Telaah Kitab

Menguji Dalil Kebolehan Sewa Lahan (Telaah Kitab Muqaddimah ad-Dustur Pasal 135-Lanjutan)

Ulama yang membolehkan sewa lahan pertanian mengetengahkan argumentasi bahwa dalil yang mendasari kebolehan sewa lahan dengan emas dan perak adalah Ijmak Sahabat.  Ijmak Sahabat tentu absah dijadikan sebagai dalil.  Al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan, “Ibnu Mundzir menyatakan bahwa para Sahabat sepakat atas kebolehan sewa tanah dengan emas dan perak.” (Ibnu Hajar, Fath al-Bari, V/25).

Jawaban atas pernyataan di atas adalah, bahwa hadis-hadis yang melarang sewa lahan datang dalam bentuk mutlak.   Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيُحْرِثَهَا أَخَاهُ وَإِلاَّ فَلْيَدَعْهَا

Siapa saja yang memiliki lahan, hendaklah ia garap, atau ia berikan kepada saudaranya agar digarap.  Jika tidak, tinggalkan lahan itu (HR Muslim).

 

Rasulullah saw. juga bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَه أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيُحْرِثَهَا أَخَاهُ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَه

Siapa saja yang memiliki lahan, hendaklah ia garap, atau ia berikan kepada saudaranya.  Jika ia menolak, sitalah tanahnya (HR Muslim).

 

Sabda Nabi saw. ini menunjukkan tidak adanya sewa tanah dengan emas dan perak.  Hadis-hadis itu juga memberikan dua batasan hukum atas tanah lahan, yakni menggarap lahan itu, atau jika tidak sanggup, hendaknya diberikan kepada saudaranya.   Di dalam riwayat tersebut hanya ada dua pilihan hukum. Tidak ada pilihan ketiga.  Artinya, tidak ada sewa menyewa atas lahan dengan emas dan perak.

Apa yang diklaim sebagai Ijmak Sahabat, yakni kebolehan sewa lahan dengan emas dan perak, adalah pilihan hukum ketiga.  Padahal tidak ada pilihan, selain dua pilihan di atas.   Atas dasar itu, terjadi pertentangan antara riwayat-riwayat di atas dengan riwayat yang diklaim sebagai Ijmak Sahabat.   Dengan memperhatikan kekuatan sanad-nya, hadis-hadis yang membatasi dua hukum jauh lebih kuat sanad-nya dibandingkan riwayat yang diklaim sebagai Ijmak Sahabat.

Ijmak Sahabat terjadi pada sesuatu yang benar-benar ada, lalu mereka bersepakat atas sesuatu tersebut.   Adapun dalam sewa tanah dengan emas dan perak belum dilakukan pada masa para Sahabat.   Di dalam sebuah riwayat yang dituturkan Imam al-Bukhari dari Rafi’, ia mengatakan:

فَأَمَّا الذَّهَبُ وَالْفِضَّةُ فَلَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ

Adapun sewa lahan pertanian dengan emas dan perak belum pernah terjadi pada masa itu (HR al-Bukhari).

 

Handhalah bin Qais bertutur: Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij mengenai sewa lahan dengan emas dan perak.  Beliau menjawab, “Tidak mengapa.”  Orang-orang menyewakan lahan pada masa Nabi saw. dengan tumbuhan yang tumbuh di sungai-sungai besar, dan apa yang tumbuh di depan sungai kecil, dan sesuatu dari hasil tanaman; lalu ini rusak, dan ini diserahkan, yang ini diserahkan dan yang ini rusak.  Orang-orang tidak menyewakan lahan kecuali dengan hal ini. Oleh karena itu, sewa-menyewa seperti itu dilarang. Adapun (sewa menyewa lahan) dengan sesuatu yang telah diketahui dan dijamin, maka hal itu tidak mengapa.” (HR Muslim).

Dua riwayat di atas menunjukkan tidak adanya praktik penyewaan lahan dengan emas dan perak pada masa Nabi saw. sehingga ia menafikan semua ijmak yang disepakati. Pasalnya, Ijmak Sahabat adalah kesepakatan yang menyingkat suatu dalil, bukan pendapat Sahabat hasil dari diskusi dan kompromi mereka, lalu mereka bersepakat di atasnya. Ijmak Sahabat atas suatu perbuatan, hukumnya adalah ini. Artinya, adalah mereka mendengar Rasulullah saw. mengatakan hukum itu, atau mereka menyaksikan Nabi saw. melakukan perbuatan itu, atau Rasulullah mendiamkan perbuatan itu. Kemudian para Sahabat mengabarkan hukumnya, namun tidak meriwayatkan dalilnya.  Hal ini tidak akan terjadi, kecuali sesuatu yang disepakati telah terjadi. Sebabnya, syariah disyariatkan untuk perbuatan-perbuatan atau kejadian-kejadian faktual yang terjadi, bukan pada premis-premis falsafi.

Atas dasar itu, kesepakatan Sahabat harus berupa kesepakatan atas sesuatu yang benar-benar telah terjadi.   Di dalam riwayat lain dituturkan bahwa Umar bin al-Khaththab ra. menyeru di atas mimbar:

فَمَنْ أَحْيَا أَرْضاً مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ، وَلَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌ بَعْدَ ثلَاَثَ سِنِيْنَ

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya.  Tidak ada hak lagi bagi orang yang memagari tanah setelah (ia telantarkan ) selama tiga tahun (HR Abu Yusuf di dalam Kitab Al-Kharaj dari Salim bin ‘Abdillah).

 

Andai seorang muhtajir boleh menyewakan lahan dengan emas dan perak, niscaya hak atas tanah itu tidak boleh dicabut setelah tiga tahun tidak digarap. Apa yang dilakukan ‘Umar bin al-Khaththab ra., yakni menyita tanah Bilal bin Haris al-Muzniy setelah ditelantarkan lebih dari tiga tahun, disaksikan oleh mata dan telinga para Sahabat. Mereka tidak mengingkari kebijakan ini.  Ini berarti ada Ijmak Sahabat atas apa yang dilakukan ‘Umar bin al-Khaththab ra. dengan menyita tanah yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun.

Pihak yang membolehkan sewa tanah pertanian juga menyatakan bahwa dalil kebolehan sewa tanah adalah hadis dari Ibnu Abbas ra., yang mengatakan:

إِنَّ الله لَمْ يَنْهَ عَنِ الْمُزَارَعَةِ وَلَكِنَّهُ قَالَ أَنْ يَمنَحَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْخُذَ شَيْئاً مَعْلُوْما

Allah SWT tidak melarang muzara’ah.  Namun, beliau berkata, “Seseorang di antara kalian yang memberikan kepada saudaranya itu lebih baik daripada mengambil sesuatu yang telah ditentukan.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Imam Ibnu Majah menuturkan khabar dari Ibnu ‘Abbas ra. bahwa saat mendengar banyak orang menyewakan tanah, beliau berkata, “Mahasuci Allah. Sungguh Rasulullah saw. hanya bersabda, “’Hendaknya seseorang di antara kalian memberikan tanahnya kepada saudaranya yang Muslim, dan jangan melarang penyewaannya.’”

Di dalam riwayat lain dari Ibnu ‘Abbas ditututurkan bahwa Rasulullah tidak mengharamkan muzara’ah. Akan tetapi, beliau memerintahkan untuk saling berbuat baik dengan sabdanya, “Siapa saja yang memiliki tanah, hendaklah ia garap, atau ia berikan kepada saudaranya yang Muslim. Jika ia menolak maka sitalah tanahnya.”  (HR at-Tirmidzi dari jalan Ibnu ‘Abbas ra.).

Begitu pula diriwayatkan dari Tsabit yang berkata, “Sungguh Rasulullah saw. melarang muzara’ah, dan memerintahkan mu’ajjarah (sewa menyewa tanah), dan ia berkata, ‘Hal itu (mu’ajjarah) tidak mengapa.’” (HR Muslim dari jalan Tsabit ibn adh-Dhahak).

Hadis-hadis di atas menunjukkan kebolehan sewa-menyewa lahan.

Sanggahan atas pendapat di atas adalah, bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, seluruhnya merupakan pemahaman beliau terhadap sabda Nabi saw. Bukan riwayat dari Nabi saw.  Dengan kata lain, hadis-hadis di atas adalah penjelasan beliau terhadap larangan Nabi saw. atas sewa lahan, bahwa larangan itu tidaklah sampai derajat haram.  Oleh karena itu, semampang riwayat-riwayat tersebut adalah pemahaman dan penjelasan Ibnu ‘Abbas ra, ia tidak layak dijadikan sebagai hujjah.

Adapun hadits Tsabit bin Salim (bahwa Rasul saw memerintahkan mu’ajjarah) bertentangan dengan hadis lain yang melarang sewa-menyewa lahan (HR Muslim dari Rafi’ bin al-Khudaij, dan hadits lain (Rasulullah saw. melarang diambil dari tanah, sewa dan bagian) (HR Imam Muslim dari jalan Jabir ra.).

Hadis bahwa Rasul saw. memerintahkan mu’ajjarah datang dalam bentuk umum, mencakup semua bentuk sewa-menyewa.  Hadis bahwa Rasulullah saw. melarang sewa menyewa lahan dan hadis bahwa beliau telah melarang diambil dari tanah, sewa dan bagian juga datang dalam bentuk umum, mencakup semua bentuk sewa menyewa lahan.  Dalam kondisi seperti ini, tidak mungkin dua riwayat tersebut dikompromikan.  Satu-satunya jalan adalah dilakukan tarjih. Kaidah tarjih menyatakan, jika larangan bertentangan dengan perintah, maka larangan harus dikuatkan dibandingkan perintah. Ini berdasarkan sabda Nabi saw.:

دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَالاَ يُرِيْبُكَ

Tinggalkanlah yang meragukanmu, menuju pada yang tidak meragukanmu (HR at-Tirmidzi).

 

Dengan demikian, gugurlah argumentasi pihak yang membolehkan sewa lahan pertanian. [Gus Syams]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 × 3 =

Back to top button