Tarikh

Perlindungan Khilafah Kepada Non-Muslim

Banyak yang gagal paham dengan Khilafah. Khususnya kaum liberal dan yang membenci Islam. Mereka membuat narasi kebencian. Mereka menuding, ketika nanti Khilafah tegak berdiri maka itu akan menjadi monster menakutkan bagi warga non-Islam. Mereka akan menjadi warga yang dipaksa pindah agama, dipaksa melaksanakan peribadatan Islam, sampai hal menggelikan yakni dipaksa untuk sunnat dan pernyataan sumir lainnya.

Sungguh narasi kebencian di atas sangat jauh berbeda dengan realitas dan fakta yang ada. Bagaimana mungkin syariah Islam yang berasal dari Sang Pencipta alam semesta ini berlaku tidak adil dan diskriminatif. Jika demikian adanya maka akan bertentangan dengan sifat Allah Yang Mahaadil dan Mahasayang kepada semua makhluk-Nya.

Realitas dan fakta bagaimana Khilafah memberikan jaminan perlindungan kepada warna non-Islam tampak jelas tergambar dalam seluruh riwayat dan cerita yang bisa dipertanggung-jawabkan keontetikannya. Dalam buku Syakhsiyah Umar wa Aruhu (dalam edisi Indonesia berjudul The Great Leader of Umar bin Al Khathab, Kisah Kehidupan dan Kepemimpinan Khalifah Kedua), Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi menulis bahwa dulu Khalifah Umar pernah memiliki seorang budak laki-laki yang beragama Nasrani. Namanya Asyiq. Asyiq bercerita: Saya adalah seorang budak beragama Nasrani milik Umar. Umar berkata kepada saya; “Masuk Islam lah kamu agar kami dapat menugaskan kamu untuk menangani beberapa urusan kaum Muslim. Sebab, kami tidak pantas menugaskan untuk mengurusi urusan kami dengan orang yang bukan dari golongan kami.” Akan tetapi, saya menolak tawaran Umar. Lalu Umar membacakan firman Allah (yang artinya): Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam. Tatkala Umar akan meninggal, Dia memerdekakan saya dan berkata, “Pergilah kamu ke mana saja kamu inginkan!”1

Para penganut Ahlul Kitab juga bebas menjalankan syiar-syiar agama dan upacara-upacara keagamaan mereka di tempat-tempat ibadah dan rumah-rumah mereka. Tidak ada seorang pun yang berani melarang mereka untuk melakukan aktivitas tersebut karena syariah Islam menjamin kebebasan keyakinan mereka.

Ath-Thabari meriwayatkan bahwa Khalifah Umar ra. pernah menulis sebuah perjanjian dengan penduduk Ilia (Qudus). Dalam surat perjanjian tersebut Khalifah Umar ra. menjelaskan tentang pemberian jaminan keamanan bagi penduduk Ilia atas diri, harta, salib dan gereja-gereja mereka.2

Gubernur Umar di Mesir, Amr Bin al-Ash, pernah menulis surat perjanjian yang ditujukan kepada penduduk Mesir. Surat perjanjian itu berbunyi; “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Inilah apa yang diberikan oleh Amr Bin al-Ash kepada penduduk Mesir berupa jaminan keamanan atas diri, agama, harta benda, gereja-gereja, salib, darat dan laut mereka.”3

Para ulama fikih telah sepakat bahwa Ahludz Dzimmah berhak menjalankan syiar-syiar agama mereka. Mereka tidak dilarang untuk menjalankan aktivitas tersebut selama mereka tidak menampakkan secara terang-terangan. Bila mereka ingin menjalankan syiar-syiar agama mereka secara terang-terangan seperti mengeluarkan tanda salib mereka, maka para ulama fikih melarang mereka melakukan hal tersebut di daerah-daerah Islam dan tidak melarang mereka untuk melakukannya di daerah dan perkampungan mereka.4

Tentang jaminan Islam atas kebebasan menganut suatu agama, Imam al-Ghazali mengatakan: “Kebebasan beragama yang dijamin Islam bagi manusia belum diketahui ada tandingannya di lima benua yang ada di muka bumi ini. Belum pernah ada sebuah agama yang mendominasi sebuah kekuasaan, lalu pemerintahannya memberikan kepada penganut agama yang berbeda dengan agama resmi negara segala faktor yang membuat agama itu tetap eksis dan berkembang seperti apa yang telah dilakukan oleh Islam (Daulah Khilafah,  red.).”5

Khalifah Umar ra. telah berupaya sungguh-sungguh untuk melaksanakan prinsip kebebasan beragama di tengah-tengah masyarakat. Ia telah mengedarkan kebijakan politik dalam pemerintahannya dalam hal menghadapi penganut agama Nasrani dan Yahudi. Khalifah Umar ra. mengatakan, “Kami telah memberi mereka sebuah kontrak perjanjian; kami akan membebaskan mereka beribadah di gereja-gereja mereka. Di sana mereka bebas melakukan apa saja. Kami tidak akan membebani mereka dengan apa yang tidak sanggup mereka lakukan. Bila musuh mereka hendak menyerang mereka maka kami akan berperang menghadapi musuh mereka itu. Kami juga akan membebaskan mereka untuk memperlakukan hukum-hukum agama mereka kecuali bila mereka rela berhukum dengan hukum-hukum kami. Kami akan memutuskan perkara di antara mereka dengan hukum-hukum kami. Bila mereka tidak berada di hadapan kami maka kami tidak akan membicarakan aib-aib mereka.”6

Dalam data sejarah disebutkan bahwa Khalifah Umar ra. adalah khalifah yang sangat perhatian terhadap Ahludz Dzimmah. Khalifah Umar ra. membebaskan mereka dari kewajiban bayar pajak ketika mereka tidak mampu untuk membayarnya. Dalam kitab Al-Amwâl, Abu Ubaid mengatakan: Suatu hari, Khalifah Umar ra. melintas di sebuah pintu gerbang rumah suatu kaum. Di situ terdapat seorang laki-laki tua yang buta sedang mengemis. Umar menepuk pundak laki-laki tua itu dan bertanya, “Dari golongan Ahlul Kitab mana Anda berasal?” Laki-laki tua itu menjawab, “Aku adalah seorang Yahudi.” “Mengapa Anda mengemis?” tanya Umar. “Aku mencari uang untuk bayar pajak dan untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari,” jawab laki-laki tua itu. Setelah itu Khalifah Umar menggandeng tangan dan membawa laki-laki tua itu ke rumahnya. Umar memberikan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan si laki-laki tua tersebut kemudian Umar menyuruh si laki-laki tua itu untuk menemui petugas Baitul Mal.

Kepada petugas Baitul Mal, Khalifah Umar mengatakan, “Perhatikanlah kebutuhan orang ini dan orang-orang yang seperti dia! Demi Allah, kita tidak pantas memakan hartanya (dari hasil pembayaran pajak) ketika dia masih muda, lalu kita menelantarkan dia ketika dia ya sudah lanjut usia.”

Setelah itu Khalifah Umar membebaskan si laki-laki tua itu dan orang-orang yang seperti dia dari kewajiban membayar pajak.7

Khalifah Umar juga menulis surat yang ditujukan kepada para pembantunya dalam rangka untuk memperlakukan ketentuan ini secara umum.8

Kebijakan-kebijakan Khalifah Umar ini mencerminkan tentang keadilan Islam dan kesungguhan Khalifah Umar membangun Khilafah di atas prinsip keadilan dan prinsip kasih sayang terhadap rakyatnya. Kendati mereka non-Muslim, pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin kebebasan beragama benar-benar menjadi soko guru, mendapat jaminan dari negara dan terpelihara dengan hukum-hukum perundang-perundangan islami.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Abu Umam]

 

Catatan kaki:

Nidzam Al Hukm fi Asy Syari’ah as wa At-Tarikh al-Islami, 1/58

Tarikh Ath Thobari, 4/158

Al Bidayah wa An-Nihayah, 7/98

As-Sulthah At-Tanfidziyah, 2/725

Huquq al-Insan Baina Ta’alim Al Islam wa I’lan Al Umam Al Muttahidah, halaman 111

Nizam Al hukum fi ‘Ahd al-Khulafa Ar-Rasyidin, halaman 117

7 Abu ubaid, Al Amwal, halaman 157 dan Ibnu Al Qayyim, Al Ahkam Ahl Adz-Dzimmah, 1/38

8 Az-Zaila’I, Nashb Ar Rayah, 7/453

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventeen + seven =

Back to top button