Tarikh

Cara Khalifah Menghukum Pejabat yang Menyimpang

Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. selalu mengontrol kerja para gubernur dan pejabatnya dalam menjalankan amanahnya. Apa yang dilakukan dan diputuskan dalam bentuk kebijakan harus merujuk pada hukum syariah dan untuk kepentingan rakyat semata. Kalaulah ada perbuatan yang secara hukum dibolehkan, namun jika dilakukan berakibat pada terganggunya kepentingan umum dan/atau menimbulkan prasangka tidak baik di tengah masyarakat sehingga menimbulkan polemik yang berkepanjangan maka perbuatan tersebut pun layak untuk dianulir atau dibatalkan sama sekali. Itulah memang yang digariskan oleh Islam.

Pejabat haruslah mengedepankan kepentingan rakyat dibandingkan kepentingannya sendiri. Lebih mementingkan maslahat publik jika saat yang sama berbenturan dengan kepentingannya, walau secara hukum dibolehkan. Apalagi jika melakukan perbuatan yang melanggar hukum syariah dan tidak untuk kepentingan rakyat. Khalifah Umar pasti akan menghukumnya dengan setimpal.

Selama mengontrol mereka, Al-Faruk sering menjumpai kesalahan yang dilakukan oleh mereka. Khalifah Umar memberikan hukuman dan bimbingan atas kesalahan yang mereka lakukan. Tujuannya agar kebenaran tetap terjaga, juga demi memberikan pembelajaran yang terbaik buat pejabatnya. Denganm begitu mereka benar-benar menjalankan hukum syariah dan mengedepankan kepentingan rakyat.

Masing-masing sanksi berbeda satu sama lain sesuai dengan kejadian dan tepat-tidaknya menurut Islam. Di antara cara-cara yang digunakan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. dalam menghukum para gubernur dan pejabatnya adalah sebagai berikut:

Pertama, memberikan balasan yang setimpal kepada gubernur jika dia berbuat zalim kepada seseorang. Khalifah Umar ra. berkata, “Ketahuilah, aku tidak mengutus para pejabatku untuk menyakiti badan dan mengambil harta kalian. Akan tetapi, aku mengirim mereka untuk mengajarkan agama dan Sunnah Rasulullah Muhammad saw. Siapa pegawaiku yang tidak melakukan seperti ini maka hendaklah dia dilaporkan kepadaku. Demi Zat Yang jiwaku dalam genggaman-Nya, aku pasti akan memberikan jawaban yang setimpal kepada dia.”1

Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. melarang pegawai dan pejabatnya untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum syariah dan atau menimbulkan potensi polemik di masyarakat. Apa yang dilakukan tidak hanya sekadar slogan. Hal ini tampak pada pengaduan dari rakyat Bashrah kepada Gubernurnya, Abu Musa al-Asy’ari.

Abdullah bin Umar ra. berkata, “Saya sedang bersama Umar dalam suatu perjalanan. Dia melihat seseorang yang berjalan dengan cepat.” Umar berkata, “Sepertinya lelaki itu ingin pergi ke arah kami.” Lelaki itu kemudian berhenti di tempat untuk memenuhi keperluannya. Dia kemudian menghadap Khalifah Umar sambil menangis. Khalifah Umar pun ikut menangis. Umar Al-Faruq bertanya kepadadia, “Apa yang menimpamu?” Dia menjawab. “ AmiruI Mukminin, setelah aku minum khamr, Abu Musa memukul dan memberikan warna hitam pada mukaku. Kemudian dia mengarakaku mengelilingi masyarakat. Dia melarang orang-orang untuk bergaul denganku. Aku kemudian berniat mengambil pedang untuk membunuh dia. Aku juga mempunyai keinginan mendatangimu untuk memindahkanku ke sebuah negara yang tidak ada orang mengenaliku, atau pindahkanlah aku ke negara orang musyrik.

Mendengar perkataannya, Khalifah Umar menangis dan berkata, “Aku tidak menginginkanmu pindah ke negeri musyrik. Aku mempunyai solusi untuk permasalahan yang kamu hadapi. Jika kamu telah minum khamr, sesungguhnya orang-orang jahiliyah juga telah meminumnya.”

Dia kemudian menulis surat kepada Abu Musa yang berisi, “Sungguh telah datang kepadaku lelaki yang menceritakan seperti ini dan seperti ini. Jika suratku ini sampai kepadamu, perintahlah orang-orang supaya bergaul dan duduk dengan dia. Jika dia bertobat, terimalah kesaksiannya. Beri dia pakaian dan uang sebanyak dua ratus dirham.”2

Riwayat lain menyebutkan bahwa isi surat Khalifah Umar adalah, “Fulan putra fulan dari Tamim memberitahu aku seperti ini dan seperti ini. Demi Allah, jika kamu telah pulang, aku akan menghitami wajahmu. Aku akan membawamu mengelilingi orang-orang. Jika kamu ingin mengetahui apa yang aku katakan, pulanglah dan perintahlah orang-orang supaya memberi makan dan bergaul dengan dia. Jika dia bertobat, terimalah tobatnya.” Khalifah Umar kemudian memberikan baju kepada lelaki tersebut dan memberidia uang sebesar dua ratus dirham.3

Dalam kisah di atas terdapat usaha dari Khalifah Umar untuk menghalangi pejabatnya dalam menerapkan hukum-hukum syariah supaya tidak melampaui batas. Keputusan memukul dan mengarak di hadapan orang-orang karena minum khamr adalah hukuman yang setimpal. Namun, mengucilkannya di tengah masyarakat adalah tindakan berlebihan dan melampaui batas, karena memang bukan itu had-nya. Ditambah lagi, ketika dia sudah bertobat, itu adalah bentuk asimilasi yang jelas akan merugikan secara moril dan materiil. Dampaknya akan jauh lebih besar lagi bagi si pelaku. Kehidupan sosial dan ekonominya akan sangat terganggu. Hal itu oleh Khalifah Umar dicegah.

Kedua, menghancurkan sebagian rumah gubernur. Memang kelihatan ekstrem karena sampai mengambil keputusan menghancurkan sebagian rumah. Namun, jika dilihat dari sisi untuk kebaikan rakyat, apa yang dilakukan oleh Khalifah tampak tepat.

Khalifah Umar melakukan hal ini jika pembuatan rumah gubernur atau pejabatnya menyalahi aturan. Khalifah Umar menginginkan agar rumah-rumah gubernur dan pejabatnya tanpa pintu dan pembatas. Ini dimaksudkan agar pejabat bisa lebih dekat dan tanpa sekat dengan rakyatnya. Rakyat dapat dengan mudah menemui pejabatnya tanpa harus melewati prosedur yang berbelit-belit. Pejabat bukan satu kelompok elit yang kehidupan sosialnya terpisah dengan rakyatnya. Adanya tembok dan pintu akan menjadikan penghalang bagi rakyatnya untuk bisa mendekat, dekat dan berbaur dengan rakyatnya. Khalifah Umar ingin memastikan betul bahwa para gubernur dan pejabatnya bisa menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakat dengan baik.

Ketika Khalifah Umar mengetahui bahwa Saad bin Abi Waqqash membuat pintu rumahnya, Dia mengutus Muhammad bin Maslamah untuk membakar pintu tersebut.4 Pasalnya, saat membuat pintu rumahnya tersebut,  rumahnya berdekatan dengan pasar. Suara-suara bising dari pasar sering mengganggunya. Ia memutuskan membuat pintu untuk menghalangi suara-suara bising masuk ke rumahnya. Berita yang sampai ke telinga Khalifah Umar adalah Saad membuat pintu untuk rumahnya. Orang-orang menyebutnya dengan Istana Saad. Umar mengutus Muhammad bin Maslamah ke Kuffah. Khalifah Umar berkata kepada dia, “Pergilah kamu ke Istana Saad dan bakarlah pintunya. Kemudian pulanglah kamu ke tempat semula.

Muhammad kemudian pergi ke Kuffah. Di sana dia membeli kayu bakar lalu mendatangi Istana Saad untuk membakar pintunya.5

Sejatinya, apa yang dilakukan oleh Gubernur Saad adalah kewajaran dan kebolehan. Pasalnya, pintu dan tembok yang dia buat di rumahnya adalah untuk menghalangi suara-suara bising dari pasar yang sering mengganggu dirinya. Menghilangkan suara bising dari pasar adalah hal yang tidak mungkin. Jalan yang bisa ditempuh adalah membuat penghalang agar suara tersebut tidak masuk ke rumahnya. Ini adalah tindakan untuk melindungi privasi. Apalagi tidak ada yang dirugikan; seperti tidak mengambil tanah orang lain, dll ketika membangun pintu dan tembok tersebut.

Namun, pembangunan tembok dan pintu tersebut membuat polemik di masyarakat. Apalagi sampai terbentuk opini di masyarakat bahwa tembok Saad seperti istana. Hal ini dikhawatirkan bisa menjadi sekat tersendiri antara rakyat dan gubernurnya. Rakyat akan menjadi susah ketika ingin ketemu dan menyampaikan aduan kepada Gubernur. Alhasil, fungsi melayani rakyat akan terkendala secara fisik. Inilah kehati-hatian Khalifah Umar. Walau secara hukum boleh, ketika itu berbenturan dengan kepentingan pelayanan kepada rakyat, yang itu jauh lebih penting, maka kepentingan rakyat akan didahulukan.

Dalam riwayat lain, Khalifah Umar juga melakukan tindakan yang sama bagi pejabatnya. Ibnu Syabbah meriwayatkan bahwa Khalifah Umar pernah menyuruh Mujasyi’ bin Mas’ud untuk melakukan suatu tugas. Setelah itu sampai berita kepada Khalifah bahwa istrinya memperbaharui rumahnya. Umar kemudian menulis surat kepada Mujasyi’ yang berisi: Dari hamba Allah Amirul Mukminin kepadamu Mujasyi’ bin Mas’ud. Semoga keselamatan selalu terlimpah kepada kamu. Adapun sesudahnya telah sampai berita kepadaku bahwa Khadirah istrimu memperbaharui rumahnya. Jika suratku ini sampai maka janganlah kamu meletakkannya sebelum kamu merusak korden-kordennya.”

Ketika surat Khalifah Umar sampai ke tangan Mujasyi’, orang-orang sedang berada di rumahnya. Setelah Mujasyi’ membaca surat, mereka tahu dari raut wajahnya bahwa dia mendapatkan berita yang tidak ia senangi. Sambil memegang surat, dia mengatakan kepada kaumnya, “Bangkitlah kalian.” Mereka kemudian bangkit. Mereka tidak mengetahui mengapa harus bangkit. Mujasyi’ pergi ke arah pintu rumahnya dan kemudian masuk di dalam rumah. Dia bertemu dengan istrinya. Istri Mujasyi’ mengetahui dari wajah suaminya ada sesuatu yang tidak menyenangkannya. Istrinya bertanya, “Apa yang menimpamu?” Jawab Mujasyi’, “Kamu telah menyebabkan aku dimarahi.” Istrinya kemudian pergi dan berkata kepada orang-orang, “Masuklah ke dalam rumahku. Ambillah masing-masing kalian korden-korden, kemudian hancurkanlah.” Mereka mengambil korden-korden rumah dan melemparkannya ke tanah. Surat Khalifah Umar sendiri masih berada di tangan Mujasyi’.

Apa yang salah dari istri Mujasyi’? Sebenarnya tidak ada. Dia memakai harta halal untuk membeli korden. Korden itu dipasang di rumahnya sendiri. Jadi secara hukum memang boleh dan tidak mengapa. Namun, pesan yang ingin disampaikan oleh Khalifah Umar adalah, seorang pejabat janganlah bergaya hidup mewah dan berlebih selama masih didapati rakyatnya banyak yang kekurangan. Khalifah Umar ingin memastikan bahwa para pejabatnya benar-benar merasakan susahnya hidup berkesusahan. Sebagaimana prinsip Khalifah Umar, bagaimana dia bisa merasakan penderitaan rakyatnya jika dia sendiri tidak merasakan langsung dalam kehidupan sehari-harinya. Oleh karena itu, Khalifah Umar mengambil sikap tidak makan enak selama menjadi khalifah. Makanannya sama dengan makanan rakyatnya yang paling miskin. Rumahnya pun sama dengan kebanyakan orang yang lain.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Abu Umam]

 

Catatan kaki:

       Al-Wilayah ‘ala al-Buldan, jilid II, hal 127 dan Abu Salam, Al-Amwal, hal 63-64

       Mahdh Ash-Shawab, jilid II, hal 552.

       Shahih At-Tautsiq fi Sirati wa Hayati Al Faruq, halaman 134

       Futuh Al-Buldan, hal 77 dan Nihayatu Al- Arbi, jilid XIX, hal 8

       Idaroh al-Islamiyah, hal 216

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four × 3 =

Back to top button