Telaah Kitab

Larangan Khalwat, Tabarruj dan Membuka Aurat Bagi Wanita di Hadapan Pria Non-Mahram

Di dalam Pasal 118 terdapat tiga perkara yang menjadi perhatian utama negara Khilafah dalam mengatur interaksi antara laki-laki dan wanita. Khususnya dalam menjaga kehormatan wanita serta melindungi masyarakat dari akhlak tercela dan perilaku-perilaku hina.   Aturan seperti ini hanya ada dalam masyarakat Islam yang menjunjung tinggi budi pekerti dan perilaku mulia.  Sebaliknya, masyarakat kapitalis dan sosialis tidak memiliki sama sekali apa yang disebut dengan akhlaqul karimah.  Tiga perkara itu adalah larangan bagi wanita Muslimah ber-khalwat, tabarruj dan membuka aurat di hadapan laki-laki asing (bukan mahram).

 

Larangan Khalwat

Larangan ber-khalwat didasarkan pada sebuah Hadis Nabi saw.:

وَلاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِإِمْرَأَةٍ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

Janganlah seorang pria ber-khalwat dengan seorang wanita (tanpa disertai mahram-nya) karena sesungguhnya yang ketiganya adalah setan (HR Ahmad).

 

Nabi saw. juga bersabda:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِإِمْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

Seorang laki-laki tidak boleh ber-khalwat dengan seorang wanita kecuali wanita itu disertai mahram-nya (HR Muslim).

 

Di dalam Kitab Subul as-Salam disebutkan:

وَفِي الْحَدِيْثِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهَا تَحْرُمُ الْخَلْوَة بِالْأَجْنَبِيَّةِ وَأَنَّهُ يُبَاحُ لَهُ الْخَلْوَةُ بِالْمَحْرَمِ، وَهَذَانِ الْحُكْمَانِ مُجْمَعٌ عَلَيْهِمَا

Di dalam hadis tersebut terdapat dalil yang menunjukkan bahwa haram pria ber-khalwat dengan  wanita asing (bukan-mahram) dan boleh pria ber-khalwat dengan disertai mahram (dari pihak wanita).  Dua hukum ini telah disepakati (mujma’ ‘alayhima) (Subul as-Salam, 5/270).

 

Khalwat adalah bersepi-sepi, yaitu berkumpulnya seorang pria dan seorang wanita di suatu tempat yang tidak memberi kemungkinan orang lain untuk bergabung dengan keduanya, kecuali dengan izin keduanya.

 

Larangan Tabarruj

Larangan tabarruj didasarkan pada firman Allah SWT:

وَٱلۡقَوَٰعِدُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ ٱلَّٰتِي لَا يَرۡجُونَ نِكَاحٗا فَلَيۡسَ عَلَيۡهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعۡنَ ثِيَابَهُنَّ غَيۡرَ مُتَبَرِّجَٰتِۢ بِزِينَةٖۖ

Para wanita tua yang telah berhenti haid dan kehamilan yang tidak ingin menikah lagi tidaklah berdosa menanggalkan pakaian mereka tanpa bermaksud menampakkan perhiasannya (tabarruj) (QS an-Nur [24]: 60).

 

Jika wanita tua menapouse dan tidak ingin menikah lagi dilarang tabarruj, apalagi wanita yang belum tua dan masih mempunyai keinginan untuk menikah.

Saat menafsirkan frasa “mutabarrijaat” di atas, Imam Ibnu al-’Arabi menyatakan, “Termasuk tabarruj, seorang wanita yang mengenakan pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya.  Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah saw. yang terdapat di dalam hadis sahih: Betapa banyak wanita-wanita yang telanjang, berpakaian tipis merangsang  dan berlenggak-lenggok.  Mereka tidak akan masuk ke dalam surga dan mencium baunya (HR al-Bukhari).  Sebab, yang menjadikan seorang wanita telanjang adalah karena pakaiannya. Ia disebut telanjang karena pakaian tipis yang ia kenakan.   Jika pakaiannya tipis, ia bisa menyingkap dirinya. Ini adalah haram.”1

Di dalam kitab Zad al-Masir dinyatakan, “Tabarruj, menurut Abu ‘Ubaidah, adalah seorang wanita menampakkan kecantikannya.  Menurut al-Zujaj, tabarruj adalah menampakkan perhiasaan dan semua hal yang bisa merangsang syahwat laki-laki…Sifat-sifat tabarruj pada zaman jahiliah ada enam pendapat: Pertama, seorang wanita yang keluar dari rumah dan berjalan di antara laki-laki.  Pendapat semacam ini dipegang oleh Mujahid.  Kedua, wanita yang berjalan berlenggak-lenggok serta penuh gaya dan genit.  Ini adalah pendapat Qatadah. Ketiga, wanita yang memakai wewangian.  Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abi Najih. Keempat, wanita yang mengenakan pakaian yang terbuat dari batu permata, kemudian ia memakainya, dan berjalan di tengah jalan.  Ini adalah pendapat al-Kalabi.  Kelima, wanita yang mengenakan kerudung namun tidak menutupnya, hingga anting-anting dan kalungnya terlihat…”2

Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisan al-’Arab, menyatakan, “Wa at-tabarruj: idzhar al-mar’ah zinataha wa mahasinaha li ar-rijal (Tabarruj adalah tindakan wanita menampakkan perhiasan dan anggota tubuhnya untuk menaruh perhiasan kepada pria-non mahram).” (Ibnu Mandzur, Lisan al-’Arab, 2/212. Lihat pula: Tafsir al-Qurthubi, 10/9; Ar-Razi, Mukhtar ash-Shihah, hlm. 46; Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, 3/125; As-Suyuthi, Tafsir Jalalayn, 1/554; dll).

Larangan tabarruj di dalam al-Quran diperkuat dengan riwayat-riwayat yang menuturkan perbuatan-perbuatan yang termasuk bagian dari tabarruj. Nabi saw., misalnya, bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيْحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

Wanita mana pun yang memakai wewangian, kemudian melewati suatu kaum agar mereka mencium baunya, berarti ia telah berzina  (HR an-Nasa’i dan al-Hakim).

 

Nabi saw. pun bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلا تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاء  اْلآخِرَةَ

Setiap wanita yang memakai wewangian,  janganlah ia mengerjakan shalat Isya bersama kami (HR Muslim).

أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلا تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاء اْلآخِرَةَ

Wanita mana pun yang mengenakan bakhur, janganlah dia menghadiri shalat Isya yang terakhir bersama kami  (HR Muslim).

 

Menurut Ibnu Abi Najih, wanita yang keluar rumah dengan memakai wangi-wangian termasuk dalam kategori tabarruj jahiliyah.3

Oleh karena itu, seorang wanita Mukmin dilarang keluar rumah atau berada di antara laki-laki dengan mengenakan wewangian yang baunya dominan.

Adapun sifat wewangian bagi wanita Mukmin adalah tidak kentara baunya dan mencolok warnanya. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw:

أَلاَ وَطِيبُ الرِّجَالِ رِيحٌ لاَ لَوْنَ لَهُ أَلاَ وَطِيبُ النِّسَاءِ لَوْنٌ لاَ رِيْحَ لَهُ

Ketahuilah, parfum pria adalah yang tercium baunya dan tidak terlihat warnanya.  Adapun parfum wanita adalah yang tampak warnanya dan tidak tercium baunya (HR Ahmad dan Abu Dawud).

 

Masih berhubungan dengan larangan tabarruj, Nabi saw. bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لمَ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرةِ كَذَا وَكَذَا

Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah lihat: sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti seekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia serta wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis, merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak.  Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya.  Padahal bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian (HR Muslim).

 

Di dalam Syarh Shahih Muslim, Imam an-Nawawi berkata, “Hadis ini termasuk salah satu mukjizat kenabian.  Sungguh, akan muncul kedua golongan itu.  Hadis ini bertutur tentang celaan kepada dua golongan tersebut.  Sebagian ulama berpendapat, maksud dari hadis ini adalah para wanita yang ingkar terhadap nikmat, dan tidak pernah bersyukur atas karunia Allah.  Ulama lain berpendapat, mereka adalah para wanita yang menutup sebagian tubuhnya dan menyingkap sebagian tubuhnya yang lain untuk menampakkan kecantikannya atau karena tujuan yang lain.  Sebagian ulama lain berpendapat, mereka adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya (transparan)…Kepala mereka digelung dengan kain kerudung, sorban atau yang lainnya, hingga tampak besar seperti punuk unta.”4

Imam Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Hurairah dengan redaksi berbeda.

Hadis-hadis di atas merupakan ancaman sangat keras bagi wanita yang melakukan tabarruj.

 

Larangan Membuka Aurat

Larangan bagi wanita untuk membuka aurat di hadapan pria asing ditetapkan berdasarkan al-Quran dan Sunnah Nabi saw.  Di dalam al-Quran Allah SWT berfirman:

وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ ٣١

Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari dirinya (QS an-Nur [24]: 31).

 

Menurut Imam ath-Thabari, makna yang lebih tepat untuk “perhiasan yang biasa tampak” adalah muka dan telapak tangan.5

Keduanya bukanlah aurat dan boleh ditampakkan di kehidupan umum.  Adapun selain muka dan telapak tangan adalah aurat.  Tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki asing selain suami dan mahram. Penafsiran semacam ini didasarkan pada sebuah riwayat sahih. Aisyah ra. telah menceritakan bahwa Asma binti Abu Bakar pernah masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis. Rasulullah saw. pun berpaling seraya berkata:

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَابَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ

Asma, sungguh perempuan itu jika telah balig tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini—sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya (HR Muslim).

 

Menurut Imam an-Nasafi, yang dimaksud dengan “az-zinah” (perhiasan) adalah semua yang digunakan oleh wanita untuk berhias, misalnya, cincin, kalung, gelang, dan sebagainya.  Adapun yang dimaksud dengan “az-zinah” (perhiasan) di sini adalah “mawadhi’ az-zinah” (tempat menaruh perhiasan).  Artinya, maksud dari ayat di atas adalah, “Janganlah kalian menampakkan anggota tubuh yang biasa digunakan untuk menaruh perhiasan, kecuali yang biasa tampak yakni muka, kedua telapak tangan dan dua mata kaki.”6

Syariah juga menjelaskan syarat-syarat satr al-‘awrat (menutup aurat). Menutup aurat harus dilakukan hingga warna kulitnya tertutup.  Seorang wanita tidak disebut menutup aurat jika auratnya sekadar ditutup dengan kain atau sesuatu yang tipis hingga warna kulitnya masih tampak kelihatan. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra. di atas. Dalam hadis ini, Rasulullah saw. menganggap bahwa Asma’ belum menutup auratnya meskipun Asma telah mengenakan kain transparan.

Dalil lain adalah hadis riwayat Usamah, bahwa ia ditanyai Nabi saw tentang kain tipis.  Usamah menjawab, ia telah mengenakannya kepada istrinya. Rasulullah saw. lalu bersabda:

مُرْهَا فَلْتَجْعَلْ تَحْتَهَا غِلاَلَةً، إِنِّي أَخَافُ أَنْ تَصِف حَجْمَ عِظَامِهَا

Suruhlah istrimu mengenakan pakaian dalam (ghilalah) di bawah kain itu (qubthiyyah) karena sungguh aku khawatir kalau-kalau tampak lekuk tubuhnya (HR Ahmad).

 

Lafal “qubthiyyah” dalam hadis riwayat Usamah bermakna kain tipis.  Saat Nabi saw mengetahui Usamah mengenakan pakaian itu  kepada isterinya, beliau memerintahkan agar di bawah kain itu dikenakan pakaian dalam supaya tidak kelihatan warna kulitnya. [Gus Syams]

 

Catatan kaki:

1        Imam AIbnu al-’Arabi, Ahkam al-Qur’an, 3/419

      Zad al-Masir, 6/38-382.

3        Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Bari, 8/519.

4        Imam an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, hadis no. 3971.

5        Imam ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, 18/118.

6        Imam an-Nasafi Tafsir an-Nasaafi, 3/143. Imam Ibnu Katsir, dalam Tafsir Ibnu Katsir, 3/285, menyatakan, menurut jumhur ulama tafsir, “illa ma dzahara minha” diartikan muka dan kedua telapak tangan.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four × two =

Back to top button