidak ada rasa takut. Umar tidak mengingkari hal itu. Umar memahami hal yang sama dan menyampaikan itu kepada Nabi saw. Beliau mengakuinya. Jadi ini merupakan dalil bahwa tidak adanya syarat meniscayakan tidak adanya yang disyaratkan (al-masyrûth).
Dari situ para Sahabat memahami bahwa haul merupakan syarat wajib zakat. Mereka menghukumi tidak adanya kewajiban zakat ketika tidak terpenuhi haul. Dari semua itu menjadi jelas bahwa mafhum mukhalafah dari mafhum syarat itu diberlakukan.
Harus diingat bahwa bentuk redaksi syarat itu bukan hanya menggunakan huruf syarth “in dan idzâ”. Bisa juga dalam bentuk redaksi syarat tanpa disebutkan huruf syarat, yakni yang disebut syarat maknawi. Intinya adalah bentuk redaksi syarat dan jawaban syarat, yang memberikan pengertian apa yang disebutkan pertama merupakan sebab dan yang kedua merupakan musabbab (akibat).
Contoh mafhum mukhalafah dari mafhum syarat, ketentuan dalam firman Allah SWT:
وَإِن كُنَّ أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فََٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ٦
Jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikmanlah kepada mereka nafkah mereka hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) kalian untuk kalian maka berikanlah kepada mereka upah mereka (QS ath-Thalaq [65]: 6).
Ayat ini menyatakan hukum bahwa wanita yang ditalak ba’in, jika dia sedang hamil, maka wajib diberi nafkah oleh mantan suaminya. Jika perempuan yang ditalak itu menyusui anaknya maka harus diberi upahnya. Mafhum mukhalafah-nya, jika perempuan yang ditalak ba’in itu tidak hamil maka tidak ada nafkah. Jika tidak menyusui maka tidak diberi upah.
Contoh lain, firman Allah SWT:
فَإِن طِبۡنَ لَكُمۡ عَن شَيۡءٖ مِّنۡهُ نَفۡسٗا فَكُلُوهُ هَنِيٓٔٗا مَّرِيٓٔٗا ٤
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya (QS an-Nisa‘ [4]: 4).
Mafhum mukhalafah-nya bahwa suami tidak boleh memakan sebagian dari maskawin yang telah dia berikan kepada istrinya jika istrinya tidak menyerahkannya secara sukarela.
Contoh lainnya, firman Allah SWT tentang waris:
إِنِ ٱمۡرُؤٌاْ هَلَكَ لَيۡسَ لَهُۥ وَلَدٞ وَلَهُۥٓ أُخۡتٞ فَلَهَا نِصۡفُ مَا تَرَكَۚ ١٧٦
Jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang dia tinggalkan (TQS an-Nisa‘ [4]: 176).
Manthuq ayat ini bahwa saudara perempuan mewarisi jika tidak ada walad (anak) si mayit. Mafhum mukhalafah-nya, saudara perempuan tidak mewarisi jika ada walad (anak) dari si mayit.
Contoh lainnya, sabda Rasul saw.:
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
Jika datang kepada kalian (untuk meminang) orang yang engkau ridhai agama dan akhlaknya maka nikahkan (kawinkan) dia. Jika tidak kalian lakukan maka akan ada fitnah di muka bumi dan kerusakan meluas (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Baihaqi).
Mafhum mukhalafah-nya, jika datang meminang, orang yang tidak kalian ridhai agama dan akhlaknya maka jangan kalian nikahkah atau kawinkan dia.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yoyok Rudianto]