H. M. Ismail Yusanto: Umat Wajib Punya Agenda Politik Sendiri
Pengantar:
Pilpres telah usai. Dengan segala hiruk-pikuknya, Pilpres telah menghasilkan penguasa baru. Paling tidak untuk lima tahun ke depan.
Pertanyaannya: Apakah kondisi bangsa ini pasca terpilihnya penguasa baru akan makin baik? Apa saja tantangannya? Akankah aspirasi umat benar-benar bisa diwujudkan oleh penguasa baru? Ataukah umat kembali akan kecewa?
Itulah di antara pertanyaan yang diajukan Redaksi kepada Ustadz H. Ismail Yusanto dalam Hiwar kali ini. Berikut hasil wawancaranya.
Pilpres dan Pileg diduga penuh kecurangan. Apa dampak pemilu curang ini bagi kepemimpinan di masa depan?
Kekuasaan yang didapat dengan cara yang tidak haq tidak akan berkah. Pasti pula akan melahirkan pemimpin yang curang. Adagium mengatakan, satu kebohongan akan ditutupi dengan kebohongan lain. Kecurangan akan ditutupi dengan kecurangan berikutnya. Kejahatan akan ditutupi dengan kejahatan lainnya. Akhirnya, lahir rangkaian kebohongan, kecurangan dan kejahatan. Bila kecurangan, kebohongan dan kejahatan itu dilakukan oleh banyak orang, maka akan melahirkan rezim curang, bohong dan jahat. Apa yang bisa diharap dari rezim semacam ini? Kebaikan macam apa yang bisa dihasilkan oleh rezim seperti ini?
Di Akhirat nanti, sebagaimana disampaikan Rasulullah, kekuasaan yang didapat tanpa haq hanya akan menyisakan penyesalan dan kehinaan.
Apakah pemimpin yang terpilih karena kecurangan punya legitimasi untuk memimpin rakyat?
Secara formal mungkin dia legitimated. Absah. Karena secara formal memang dia yang menang. Selanjutnya dia berhak melaksanakan semua kewenangan yang dia miliki. Bila ia seorang presiden, ia berhak menyusun kabinet, menunjuk para pejabat tinggi dan mengatur negara ini.
Namun, secara substansial, ia sama sekali tidak legitimated. Seperti koruptor yang tampak kaya dari harta curian, pemimpin yang menang dengan cara curang sesungguhnya ia memegang kekuasaan yang bukan miliknya. Jika rakyat menyadari semua kecurangan itu, pasti tidak akan tinggal diam. Sebagaimana pernah dialami oleh Marcos dan banyak pemimpin dunia lain, yang menang Pemilu dengan curang, akhirnya justru terjungkal dengan sangat mengenaskan.
Ada yang mengatakan maraknya kecurangan dalam Pemilu akan memperkuat ketidakpercayaan terhadap sistem demokrasi. Bagaimana pandangan Ustadz?
Iya, betul. Selama ini kepada publik selalu disampaikan bahwa kedaulatan rakyat harus dijunjung tinggi. Juga disampaikan bahwa haruslah selalu menempuh jalur konstitusional dalam meraih aspirasi politik. Faktanya tidaklah demikian. Mengapa ketika rakyat sudah menjatuhkan pilihan, pilihan rakyat atau kedaulatan itu tidak dihormati, malah dimanipulasi? Sudah begitu, rakyat masih saja diminta untuk terus berlaku konstitusional oleh pihak yang sudah terang-terangan berlaku tidak konstitusional. Wajar saja jika kemudian rakyat tidak percaya pada demokrasi dan semua mekanisme yang disebut konstitusional itu.
Sistem demokrasi semakin diragukan akan membawa perubahan ke arah Islam?
Iya. Memang harus diakui, demokrasi telah menjadi sistem politik yang paling banyak dianut. Hampir semua negara di dunia, termasuk negeri-negeri Muslim, mempraktikkan sistem politik ini.
Namun, penerimaan Dunia Islam terhadap demokrasi tidaklah bulat. Ada juga yang menolak karena dinilai bertentangan dengan ajaran Islam. Utamanya menyangkut inti dari paham demokrasi itu sendiri, yakni kedaulatan rakyat, dalam arti siapa yang memiliki hak membuat hukum, menentukan halal dan haram. Menurut demokrasi, hak itu ada pada rakyat melalui wakil-wakilnya. Adapun menurut ajaran Islam, hak membuat hukum, menentukan halal dan haram, ada di tangan Allah semata. Bukan di tangan manusia.
Sebagian lagi, meski sependapat bahwa demokrasi memang bukan ajaran Islam, demokrasi bisa menjadi jalan perjuangan dalam meraih cita-cita Islam. Terbukti, menurut mereka, tidak sedikit tokoh Muslim yang baik yang bisa naik ke tampuk kekuasaan melalui jalan demokrasi. Melalui jalan ini pula berbagai peraturan perundangan yang sesuai dengan aspirasi umat bisa dihasilkan.
Memang melalui jalan ini penerapan sebagian syariah, misalnya ketentuan hukum waris, nikah talak rujuk dan cerai serta perkara ahwâl syakhshiyyah (perdata), UU Zakat, UU Perbankan Syariah dan lainnya, sudah bisa diwujudkan. Namun, bila yang dimaksud adalah penerapan syariah Islam secara kaffah tentu ini belum terwujud.
Mengapa sistem demokrasi tidak bisa diharapkan membawa perubahan sistemik ke arah Islam?
Secara teoretik, demokrasi memang memberikan jalan lapang bagi siapa saja untuk meraih cita-cita politiknya. Namun, pada kenyataannya, itu hanya berlaku sepanjang cita-cita itu masih selaras dengan nilai-nilai Barat. Ketika cita-cita itu bertentangan dengan kepentingan Barat, sebutlah misalnya, cita-cita tegaknya syariah secara kâffah, demokrasi seperti menutup diri. Barat yang menyebut diri kampiun demokrasi, ketika berhadapan dengan yang serba Islam, berubah menjadi demikian brutal dan tak sungkan bertindak dengan cara yang sangat tidak demokratis untuk menghentikan cita-cita itu.
Apa yang terjadi pada FIS di Aljazair pada awal tahun 1992 yang memenangkan Pemilu dengan prosentase yang sangat tinggi, bisa menjadi bukti. Sesuai dengan kaidah the winner takes all yang diadopsi oleh konstitusi di sana, pemenang Pemilu selain berhak menyusun pemerintahan juga berhak mengubah konstitusi. Maka dari itu, FIS yang dipimpin oleh dua ulama terkemuka, Ali Belhaj dan Abbas Madani, sudah menyiapkan konstitusi Islam yang akan membawa Aljazair menjadi Daulah Islam, meninggalkan sekularisme. Namun, kekuatan militer dan pemerintahan dukungan Barat di sana tidak membiarkan hal itu terjadi. Dengan berbagai cara keji, akhirnya hasil Pemilu itu dianulir. FIS bahkan kemudian dinyatakan sebagai partai terlarang. Lebih dari 30 ribu anggotanya, termasuk dua tokoh utamanya tadi, dijebloskan ke dalam penjara.
Hal serupa terjadi juga pada Hamas di Palestina dan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang memenangi Pemilu. Bahkan di Mesir mereka berhasil merebut kursi kepresidenan melalui Mohammad Mursi, tetapi lalu dikudeta oleh militer atas dukungan Barat. Negara-negara Barat diam saja atas kudeta yang jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang mereka agung-agungkan itu.
Jika kemenangan pasangan Prabowo-Sandi dalam Pilpres tahun ini—yang menurut berbagai sumber terpercaya ada di angka lebih dari 60%—akhirnya benar-benar bisa digagalkan oleh kekuatan-kekuatan tersembunyi di negeri ini, maka makin lengkaplah bukti bahwa demokrasi memang hanya memberikan jalan sempit kepada Islam. Padahal berbeda dengan FIS di Aljazair atau Hamas di Palestina dan Ikhwan di Mesir, Paslon 02 ini sesungguhnya tidak pernah secara formal menyatakan hendak berjuang untuk Islam dan menerapkan syariah secara kâffah. Namun, toh tetap saja Paslon 02, yang memang sangat kuat didukung oleh berbagai komponen umat Alumni 212 ini, mati-matian dihambat karena dipersepsi akan memberikan jalan bagi apa yang mereka sebut berkembangnya radikalisme.
Ada yang mengatakan Pilpres kemarin cerminan pertarungan antara Islam dan non Islam. Benarkah?
Secara formal, kedua paslon itu sama-sama Muslim. Meski begitu, secara formal keduanya yang diusung oleh mayoritas partai sekular, dalam arti bukan partai yang berasas Islam, tidak satu pun yang menyatakan hendak mengusung perjuangan Islam. Jadi, kalau menggunakan perspektif ini, tidak ada itu yang disebut pertarungan Islam dan non-Islam dalam Pilpres kemarin. Sebab tidak ada satu pun yang boleh disebut mewakili perjuangan Islam.
Namun, secara substansial, polarisasi semacam itu sangat terasa. Capres 01, meski mengusung cawapres yang seorang ulama, reputasinya dikenal sebagai pemimpin yang jelas-jelas mendukung bahkan melindungi penista agama; membiarkan terjadinya kriminalisasi terhadap para ulama, habaib dan para aktifis; membubarkan ormas Islam; juga membiarkan anasir-anasir liberal, anti Islam, bahkan disebut-sebut berbau PKI, berkuasa di sekelilingnya. Ketundukan pada aseng dan asing juga sangat terasa, utamanya di bidang ekonomi.
Adapun Paslon 02 sebaliknya. Justru ingin mengembalikan marwah para ulama dan habaib yang dikriminalisasi itu, memberikan ruang lapang untuk kegiatan dakwah serta menghentikan liberalisasi dan eksploitasi ekonomi negeri ini oleh kekuatan-kekuatan asing dan aseng. Secara politik, Paslon 02 juga didukung secara kuat oleh seluruh komponen Alumni 212 karena Paslon ini juga mendukung gerakan 212. Nah, mungkin dari sinilah kemudian dikatakan bahwa Pilpres kemarin seperti pertarungan antara kekuatan Islam dan non-Islam.
Kalau begitu benar, Pilpres kemarin menunjukkan adanya kekuatan politik umat yang besar melawan rezim yang berkuasa?
Jelas sekali. Kemenangan atau setidaknya tingginya suara yang didapat oleh Paslon 02 tidak bisa lepas dari besarnya dukungan kekuatan politik umat kepadanya. Justru itu yang dikhawatirkan oleh rezim yang tengah berkuasa sekarang. Rezim sekular, liberal, anti Islam dan para pendukungnya mengkhawatirkan naiknya Paslon 02 akan membawa serta kekuatan politik umat yang tercermin pada Gerakan 212. Namun, kekuatan itu sudah terbentuk sehingga tidak mungkin ditepis begitu saja. Umat juga makin percaya diri bahwa ternyata mereka punya potensi kekuatan politik yang cukup besar.
Greg Fealey, analis politik Islam dan Indonesia, menyebutkan selama ini kekuatan politik umat hanya dimanfaatkan untuk kepentingan elit politik, bukan sepenuhnya untuk kepentingan umat Islam?
Iya, karena umat hanya dijadikan sebagai vote getter. Selepas suara didapat dalam Pemilu, umat ditinggalkan. Partai atau penguasa tak lagi menghitung umat dalam pilihan kebijakan dan penetapan peraturan perundangan. Keadaan semacam ini terjadi berulang dari dulu hingga sekarang. Namun, meski mungkin gejala seperti ini masih akan terus berlangsung, ke depan tidak mudah lagi dilakukan karena umat sudah relatif memiliki kesadaran politik yang lebih baik dibanding sebelumnya.
Lantas, kemana seharusnya arah kekuatan politik umat Islam, ke depan?
Umat harus bisa menentukan arah politiknya sendiri. Tentu saja ke arah Islam. Hal itu hanya mungkin bisa dilakukan bila kekuatan umat terkonsolidasi dengan baik. Tanda-tanda ke arah sana makin terlihat sebagaimana tampak pada aksi bela Islam kemaren. Meski masih pada tahap yang relatif dini, Gerakan 212 menunjukkan umat makin terkonsolidasi. Setidaknya melalui ide besar: Bela Islam, Bela al-Quran dan Bela Ulama. Bila hal ini bisa dirawat atau dijaga, optimis ke depan kekuatan politik umat akan semakin membesar.
Dalam Pilpres kemarin, HTI dan Khilafah banyak disebut-sebut meski tidak selalu dalam konteks positif. Pertanda apa itu? Bagaimana pula mengubah persepsi negatif itu?
Tingginya intensitas percakapan mengenai HTI dan khilafah dalam Pilpres kemarin menunjukkan keberhasilan dakwah. Berbelas tahun kita mendakwahkan ide khilafah seperti seolah tak berbalas. Kini topik itu sangat mengemuka meski tidak selalu dalam konteks positif sebagai akibat lanjutan dari pencabutan status BHP HTI, yang oleh penguasa dicitrakan sebagai ide yang berbahaya. Selain itu, khilafah juga telah dijadikan sebagai bahan diskredit, khususnya terhadap Paslon 02. Setelah sebelumnya dibangun citra bahwa seolah khilafah itu paham radikal yang berbahaya dan merusak, lalu hal itu dialamatkan kepada Paslon 02 agar publik tidak mendukungnya karena Paslon 02 itu akan menerapkan paham yang sudah lebih dulu dicitrakan buruk.
Tidak mudah mengubah persepsi negatif seperti itu, terutama bila rezim yang memburukkan citra khilafah itu masih berkuasa. Tentu mereka akan mempertahankan pencitraan itu. Namun, tak ada kekuasaan yang langgeng. Selepas rezim ini usai, dakwah akan menemukan kembali jalannya. Pandangan positif terhadap ide khilafah insya Allah akan berkembang lagi.
Bagaimana kekuatan politik umat bisa digunakan untuk menegakkan Khilafah?
Bergantung pada konsolidasi umat yang terjadi pada masa mendatang. Apakah gerakan umat seperti 212 itu makin menguat atau sebaliknya. Andai terjadi sebaliknya, setidaknya umat punya pengalaman, jutaan umat pernah berhimpun dalam satu tempat dengan ide yang sama, yakni Bela Islam. Ini akan menjadi steping stone yang sangat berharga buat perjalanan umat ke depan. Bila spirit Bela Islam tertanam kuat, umat akan membela apa saja yang serba Islam. Contohnya, saat bendera tauhid dibakar beberapa waktu lalu, umat serentak memprotes. Membuncah semangat umat dalam membela bendera tauhid. Apa yang tampak pada Reuni Akbar 212 pada bulan Desember lalu menunjukkan hal itu. Bendera tauhid berkibar gagah di mana-mana memenuhi tempat acara.
Apa tantangan yang mungkin dihadapi umat Islam ke depan pasca Pilpres?
Tantangan paling jelas adalah, rezim seperti apa yang akan berkuasa nanti. Bila yang berkuasa adalah rezim seperti yang kemarin, umat akan mengalami situasi yang berat. Menurut info, rezim ini akan melakukan langkah-langkah lebih represif untuk menghancurkan apa yang mereka sebut sumber-sumber radikalisme. Sebaliknya, bila yang berkuasa nanti adalah rezim baru yang lebih bersahabat dengan Islam, insya Allah keadaan umat mungkin akan lebih baik.
Bagaimana Khilafah menjadi jawaban terhadap persoalan Indonesia dan Dunia Islam ke depan?
Substansi khilafah itu ada tiga yaitu: syariah, ukhuwah dan dakwah. Dengan khilafah, syariah akan diterapkan secara kâffah, ukhuwah akan terwujud secara nyata dan dakwah akan berjalan lebih intensif. Syariah akan menggantikan sekularisme dan kapitalisme yang sudah demikian menjerat negeri ini. Kerahmatan atau kebaikan Islam akan dirasakan secara nyata. Dengan ukhuwah, umat termasuk di negeri ini menjadi kuat karena ditopang oleh 1,7 miliar umat lainnya, sehingga tidak mudah direndahkan atau dilecehkan sebagaimana selama ini terjadi. Lalu dengan dakwah, umat makin paham Islam, sekaligus menghilangkan kesalahpahaman terhadap Islam. []
\