Tarikh

Keadilan dalam Khilafah

Sistem Khilafah adalah sistem pemerintahan yang bersumber dari syariah Islam. Khilafah adalah ajaran Islam. Karena bersumber dari syariah Islam maka terpancar banyak kemaslahatan ketika Khilafah ditegakkan. Kemaslahatan Khilafah terpancar dengan baik, salah satunya dalam praktik bidang hukum dan peradilan.

Siapa yang tak kenal Umar bin Khattob. Sosok Khalifah yang tegas dan berwibawa. Karakter yang melekat pada Umar lebih karena Umar senantiasa bersandar pada syariah Islam. Umar totalitas menerapkan syariah Islam, baik dalam konteks pribadi maupun dalam pelaksanaan roda pemerintahan ketika menjabat sebagai khalifah.

Dalam buku The Great Leader of Umar bin al-Khaththab, Ibnul Jauzi meriwayatkan bahwa Amr Bin al-Ash pernah menerapkan sanksi hukum (had) minum khamr terhadap Abdurrahman bin Umar (Putra Khalifah Umar). Saat itu Amr bin Al-Ash menjabat sebagai gubernur Mesir. Biasanya, pelaksanaan sanksi hukum semacam ini diselenggarakan di sebuah lapangan umum di pusat kota. Tujuannya agar penerapan sanksi semacam ini memberikan efek jera bagi masyarakat.

Namun. Amr bin al-Ash menerapkan hukuman terhadap putra Khalifah, yakni Abdurrahman bin Umar, justru bukan seperti tuntunan syariah yang ada, tetapi dilaksanakan di dalam sebuah rumah. Ketika informasi ini sampai kepada Umar, ia langsung melayangkan sepucuk surat kepada Amr bin al-Ash.

Surat tersebut berbunyi: Dari hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin, ditujukan kepada si pendurhaka, putra al-Ash. Aku heran terhadap tindakan Anda, wahai putra al-Ash. Aku juga heran terhadap kelancangan Anda terhadapku dan pengingkaran Anda terhadap perjanjianku. Aku telah mengangkat sebagai penggantimu dari orang-orang yang pernah ikut dalam Perang Badar. Mereka lebih baik dari Anda. Apakah Aku memilihmu untuk membangkangku? Aku perhatikan Anda telah menodai kepercayaanku. Aku berpendapat lebih baik mencopot jabatanmu. Anda telah mencambuk Abdurrahman bin Umar didalam rumahmu, sedangkan Anda sudah mengerti bahwa tindakan semacam ini menyalahi aturanku. Abdurrahman itu tidak lain adalah bagian dari rakyatmu. Anda harus memperlakukan dia sebagaimana Anda memperlakukan Muslim lainnya. Akan tetapi, Anda katakana, “Dia adalah putra Amirul Mukminin.” Anda sendiri sudah tahu bahwa tidak ada perbedaan manusia di mataku dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak yang harus bagi Allah. Bila Anda telah menerima suratku ini maka suruh dia (Abdurrahman) mengenakan mantel yang lebar hingga dia tahu bahwa keburukan perbuatan yang telah dia lakukan.1

Setelah itu Abdurrahman digiring ke sebuah lapangan di pusat kota. Amr bin al-Ash lalu mencambuk Abdurrahman di depan publik. Riwayat ini juga dirawikan bin Saad dari bin az-Zubair, juga dirawikan Abd ar-Razzaq dengan sanad yang statusnya shahih dari Ibnu Umar.2

Begitulah sikap Khalifah Umar. Dengan berpegang pada syariah Islam, beliau mengimplementasikan bahwa setiap masyarakat mempunyai persamaan di hadapan hukum Islam. Tidak peduli dia putra Khalifah ataukah bukan. Ketika putranya sendiri melakukan kesalahan maka hukum Islam ditegakkan dan dilaksanakan. Tidak ada nepotisme dan intervensi hukum untuk menghapuskan permasalahan hukumnya apalagi meringankannya. Si tersangka (putra Amirul Mukminin) tetap mendapatkan hukuman sebagaimana kadar hukuman yang ada. Tidak berkurang sedikitpun. Lebih dahsyatnya lagi, Umar juga menghukum pejabat yang main mata dalam hukum. Amr bin al-Ash mendapat teguran keras dan hukuman yang setimpal atas kecerobohan dan kelalaian tindakannya tersebut. Syariah Islam tidak memberikan peluang sedikitpun nepotisme dan intervensi hukum atas nama keluarga pejabat atau pejabat pendukung rezim.

Dalam kasus lain, Khalifah Umar juga memberlakukan hal yang sama.

Jabalah adalah pemimpin terakhir Bani Ghassan yang tunduk kepada Imperium Romawi. Bani Ghassan tinggal di wilayah Syam di bawah kekuasaan Imperium Romawi. Penguasa Romawi selalu mendorong Bani Ghassan untuk mencaplok Jazirah Arabia, khususnya setelah Islam turun. Setelah wilayah-wilayah pembebasan Islam semakin luas dan pasukan kaum Muslim dapat mengalahkan Imperium Romawi maka kabilah-kabilah Arab yang berada di wilayah Syam mengikrarkan diri masuk Islam.

Pemimpin Bani Ghassan masuk Islam. Para pengikutnya juga turut masuk Islam. Jabalah, pemimpin Bani Ghassan, mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar untuk meminta izin akan berkunjung ke Madinah. Khalifah Umar sangat senang dengan kabar keislaman Jabalah dan niat kunjungannya ke Madinah. Jabalah datang ke Madinah. Di sana ia tinggal dalam tempo cukup lama. Khalifah Umar menjamu dan menyambut dia dengan senang hati. Kemudian Jabalah ingin menunaikan Haji. Waktu tawaf di Ka’bah, sarung Jabalah diinjak oleh seorang laki-laki dari Bani Fazarah. Jabalah marah dan menempeleng laki-laki itu hingga tulang hidungnya patah. Laki-laki dari Bani Fazarah itu lalu menemui Khalifah Umar dan mengadukan apa yang dialaminya. Khalifah Umar lalu mengutus seorang utusan untuk memanggil Jabalah. Kemudian Khalifah Umar menanyakan tentang kejadian tersebut kepada Jabalah. Jabalah mengakui perbuatannya. Kemudian terlibatlah dialog berikut antara Khalifah Umar dan Jabalah:

Umar: “Jabalah, mengapa Anda menganiaya saudaramu sendiri hingga tulang hidungnya sampai patah?

Jabalah: “Aku sudah cukup sabar terhadap tindakan si Badui itu. Sekiranya bukan karena kehormatan Ka’bah sudah ku congkel kedua mata si Badui itu.

Umar: “Anda telah mengakui perbuatan Anda. Sekarang mana yang Anda pilih, Anda meminta maaf kepada si Badui itu atau Aku laksanakan hukum qishash kepada Anda?

Jabalah: “Bagaimana Anda akan menerapkan hukuman itu pada saya. Bukanlah dia itu seorang rakyat jelata, sementara saya adalah seorang raja?

Umar: “Islam telah menyamakan kalian berdua.

Jabalah: “Amirul Mukminin, aku kira setelah aku masuk Islam, aku akan menjadi lebih mulia dibanding pada masa jahiliah.

Umar: “Buang jauh-jauh pemikiran semacam itu! Bila Anda tidak meminta maaf kepada orang itu, aku akan menjalani hukuman qishash pada Anda.

Jabalah: “Kalau begitu aku masuk Nasrani saja.

Umar: “Bila Anda masuk Nasrani maka akan kupenggal lehermu, karena Anda telah masuk Islam. Bila Anda murtad maka Anda akan kuperangi.”3

Dari sikap Umar ini, Jabalah sadar bahwa membantah dan mengelak dari Umar tidak ada gunanya karena syariah Islam telah mengatur demikian. Jabalah selanjutnya memohon kepada Umar untuk memikirkan masalah ini sejenak. Umar mengizinkan Jabalah untuk pergi. Jabalah berpikir dan menemukan keputusan. Keputusan Jabalah tidak sesuai dengan keputusan Umar. Jabalah dan pengikutnya memutuskan untuk meninggalkan Makkah pada malam hari yang gelap gulita menuju Konstantinopel. Jabalah dan pengikutnya sampai di Konstantinopel dengan selamat. Sesampai di Konstantinopel Jabalah menyesali keputusannya tersebut. Terhadap penyesalannya, ia menyusun bait-bait syair yang sangat indah, di mana sejarah masih sering mengulang dan menceritakan hal ini.

Begitulah indahnya syariah Islam jika ditegakkan melalui kontitusi negara. Keadilan hukum akan tegak. Semua masyarakat dengan berbagai macam status adalah sama kedudukannya dalam hukum Islam.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Abu Umam]

 

Catatan kaki:

1        Ibnu al-Jauzi, Manaqib Amirul Mukminin, hlm. 235.

2        Yahya Al Yahya, A- Khilâfah ar-Râsyidah wa ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 345.

3        Ibnu Khaldun, 2/281. Riwayat ini dikutip dari Al-Qasimi, Nizhâm al-Hukm, 1/ 90

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

sixteen − eleven =

Back to top button