Peradilan Anti Suap (Nasihat Khalifah Umar bin Khatthab ra. kepada Para Hakimnya) (Bagian 1)
Khalifah Umar adalah salah satu khalifah yang mampu memberikan jaminan hukum bagi semua rakyatnya. Semua mendapatkan perlakuan dan kedudukan sama di mata hukum.
Khalifah Umar dalam menegakkan keadilan memastikan dua hal: sifat amanah dan keadilan seorang hakim serta penerapan syariah Islam secara sempurna tanpa pandang bulu. Dengan dua hal inilah Khalifah Umar mampu memberikan rasa aman, rasa adil dan perlindungan kepada seluruh rakyatnya.
Khalifah Umar biasa membekali dan mengingatkan para hakimnya agar senantiasa bertakwa kepada Allah, takut akan siksa-Nya di akhirat kelak, berlaku adil, memberikan jaminan hukum pada yang benar, dll. Nasihat-nasihat ini dari awal disampaikan kepada para hakimnya agar dijadikan patokan dalam menjalankan amanah dan tugasnya. Ini pula yang dijadikan sebagai bahan evaluasi Khalifah Umar kepada para hakimnya jika ada yang bertindak tidak sesuai arahan. Di tegur, diingatkan dan bahkan bisa di pecat jika melenceng.
Dalam buku The Great Leader of Umar bin Al-Khathab karya Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi diceritakan bahwa Khalifah Umar sebelum dan pada awal pengangkatan para hakimnya senantiasa memberikan nasihat, baik langsung maupun melalui surat. Salah satunya adalah surat Khalifah Umar kepada Abu Musa al-Asy’ari. Surat tersebut berisi:
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari hamba AlIah putra Al-Khathab kepada hamba Allah putra Qais.”1
Semoga Allah memberikan keselamatan kepadamu. Amma’ ba’du. Sesungguhnya pengadilan itu adalah suatu kewajiban yang pasti dan sunnah yang harus diikuti. Pahamilah dengan benar jika ada orang yang mengadukan suatu permasalahan. Sesungguhnya membicarakan suatu kebenaran itu tidak ada gunanya, jika tidak dipraktikkan. Berlakulah sama dalam menerapkan keadilan di majelismu agar seorang yang mulia tidak begitu mengharap kezalimanmu dan seorang yang lemah tidak putus asa dari keadilanmu.
Orang yang menuduh harus mendatangkan bukti dan orang yang mengingkarinya harus bersumpah. Berdamai dalam pengadilan antara orang-orang Islam hukumnya boleh, kecuali untuk menghalalkan yang haram atau sebaliknya. Jika kamu memperhatikan suatu perkara yang telah kamu putuskan dan kamu mendapatkan kebenaran, janganlah kamu menunda kebenaran tersebut. Mengubah keputusan yang salah menjadi benar adalah lebih bagus daripada terus menerus berada dalam kesalahan.
Pemahaman yang salah adalah yang ada di dadamu bukan yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah. Bandingkanlah masalah yang sedang kamu hadapi dengan masalah Iain yang sepadan. Jika dalam keadaan demikian, putuskanlah suatu perkara yang lebih dekat kebenarannya kepada Allah. Jika ada orang yang mengadu, berikanlah hak keada orang yang diadukan atau agar si pengadu mendatangkan buktinya. Jika dia mampu mendatangkan bukti, berikanlah haknya. Jika kamu tidak melakukan demikian, berarti kamu telah merampas haknya. Hal ini dapat menghilangkan keraguan terhadap orang yang tidak mengetahui permasalahan yang sebenarnya.
Orang-orang Islam harus membantu yang lain kecuali jika dia telah terbukti salah melakukan sumpah palsu dan berzina. Sesungguhnya Allah mengetahui rahasia kalian. Hindarkanlah seorang yang terdakwa dengan bukti dan sumpah. Jauhilah pandangan yang sempit, memaki-maki, menyakiti orang yang bermusuhan dan berlaku kasar ketika terjadi permusuhan. Putuskan dengan yang benar maka Allah akan melipatkan pahala dan sebagai simpanan yang baik di akhirat.
Jika ada orang yang niatnya benar dan mau berkorban dengan dirinya maka Allah akan memberikan pahala terhadap apa yang ia putuskan. Jika ada orang yang berpura-pura melakukan sesuatu, Allah akan melaknat dia. Bukankah kamu mengharapkan pahala, rezeki dan rahmat-Nya. Wassalam.
Surat Khalifah Umar di atas sungguh sarat dengan makna ketakwaan, etika sekaligus prinsip seorang hakim serta dasar-dasar yang harus diterapkan dalam sebuah pengadilan. Seolah Khalifah Umar ingin memastikan bahwa peradilan dimensinya bukan hanya di dunia, namun juga di akhirat kelak. Jika seorang hakim mampu berbuat adil maka bukan hanya buah keadilan yang dirasakan oleh pencari hukum, juga akan menjadi amal shalih yang dengan itu bisa menjadi tiket masuk surga. Di sinilah Khalifah Umar senantiasa mengingatkan pada para hakimnya agar senantiasa menerapkan syariah Islam dalam peradilannya. Hanya dengan syariah Islam, dua dimensi peradilan (dunia dan akhirat) akan di dapat.
Surat Khalifah Umar ini juga mencerminkan keshalihan dan ketakwaan yang tinggi dari seorang pemimpin. Tidak mungkin seorang Khalifah memberikan pesan yang sarat dengan keimanan dan ketakwaan ini jika dia tidak beriman dan bertakwa. Ini adalah salah satu buah dari pendidikan Rasulullah saw. Khalifah Umar memastikan bahwa bukan hanya sampainya seorang Muslim ke tampuk pemerintahan, namun juga terwujudnya penerapan syariah Islam ketika ia menjadi kepala negara (Khalifah), yang salah satunya adalah syariah Islam dalam peradilan.
Selain surat di atas, Al-Faruq juga menulis surat kepada hakimnya yang lain, Abu Ubaidah. Isi surat tersebut antara lain:
Amma ba’du. Saya menulis surat ini kepadamu tentang kebaikan. Peganglah lima perkara, niscaya agamamu akan selamat dan kamu akan mendapatkan bagian yang paling mulia.
Jika ada dua orang yang bersengketa datang kepadamu, yang seharusnya kamu lakukan adalah mencari bukti-bukti dan sumpah-sumpah yang benar. Dekatilah orang yang lemah agar Iidahnya mau memberikan keterangan dan tidak takut. Bersegeralah untuk menyelesaikan permasalahan orang asing. Jika permasalahannya tidak segera diselesaikan, hal itu akan menyebabkan dia meninggalkan kewajiban dan akan kembali kepada keluarganya. Hiburlah dirinya di saat-saat santai. Berusahalah selalu untuk menciptakan suasana damai sebelum kamu memutuskan suatu perkara. Wassalam.2
Khalifah Umar al-Faruq juga menulis surat senada kepada Muawiyah bin Abu Sufyan yang berkaitan dengan peradilan.3
Khalifah Umar juga menulis surat kepada hakim Syuraih tentang ijtihad. Surat tersebut antara lain berisi, “Jika kamu menemukan suatu masalah, putuskanlah sebagaimana yang lelah diputuskan dalam al-Quran. Jika keputusannya tidak terdapat dalam al-Quran, putuskanlah dengan Sunnah Rasulullih. Akan telapi, jika hukumnya tidak terdapat di daIam al-Quran maupun as-Sunnah, jugan tidak ada seorang pun yang memutuskan hukum, maka putuskanlah sesuai dengan ijtihadmu.”
Dalam riwayat yang lain dinyatakan, “Jika kamu menginginkan untuk berijtihad, lakukanlah. Jika kamu menginginkan untuk menunda ijtihad tersebut, lakukanlah. Menurut hematku, menunda ijtihad tersebut itu lebih baik bagimu.”4
Dari surat-surat yang dilayangkan oleh Khalifah Umar kepada para hakimnya tampak jelas bahwa Al-Faruq ingin memastikan bahwa peradilan dalam Islam harus tegak, memberikan keadilan kepada semua pihak sekaligus memberikan rasa aman dan nyaman bagi pencari keadilan. Sang Khalifah ingin memastikan bahwa sebelum para hakim bekerja maka para hakim haruslah orang-orang yang beriman dan bertakwa yang tinggi. Tidak tergiur dengan jabatan, harta dan iming-iming dunia lainnya. Beliau juga memastikan bahwa ketika hakim bekerja dalam peradilan bukan hanya untuk kebaikan dunia, namun juga akan mendapat balasan surga kelak di akhirat karena keadilan mereka. Beliau memastikan para hakim berlaku seadil-adilnya. Tidak memihak kepada siapapun. Apalagi memihak kepada orang kaya, orang kuat atau para penguasa. Tentu karena hancur sebuah negeri antara lain jika para hakim sudah memutuskan peradilan yang tumpul ke atas namun tajam ke bawah.
Inilah fakta riil keindahan dan keadilan syariah Islam. Itu semua tegak bukan karena sikap tegas Khalifah Umar, namun karena ketundukan dan ketaatan beliau dalam menjalankan seluruh syariah Islam dalam semua aspek kehidupan, termasuk peradilan. Khalifah Umar yakin, jika syariah Islam diterapkan dalam peradilan, yang akan muncul adalah keadilan sejati. Itu dibuktikan selama Umar menjadi seorang Khalifah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Abu Umam]
Catatan kaki:
1 Waqa’i Nadwah an-Nuzhum al-Islamiyah fi Abu Zhabi, I/375.
2 Akhbar Umar, hlm. 173.
3 Majmu’ah al-Watsa’iq as-Siyasiyyah, hlm. 438.
4 Al-Bayan wa at-Tabyin, II/150.