Takrifat

Ragam Majaz Mursal (Bagian Kedua dari Dua Tulisan)

Al-Majâz adalah penggunaan kata (lafal) pada selain makna yang ditetapkan pertama kali karena adanya qarinah yang menghalangi penggunaan makna yang telah ditetapkan itu disertai adanya hubungan antara makna (baru) yang digunakan dan makna (asli) yang telah ditetapkan itu. Jika hubungannya bukan persamaan (ghayr al-musyâbahah) disebut majaz mursal.

Ditilik dari bentuk hubungannya, majaz mursal banyak macamnya. Berikut ini macam majaz mursal lanjutan dari pembahasan pada nomor sebelumnya.

Kesembilan: Majaz mursal dengan hubungan mâ kâna ‘alayh (keadaan awal/sebelumnya), yaitu menyebutkan keadaan sebelumnya, sementara yang dimaksudkan adalah keadaan yang sebenarnya. Contoh:

وَءَاتُواْ ٱلۡيَتَٰمَىٰٓ أَمۡوَٰلَهُمۡۖ ٢

Berikanlah kepada anak-anak yatim (sudah balig) harta mereka (TQS an-Nisa’ [4]: 2).

 

Lafal al-yatâmâ (anak yatim) yang dimaksudkan adalah anak yatim itu yang sudah balig, sementara jika sudah balig tidak lagi disebut yatîm. Jadi ini disebutkan keadaan sebelumnya (ketika belum balig), tapi yang dimaksudkan yang sudah balig.

Contoh lain firman Allah SWT:

وَإِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعۡضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحۡنَ أَزۡوَٰجَهُنَّ

Jika kalian mentalak istri-istri kalian, lalu habis masa ‘iddah-nya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan (bakal) suaminya… (QS al-Baqarah [2]: 232).

 

Penggunaan lafal azwâjahunna adalah majaz mursal menyebutkan keadaan awal (sebelumnya), padahal yang dimaksudkan adalah keadaan sebenarnya. Hunna itu yang dimaksud adalah wanita yang telah dicerai. Penggunaan azwâj (suami), padahal dia sudah tidak bersuami, itu untuk memberi konotasi yang mencakup mantan suaminya. Jadi wanita yang telah dicerai itu tidak boleh dihalang-halangi untuk menikah lagi, termasuk dengan mantan suaminya, yang sebelumnya telah menceraikannya.

Kesepuluh: Majaz mursal dengan hubungan mâ sayakûnu ‘alayh (apa yang akan ada/terjadi) atau ma’âl (keadaan yang dituju), yaitu dengan menyebutkan kondisi sebenarnya, sementara yang dimaksudkan adalah keadaan nanti; atau menyebutkan sesuatu, sementara yang dimaksudkan adalah apa yang dituju atau diantarkan oleh sesuatu itu. Contohnya dalam firman Allah SWT:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ شَهَٰدَةُ بَيۡنِكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ حِينَ ٱلۡوَصِيَّةِ ٱثۡنَانِ ذَوَا عَدۡلٖ مِّنكُمۡ

Hai orang-orang yang beriman, jika salah seorang dari kalian menghadapi kematian, sedangkan dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kalian… (QS al-Maidah [5]: 106).

 

Lafal al-mawtu di sini majaz dengan patokan mâ sayakûnu ‘alayh (apa yang akan terjadi), sementara yang dimaksud adalah menjelang atau akan menghadapi kematian.

Kesebelas: Majaz mursal al-hâliyah, yaitu menyebutkan al-hâl, sementara yang dimaksudkan adalah al-mahall (tempat). Contohnya dalam firman Allah SWT:

وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ ٣١

Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak padanya (QS an-Nur [24]: 31).

 

Lafal zînah di sini merupakan al-hâl, yang dimaksudkan adalah al-mahall, yakni tempat perhiasan.

Contoh lainnya, dalam firman Allah SWT:

إِنَّ ٱلۡأَبۡرَارَ لَفِي نَعِيمٍ ٢٢

Sungguh orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga) (QS al-Infithar [82]: 13; al-Muthaffifin [83]: 22).

 

Lafal fi na’îm adalah majaz mursal dengan menyebutkan al-hâl, yang dimaksudkan adalah al-mahall. Jadi, maksudnya adalah surga, sebab keadaan (hâl) di surga adalah kenikmatan yang besar.

Begitu juga penggunaan lafal “fî rahmatillâh (di dalam rahmat Allah)” (QS Ali Imran [3]: 107; “fî rahmatihi (dalam rahmat-Nya)” (QS asy-Syura [42]: 8; al-Jatsiyah [45]: 30; al-Insan [76]:31); “fî rahmatin minhu (dalam rahmat yang besar dari-Nya)” (QS an-Nisa’ [4]: 175);   “fî rahmatinâ (di dalam rahmat Kami)” (QS al-Anbiya [21]: 75, 86).

Semua lafal rahmat di sini yang dimaksudkan adalah surga karena rahmat itu menjadi keadaan yang ada/diperoleh di surga. Jadi ini majaz mursal dari sisi menyebutkan al-hâl, yang dimaksudkan adalah al-mahall.

Keduabelas: Majaz mursal al-mahalliyah, yaitu menyebutkan al-mahall, yang dimaksud-kan adalah al-hâl. Contohnya, penyebutan lafal qaryah dalam firman Allah SWT:

وَكَم مِّن قَرۡيَةٍ أَهۡلَكۡنَٰهَا ٤

Berapa banyak kampung yang kami binasakan (TQS al-A’raf [7]: 4).

فَلَوۡلَا كَانَتۡ قَرۡيَةٌ ءَامَنَتۡ ٩٨

Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman (TQS Yunus [10]: 98).

مَآ ءَامَنَتۡ قَبۡلَهُم مِّن قَرۡيَةٍ أَهۡلَكۡنَٰهَآۖ ٦

Tidak ada (penduduk) suatu negeripun yang beriman yang Kami telah membinasakannya (TQS al-Anbiya’ [21]: 6).

وَمَآ أَهۡلَكۡنَا مِن قَرۡيَةٍ إِلَّا وَلَهَا كِتَابٞ مَّعۡلُومٞ ٤

Dan Kami tiada membinasakan sesuatu negeripun, melainkan ada baginya ketentuan masa yang telah ditetapkan (TQS al-Hijr [15]: 4).

وَكَمۡ أَهۡلَكۡنَا مِن قَرۡيَةِۢ بَطِرَتۡ مَعِيشَتَهَاۖ ٥٨

Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya (TQS al-Qashshash [28]: 58).

وَسۡ‍َٔلِ ٱلۡقَرۡيَةَ ٱلَّتِي كُنَّا فِيهَا ٨٢

Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu (TQS Yusuf [12]: 82).

 

Semua lafal qaryah di sini adalah majaz mursal dengan menyebutkan al-mahall yang dimaksudkan adalah al-hâl, yakni ahlu al-qaryah (penduduk kampung).

Ketigabelas: Majaz mursal dalam bentuk keterkaitan yang terjadi antara mashdar, ism al-maf’ûl (kata benda obyek penderita) dan ism al-fâ’il (kata benda pelaku). Masing-masing disebutkan untuk mengungkapkan yang lain secara majaz. Hubungan ini ada enam macam:

 

  1. Penyebutan ism al-fâ’il, sementara yang dimaksudkan adalah ism al-maf’ûl. Contohnya firman Allah SWT:

خُلِقَ مِن مَّآءٖ دَافِقٖ ٦

Dia diciptakan dari air yang dipancarkan (QS ath-Thariq [86]: 6).

 

Mâ‘in dâfiq yang dimaksudkan adalah mâ‘in madfûq (air yang dipancarkan).

Di dalam firman Allah SWT yang lain:

لَا عَاصِمَ ٱلۡيَوۡمَ مِنۡ أَمۡرِ ٱللَّهِ ٤٣

Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah   (QS Hud [11]: 43).

 

Lâ ‘âshima maksudnya adalah lâ ma’shûma (tidak ada yang terbebas selamat).

  1. Penyebutan ism al-maf’ûl (kata benda obyek) untuk menyatakan ism al-fâ’il (kata benda pelaku). Contohnya firman Allah SWT:

حِجَابٗا مَّسۡتُورٗا ٤٥

suatu dinding yang tertutup (QS al-Isra’ [17]: 45).

 

Makna mastûran (ditutup) adalah sâtiran (yang menutupi). Contoh lainnya dalam firman Allah SWT:

إِنَّهُۥ كَانَ وَعۡدُهُۥ مَأۡتِيّٗا ٦١

Sungguh janji Allah itu pasti akan ditepati (QS Maryam [19]: 61).

 

Maksud lafal ma‘tiy[an] adalah âtiy (yang datang).

  1. Penyebutan mashdar, yang dimaksudkan adalah ism al-fâ’il. Contohnya sabda Rasul saw:

رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى

Semoga Allah merahmati laki-laki yang mudah dan toleran jika menjual, jika membeli dan jika menagih (HR al-Bukhari, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).

 

Makna samhan adalah sâmihan (yang toleran, lunak dan mudah).

  1. Penyebutan ism al-fâ’il, yang dimaksudkan adalah mashdar. Contohnya firman Allah SWT:

لَيۡسَ لِوَقۡعَتِهَا كَاذِبَةٌ ٢

Tidak ada pendustaan untuk waktu kejadiannya (QS al-Waqi’ah [56]: 2).

 

Lafal kâdzibah di sini bermakna mashdar-nya, yakni takdzîb (pendustaan) (Ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabarî).

  1. Penyebutan ism al-maf’ûl, yang dimaksudkan adalah mashdar. Contohnya firman Allah SWT:

بِأَييِّكُمُ ٱلۡمَفۡتُونُ ٦

Siapa di antara kamu yang gila (QS al-Qalam [68]: 6).

 

Lafal al-maftûn di sini maknanya adalah mashdar-nya al-fitnah, yakni al-junûn (gila) (Ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabarî).

  1. Penyebutan mashdar, yang dimaksudkan ism al-maf’ûl. Contohnya firman Allah SWT:

هَٰذَا خَلۡقُ ٱللَّهِ ١١

Inilah ciptaan Allah (QS Luqman [31]: 11).

 

Lafal khalqu maknanya adalah makhlûq. Contoh lain, dalam firman Allah SWT:

وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيۡءٖ مِّنۡ عِلۡمِهِۦٓ

Mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah (QS al-Baqarah [2]: 255).

 

Lafal min ‘ilmihi maknanya adalah min ma’lûmihi (apa yang Dia ketahui).

 

Keempatbelas: Majaz mursal al-malzûmiyah, yakni menyebutkan al-malzûm, sementara yang dimaksudkan adalah lâzim (lazimnya). Contohnya dalam firman Allah SWT:

وَلَا تَعۡمَلُونَ مِنۡ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيۡكُمۡ شُهُودًا إِذۡ تُفِيضُونَ فِيهِۚ ٦١

Kalian tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atas kalian pada waktu kalian melakukannya (QS Yunus [10]: 61).

 

Disebutkan lafal syuhûdan, yang maknanya adalah ‘alîm (mengetahui). Sebabnya, pengetahuan itu menjadi kelaziman saksi.

Contoh lain firman Allah SWT:

أَفَلَمۡ يَاْيۡ‍َٔسِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن لَّوۡ يَشَآءُ ٱللَّهُ لَهَدَى ٱلنَّاسَ جَمِيعٗاۗ ٣١

Tidakkah orang-orang yang beriman itu mengetahui bahwa seandainya Allah menghendaki (semua manusia beriman), tentu Allah memberikan petunjuk kepada manusia semuanya (QS ar-Ra’du [13]: 31).

 

Lafal ya‘su (putus asa) di sini merupakan al-malzûm, dan lâzim-nya adalah pengetahuan hingga yakin.

Kelimabelas: Majaz mursal al-lâzimiyah, yaitu menyebutkan al-lâzim, yang dimaksudkan adalah al-malzûm. Contohnya dalam firman Allah SWT:

نَسُواْ ٱللَّهَ فَنَسِيَهُمۡۚ ٦٧

Mereka telah melupakan Allah. Karena itu Allah pun melupakan mereka (QS at-Taubah [9]: 67).

 

Yang dimaksudkan adalah malzûm dari nisyân (lupa), yaitu tarku (meninggalkan), yakni mereka melalaikan/meninggalkan mengingat Allah. Lalu Allah membiarkan mereka jauh dari rahmat-Nya dan karunia-Nya (Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhu).

Masih ada lagi macam majaz mursal lainnya seperti al-muthlaqiyah, al-muqayyadiyah, zharfiyyah, mazhrûfiyah, dan lainnya.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 + seventeen =

Back to top button