Tunjangan Khalifah
Inilah kekhasan dan keunikan sistem Khilafah. Jabatan khalifah adalah bagian dari pelaksanaan ajaran Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Seseorang memangku jabatan khalifah tidak lain hanya semata menjalankan salah satu dari syariah Islam. Konsekwensinya adalah dunia-akhirat.
Tugas dan kewajiban seorang khalifah adalah menjadi pelayan seluruh urusan rakyatnya. Karena kewajibannya adalah menjadi pelayan umat maka dia harus senantiasa hadir dan mencurahkan waktu dan tenaganya 24 jam untuk memenuhi semua kebutuhan rakyatnya.
Oleh karena itu, seseorang yang memangku jabatan khalifah dan menjalankannya dengan baik akan mendapatkan pahala dari sisi Allah SWT.
Jabatan khalifah adalah pusat dari semua kekuasaan, pusat pelaksanaan wewenang politik serta pusat peredaran uang. Karena itu akan sangat rawan terjadi penyelewengan jabatan dan wewenang yang berujung pada koruspsi. Di sinilah Islam telah mengatur secara tegas dan jelas bagaimana seorang khalifah memperoleh dan boleh memanfaatkan keuangan negara untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya, yang tentu menutup kemungkinan sekecil apapun untuk dipakai demi kepentingan pribadi dan keluarganya.
Dalam buku The Great Leader of Umar bin Al-Khathab dinyatakan bahwa seorang khalifah bekerja secara penuh menjadi pelayan umat untuk memenuhi semua kebutuhan mereka. Karena itu ia berhak memperoleh tunjangan atas apa yang dia lakukan tersebut. Pasalnya, bila seseorang diwajibkan untuk mengerjakan suatu tugas yang mendatangkan manfaat maka ia berhak diberi imbalan atau kompensasi.1
Dalam kaidah fikih disebutkan bahwa setiap orang yang dikekang untuk mengerjakan suatu tugas yang mendatangkan manfaat bagi orang lain maka ia harus diberi imbalan atau kompensasi secukupnya seperti mufti, hakim dan gubernur.2
Mengambil tunjangan atau kompensasi atas suatu tugas atau pekerjaan memiliki landasan pijakan dari syariah. Nabi Muhammad saw. sendiri biasa memberi upah atau gaji bagi orang yang ditugaskan beliau untuk mengerjakan suatu pekerjaan.3
Tatkala Umar memangku jabatan sebagai khalifah setelah Abu Bakar, ia tidak mengambil (dalam tempo cukup lama) harta tunjangan sedikitpun dari Baitul Mal hingga akhirnya ia merasa butuh untuk memenuhi kebutuhannya. Apalagi hasil perdagangannya sudah tidak mencukupi kebutuhan-kebutuhannya karena dia sibuk menangani urusan dan kepentingan rakyat. Karena itu Umar bermusyawarah dengan para sahabat mengenai persoalan ini. Kepada mereka Umar menyampaikan, “Aku sangat sibuk menangani tugas-tugas pemerintahan, lantas apa yang boleh bagi saya atas tugas ini?”
“Ambillah dari Baitul Mal untuk keperluan makanmu,” sahabat Umar menyarankan.
Saran senada dikemukakan oleh Said bin Zaid bin Amr bin Nufail.4
Umar lantas bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, “Bagaimana pendapat Anda tentang masalah ini?”
“Ambillah untuk keperluan makan siang dan makan malam mu!” kata Ali.
Setelah itu Umar mengambil keperluannya dari Baitul Mal. Tentang tunjangan yang dia ambil dari Baitul Mal, Umar mengatakan, “Aku memposisikan diriku di hadapan harta Allah seperti seorang wali anak yatim. Bila aku sudah merasa cukup maka aku tidak mengambilnya bila aku membutuhkannya maka aku akan makan dengan cara yang makruf.”5
Hal di atas menunjukkan bahwa syariah Islam mengatur hanya membolehkan mengambil—atau khalifah hanya punya hak memakai—uang negara hanya untuk kebutuhan hidup dia dan keluarganya saja. Tidak boleh lebih dari itu. Bahkan Imam Ali menegaskan hanya untuk memenuhi makan siang dan malam saja. Ini adalah sebuah kiasan bahwa uang negara hanya boleh diambil oleh Khalifah untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan pokok saja seperti makan, minum, sandang dan papan secukupnya. Tidak boleh lebih dari itu.
Lebih lanjut, Khalifah Umar memberikan contoh keteladanan yang baik bagi para pemimpin tentang bagaimana cara menunaikan amanah yang dipercayakan kepada mereka. Abu Dawud merawikan dari Malik bin Aus bin al-Hadtsan yang bercerita: Suatu hari Umar menyebut-nyebut tentang harta rampasan perang. Umar mengatakan, “Aku tidak lebih berhak atas harta rampasan perang ini daripada kalian. Tidak seorang pun di antara kita yang lebih berhak atas harta ini daripada yang lain. Kita semua punya kedudukan di hadapan kitab Allah dan sunnah Rasulullah, yaitu seseorang dan agamanya (masuk Islam), seseorang dan cobaan yang dia hadapi (di jalan Allah), seseorang dan keluarganya serta seseorang dan kebutuhannya.” (HR Abu Dawud).
Dalam hadis di atas, Khalifah Umar menegaskan agar berhati-hati dalam penggunaan harta rampasan perang. Tidak boleh harta itu dengan seenaknya di ambil dan dimanfaatkan. Padahal sangat terbuka lebar bagi Khalifah untuk mengambil harta tersebut sesuka hatinya. Faktanya, justru dari awal Khalifah Umar sudah mewanti-wanti untuk tidak curang dalam penggunaan harta Negara, karena sudah ada pos penyalurannya sendiri, dan itu dideklarasikan secara tegas kepada semua orang.
Bukan hanya seruan dan penegasan, Khalifah Umar juga memberikan hukuman dan teguran yang keras kepada siapapun yang mendorong, memprovokasi dan menyarankan untuk berbuat curang dan culas mengambil harta negara. Dirawikan dari Rabi’ Bin Ziyad al-Haritsi, bahwa ia pernah diutus untuk menemui Umar bin al-khattab. Ia heran dengan penampilan dan keadaan Umar, lalu berkata, “Amirul Mukminin, orang yang paling berhak memperoleh makanan yang enak, hewan tunggangan yang baik dan pakaian yang bagus adalah Anda.”
Saat itu Umar sedang memakan makanan yang biasa dimakan rakyat biasa alias tidak enak. Mendengar ucapan Rabi’ ini Umar langsung mengambil pelepah kurma dan memukul kepala Rabi’. Kemudian Umar berkata, “Demi Allah, menurutku Anda tidak mengemukakan hal ini karena Allah. Anda tidak menghendaki dengan ucapan itu kecuali untuk mendekatiku. Celakalah Anda! Apakah Anda tahu perumpamaan orang seperti saya dan seperti mereka (rakyat)?”
“Tidak ada perumpamaan orang seperti Anda dan seperti mereka,” Jawab Rabi’. Umar mengatakan kepada Rabi’, “Perumpamaannya adalah seperti sekelompok orang yang melakukan perjalanan. Mereka membayarkan belanja mereka kepada salah seorang di antara mereka. Lalu mereka mengatakan kepada orang yang ditunjuk sebagai bendahara, ‘Belanjakanlah harta ini untuk keperluan kami!’ Apakah orang yang dipercaya memegang uang belanja itu dibolehkan untuk mengambil sesuatu lebih dulu dari uang belanja tersebut?”
Rabi’menjawab “Tidak boleh, wahai Amirul Mukminin.”
“Itulah perumpamaan saya dan perumpamaan mereka.” kata Umar.6
Beginilah syariah Islam mengatur dengan jelas tunjangan Khalifah. Islam membolehkan seorang khalifah untuk memakai harta negara, namun hanya secukupnya. Tidak boleh berlebih apalagi dikorupsi.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Abu Umam]
Catatan kaki:
1 Al-Mabsuth, 15/147 dan Al-Mughni, 5/445.
2 As-Sulthah at-Tanfidziyah, 1/215.
3 Ibid, 1/216.
4 Said bin Zaid Al Adawi adalah salah satu di antara 10 orang sahabat yang memperoleh jaminan masuk surga
5 Dr. Yahya al-Yahya, Al-Khilâfah ar-Râsyidah, halaman 270.
6 Mahdh ash Shawab, 1/383 dan Ath-Thabaqât al-Kubrâ, 3/280-281