Banten Dan Mataram: Wakil Khilafah Di Tatar Sunda (Bagian 1)
Kesultanan Banten berawal dari dakwah Islam yang dilaksanakan Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah. Ia adalah pendiri Pakuwati Cerbon dan pelopor utama dalam perluasan Islamisasi di Tatar Sunda. Ia melanjutkan dakwah Pangeran Ampel Denta Sayyid Ali Rahmatullah hingga mampu menarik simpati penguasa dan rakyat Banten.
Maulana Hasanuddin putra Sunan Gunung Jati adalah trah penguasa Banten – Pajajaran, yakni Pangeran Seba Kingkin dari Nyai Kawunganten putra Prabu Pucuk Umum Banten. Sejak tahun 1528 telah berdiri Pemerintahan Islam di Banten dipimpin oleh Maulana Hasanuddin dibantu para tokoh lokal sebelumnya. Semisal Ki Jong Jo.
Dalam naskah Sajarah/Babad Banten disebutkan:
Sasampuning mangkana ika carita, Panembahan Surasaji, wus kinen mantuk, dhateng ing Banten Girang, kalayan kang pramesywari, kocaping marga, wus parapteng dalem puri, sampun lami adalem ing Banten Girang, raharja kang nagari, anatakaken kang syareat, suka sakehing ponggawa, wong pagunungan akeh parapti, samya turika, Ki Jong Jo angetebi (Sesudah demikian itu ceritanya, Panembahan Surasaji, sudah diperbolehkan pulang, ke Banten Girang, bersama dengan permaisurinya, (tidak) diceritakan di jalan, sudah tiba di dalam istana, sesudah lama tinggal di Banten Girang, sejahteralah negaranya, (karena) mengikuti syariat, senang semua ponggawa, orang gunung banyak yang datang, semua menghaturkan, Ki Jong Jo yang mengatur). 1
Ki Jong Jo lawan Ki Ajar, Kahi Santri tansah angati – ati, sami anglampahi harju, prataning syarengat, lan sakehe wong Banten Girang padha anut, malih sampun Carang Waraksa, Ki Durma ingkang anggentosi (Ki Jong Jo dan Ki Ajar, Ki Santri senantiasa berhati – hati, mereka semua menjalankan dengan hati – hati, tata – aturan syariat, dan semua orang Banten Girang ikut, sudah berhenti Carang Waraksa, Ki Durma yang menggantikan). 2
Maulana Hasanuddin digantikan oleh putranya, Maulana Yusuf, yang dikenal dengan sebagai Pembebas Pakuan, Ibukota Pajajaran. Ia juga pelopor pembangunan di wilayah Banten Surasowan yang meliputi Lampung, Banten, Jaketra, Pakuan (Bogor) hingga Tangeran(g).
Penerusnya, yakni Maulana Muhammad, dikenal sebagai ulama sekaligus mujahid yang melanjutkan berbagai kebaikan sang ayah. Dalam naskah Sajarah/Babad Banten disebutkan:
Enengakena kang seda, kang putra mangka kang kawarni, Kanjeng Molana Muhammad, mangko ajeneng bupati, anggentos palinggih, sakehe kasrah ing riku, mangko paparentahan, tinetepa kang rama singgih, boten wonten adat ingkang ingowahan, tetekon paparentahan, nora siwah lan kang uni, ing penjenenge punika, warangi saleh barelmi, lan angupaya hadisy, lan Quran agung iku, tapsir paqih ing mulya, sakehe kangkitab adi, dipun karya wakaf puniku sadaya (Biarkan dahulu yang meninggal, maka tersebutlah putranya [yang bernama], Kanjeng Molana Muhammad, sekarang menjadi raja, menggantikan kedudukannya, semua diserahkan kepadanya, sekarang pemerintahannya, dijalankan sama seperti ayahnya, tidak ada aturan yang diubah, peraturan pemerintah, tidak berubah dari yang dulu, beliau itu, disucikan [dengan] kesalehan dan ilmu, dan mengamalkan hadis, dan Kuran yang suci itu, tafsir fiqih yang mulia, dan semua kitab suci, semuanya dijadikannya sebagai wakaf).3
Jeng Pangeran Ratu singgih, matur ing Pangeran Emas, he raka ing duk pangiwen, lagi kawula masyih bocah, ing riki wonten kapal, saking Perenggi rawuhipun, dipun kalahaken ika, dening Patih Mangkubumi, kalayan para ponggawa, syami sabilullah, anglampahi amrullah, inggih kawula raka, ayun sabilullah agung, ing pundi wonten pun Kupar (Kanjeng Pangeran Ratu itu, berkata kepada Pangeran Mas, “Hai Kanda dahulu, ketika aku masih anak – anak, di sini ada kapal, yang datang dari Perenggi, dan dikalahkan, oleh Patih Mangkubumi, dan para ponggawa, mereka semua sabilullah, menjalankan amarullah, hamba ini kanda, ingin sabilullah besar, dimanakah ada orang Kafir). 4
Selama masa pemerintahan ketiga pemimpin awal, hubungan Banten dengan Khilafah Utsmaniyah di Istanbul masih cukup sulit dibuktikan. Namun, ada peninggalan yang dapat menjadi petunjuk awal, setidaknya sebagai bukti adanya pengaruh Khilafah Utsmaniyah secara “kultural”. Bukan hanya untuk Banten, namun juga Demak dan Cirebon. Peninggalan tersebut berupa meriam Ki Amuk yang berkaitan dengan syiar Jihad Utsmaniyah, yakni Pedang Dzulfiqar. Meriam tersebut diriwayatkan sebagai hadiah Sultan Trenggana untuk Banten, yang di dalamnya terdapat ornamen (Tidak Ada Pedang kecuali Dzulfiqar).
Simbol Dzulfiqar juga ditemukan dalam Panji Macan Ali Cirebon dan Panji Utsmaniyah. Selain itu, alih teknologi meriam di Dunia Islam jelas dimulai dari upaya Pembebasan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad al-Fatih yang sampai ke Nusantara melalui Kesultanan Aceh Darussalam.
Sultan Abu al-Mafakhir (1638 – 1651)
Pangeran Ratu Abdul Qadir ibn Muhammad ibn Yusuf ibn Hasanuddin ibn Syarif Hidayatullah mendapat kuasa penuh pada tahun 1624. Sebelumnya Banten dipimpin Mangkubumi Pangeran Aria Ranamanggala. Pada tahun 1638, Pangeran Ratu diangkat secara resmi sebagai Amir al-Bilad oleh Syarif Makkah Sayyid Zaid ibn Muhsin al-Hasani, Wali Khilafah Utsmaniyah di Hijaz, melalui utusan Banten trah Sumedanglarang, yakni Haji Wangsakara dan Haji Jayasantika. Gelarnya adalah Sultan Abu al-Mafakhir, bermakna Pemilik Kebanggaan/Kemuliaan. Peristiwa kepulangan para utusan dan pengumuman atas gelar tersebut masyhur karena ditandai dengan awal peringatan “resmi” Maulid Nabi oleh Kesultanan Banten. Salinan surat Syarif Makkah untuk Sultan Banten, yang telah dialihbahasa ke dalam bahasa Jawa – Banten dinukil secara lengkap dalam naskah Sajarah/Babad Banten.5
Diduga bendera kuning dengan simbol 2 (dua) pedang menyilang adalah bagian dari bukti hubungan struktural Banten – Utsmaniyyah:
Kawarnaha kanjeng Sulthan pinedekhing dalem puri sakathahing kang babaktan kang saking Mekah winarni binuka sadayaneki tunggul binabar puniku warnaning tunggul jenar aciri dulpaqar adi layan tulis syahib tatamiku sadaya (Tersebutlah Kanjeng Sultan masuk ke dalam istana, tersebutlah semua bawaan yang dari Makkah dibuka semua, bendera dibentangkan, warna benderanya kuning, tertanda Dzulpiqar indah, tulisan syahib tatam itu semua).6
Naskah-naskah tulisan Imam Muhammad ibn ‘Allan ash-Shiddiqi yang ditujukan untuk Sultan Abu al-Mafakhir dan putranya, Abu al-Ma’ali Ahmad, juga menjadi bukti penguat karena hubungan keilmuan tersebut dalam naskah Sajarah/Babad Banten. Naskah yang dimaksud ialah Al-Mawahib ar-Rabbaniyyah ‘an al-As`ilah al-Jawiyyah, Al-Manhaj al-Wadhih al-Suluk fi Syarh Nashihah al-Muluk dan Raf’u al-Hijab ‘an ‘Ara’is al-Khamsah al-Abwab; tersimpan rapi di Perpusnas (PNRI). Di antara kutipannya:
ومن جملة الأسباب لرقمه في هذا الكتاب سؤال عن عالي الجناب من ذاق رحيق العارفين المستطاب فأحبهم ومحب القوم الخاصة خاصة أولى الألباب وارد مناهل المعرفة (كاتائية) والمنبئ عن صدق إرادته ما ظهر على صفحات خطابه أبي المعالي أحمد بن العارف مالك المعالي والمعاني والمعارف أخينا بدر من العارف في الله أبي المفاخر عبد القادر صاحب بنتان عاملهما الله بالفيوض الحسان وأسبغ عليهما الخيرات والإحسان
Di antara penyebab dari penulisan kitab ini adalah datangnya sebuah pertanyaan dari seorang pemilik kedudukan yang tinggi, seorang yang telah mencicipi minuman suci para Arif Billah, yang aku mencintainya, dan ia pun dicintai oleh kaumnya, seorang yang menjadi penghulu para cerdik pandai, yang menjadi pengalir mata air ilmu pengetahuan, yang mengabarkan akan tulus kehendaknya, sebagaimana tersurat dalam surat-suratnya, yaitu [Pangeran Anom] Abû al-Ma’âlî Ahmad, putra seorang Arif, Raja [Sultan] pemilik keluhuran, makna dan pengetahuan, saudaraku yang seumpama purnama dalam ilmu kemakrifatannya atas Allah SWT, yaitu [Sultan] Abû al-Mafâkhir sang penguasa Banten. Semoga Allah memperlakukan keduanya dengan luapan kebaikan, dan melimpahi keduanya dengan kebajikan.7
Sultan Abu al-Mafakhir melanjutkan apa yang ditempuh para pendahulunya dengan melakukan ri‘aayah terhadap pertanian dan perdagangan rakyat, menjamin pelaksanaan pendidikan Islam melalui Lembaga Kasunyatan, mengamati berbagai kondisi politik di luar wilayah Kesultanan Banten dan mengatur Qadha (Peradilan) untuk khusumat dan mazhalim, serta ber-Jihad melawan kafir Penjajah Belanda yang berpusat di Batavia.
Inilah peran sang Amir Khilafah Utsmaniyah terhadap kaum Muslim dan ahludz-dzimmah di Tatar Sunda bagian Barat. [Bersambung].
Catatan kaki:
1 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, hlm 275
2 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, hlm 344 – 345
3 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, hlm 289
4 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, hlm 297 – 298
5 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, hlm 358 – 361
6 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, hlm 361 – 362
7 https://pesantren.id/warisan-intelektual-ulama-sunda-banten-rafu-al-hijab-9486/