Afkar

Mengapa Mereka Memusuhi Islam Politik?

Benturan yang haq dengan yang bathil akan terus berlangsung sepanjang sejarah manusia. Sejak masa Nabi Adam hingga Hari Kiamat. Itu sebagai keniscayaan. Pasalnya, yang haq tidak mungkin bisa dicampur dengan yang bathil. Islam sebagai agama dan ideologi yang melahirkan sistem kehidupan tentu akan berbenturan dengan sistem dan ideologi lainnya.

Benturan itu bisa berupa benturan pemikiran hingga benturan fisik. Umumnya kekalahan secara pemikiran akan berujung pada perlawanan secara fisik. Apalagi jika pihak yang kalah tersebut memiliki kekuatan dan kekuasaan. Dulu para nabi mendapatkan perlakuan kasar dari penguasa. Bahkan diancam jiwanya. Itu dilakukan setelah penguasa tersebut tidak lagi mampu melawan hujjah yang disampaikan oleh para nabi tersebut.

 

Mereka Memusuhi Islam Politik

Inti dari dakwah adalah seruan untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah. Prosesnya dilakukan secara argumentatif. Bukan dengan kekerasan. Melalui dakwah, syariah Islam ditawarkan sebagai solusi terhadap berbagai problem yang terjadi. Mulai dari problem akhlak, pendidikan, ekonomi, sosial, keamanan, hingga problem politik. Pada sudut pandang secara kaffah inilah Islam tidak dapat dipisahkan dengan persoalan negara dan politik.

Konten dakwah semacam itu memang sangat mungkin berbenturan dengan sejumlah hal yang terjadi di masyarakat dunia, yakni berbagai hal yang bertentangan dengan syariah Islam. Mereka yang anti-syariah akan memusuhi yang pro-syariah, khususnya syariah yang menyangkut persoalan negara dan politik. Dengan berpijak pada syariah tersebut, kebijakan publik yang bersumber dari ideologi kapitalisme dan sosialisme harus ditolak.

Benturan yang terjadi pada dakwah tersebut sebenarnya bermuara pada benturan idelogi besar dunia saat ini. Islam melawan kapitalisme-liberalisme dan sosialisme-komunisme. Benturan yang terjadi di berbagai negara termasuk di negeri ini pun tidak dapat dipisahkan dari benturan ideologi yang terjadi di dunia global tersebut.

Identitas budaya, agama dan ideologi memang diramalkan akan menjadi sumber konflik utama di dunia pasca Perang Dingin. Hal itulah yang mendorong benturan peradaban atau clash of civilizations. Teori ini dipaparkan oleh ilmuwan politik Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Apa yang dihipotesiskan oleh Huntington itu memang sedang terjadi saat ini. Benturan antara pemikiran Islam dengan kapitalisme dan komunisme merupakan keniscayaan yang tidak mungkin dihindari.

Eropa kini telah memproklamirkan diri untuk memerangi Islam politik secara lebih keras. Hal tersebut diinisiasi oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron. Dia meminta pemuka agama Islam di negara itu menyetujui perjanjian untuk mentaati nilai-nilai negara republik. Di dalam perjanjian itu juga dinyatakan bahwa Islam bukan gerakan politik. Juga dilarang ada campur tangan asing dalam masyarakat Muslim di Prancis. Permintaan itu diutarakan Macron saat bertemu delapan pemimpin Dewan Agama Muslim Prancis (Conseil Francais du Culte Musulman, CFCM) pada 18 November 2020 lalu.

Tidak hanya di dalam negeri, Macron juga menyerukan perlawanan terhadap Islam politik di negara-negara Eropa. Bersama Kanselir Austria Sebastian Kurz, Macron mendesak sesama pemimpin Eropa untuk membentuk front bersama melawan Islam politik. Gagasan membentuk front tersebut saat ini mulai mendapat dukungan dari para pemimpin Eropa lainnya.

Artinya, Eropa kini mengikuti langkah Amerika Serikat (AS). AS telah lebih dulu memerangi Islam politik. AS menggunakan isu radikalisme untuk memerangi Islam politik secara global. Berbagai negara telah diseret oleh AS untuk menjadi bagian dari agenda isu “global war on radicalism” itu. Isu tersebut dulu muncul bersamaan dengan isu terorisme. Keduanya sama-sama dimunculkan oleh AS. Tujuannya sama, yakni untuk melawan Islam politik. AS di bawah pimpinan Donald Trump telah mengubah slogan “global war on terrorism” menjadi “global war on radicalism”.

Pada tahun 2007 Rand Corporation menerbitkan sebuah dokumen yang berjudul Building Moderate Muslim Networks. Riset yang dikomandani oleh orientalis Angel Rabasa dan Cheryl Benard itu berisi berbagai rekomendasi bagi AS untuk melawan kelompok Islam politik yang mereka sebut sebagai Islam radikal. Salah satunya adalah berupa pemberian dukungan dan bantuan finansial kepada kalangan intelektual dan akademisi Muslim yang sekular dan liberal di berbagai negeri Muslim.

 

Membaca Strategi Musuh

Mereka telah menyatakan permusuhannya terhadap Islam politik. Mereka juga paham bahwa payung institusi bagi Islam politik itu adalah Khilafah. Karena itu mereka terus berupaya mencegah ide khilafah itu berkembang luas. Tentu itu berangkat dari kekhawatiran mereka. Jika bergulir luas, ide khilafah itu akan cepat menjelma menjadi cita-cita dan arah perjuangan umat Islam se-dunia. Mereka berupaya mendeskripsikan Islam politik dan Khilafah sebagai sesuatu yang buruk dan jahat. Berikut ini beberapa strategi opini mereka dalam upayanya mengkriminalisasi Islam politik dan Khilafah.

 

(1). Ideologi radikal.

Sebagaimana AS, Macron bersama pemimpin Eropa juga menggunakan isu radikalisme untuk memerangi Islam politik dan Khilafah. Mereka sengaja menyebut para aktivis yang menyerukan Islam politik dan Khilafah itu sebagai penyebar ideologi radikal. Tujuannya adalah untuk memisahkan mereka dari umat Islam. Mereka tentu tidak berani mengkriminalisasi Islam secara vulgar karena akan berhadapan dengan seluruh umat Islam. Karena itu mereka membangun narasi fiktif terlebih dulu bahwa Islam politik dan Khilafah itu berada di luar ajaran mainstream Islam.

Perlu dicatat, istilah radikal hingga detik ini masih sangat kabur. Tidak jelas apa definisi dan indikatornya. Namun kemudian, istilah radikal tersebut dikonotasikan dengan sesuatu yang negative, yakni sebagai pendorong terorisme. Sebaliknya, istilah moderat, lawan dari istilah radikal, dikonotasikan sebagai sesuatu yang positif. Kemudian media dan pihak tertentu mendefinisikan sesuai keinginannya apa makna moderat itu.

Menarik apa yang ditulis oleh Noam Chomsky dalam bukunya, Pirates and Emperors, Old and New: International Terrorism in the Real World, South End Press (2003). Ilustrasi cerita Bajak Laut dan Sang Kaisar yang diangkat oleh Noam Chomsky dalam buku ini menggambarkan secara tepat mengenai kampanye perang melawan terorisme yang digencarkan negara-negara Barat. Kata Chomsky, dengan dalih menjaga keamanan dan perdamaian dari terorisme, AS justru memimpin invasi berskala besar ke berbagai wilayah di dunia. Aksi Amerika tersebut jelas merupakan terorisme internasional yang telah merenggut jutaan jiwa manusia secara zalim.

Upaya mengaitkan Islam politik dengan radikalisme dan terorisme jelas sebuah propaganda jahat. Tidak hanya orang dan organisasinya. Ajaran Islam itu sendiri dibidik melalui isu tersebut. Padahal kalau kita perhatikan, gerakan Islam politik yang memperjuangkan penegakan syariah dan khilafah itu dilakukan melalui dakwah. Sebuah proses yang bersifat edukatif dan argumentatif. Tidak ada satu pun bukti bahwa perjuangan mereka itu disertai kekerasan apalagi aksi terorisme.

 

(2). Mengancam negara.

Tuduhan bahwa Islam politik dan khilafah adalah ancaman sesungguhnya merupakan bagian dari penyesatan politik dan upaya memalingkan umat dari ancaman sebenarnya. Penyesatan ini telah menjadi agenda global dalam memerangi kelompok Islam politik yang mendakwahkan tegaknya syariah dan khilafah. Gerakan penyesatan itu juga makin gencar di negeri-negeri Muslim yang dilakukan oleh jaringan kelompok-kelompok fobia Islam.

Hakikatnya Khilafah itu merupakan entitas politik yang akan menerapkan syariah Islam secara kaffah. Melalui Khilafah inilah ideologi Islam akan eksis secara politis dan praktis. Dalam kacamata perang peradaban, tentu keberadaan Khilafah semacam itu sangat tidak diinginkan oleh Barat di bawah pimpinan AS dan sekutunya. Mereka akan menghadang setiap upaya yang dapat mengantarkan pada tegaknya Islam politik dalam institusi Khilafah. Salah satu caranya adalah melalui berbagai stigmatisasi tersebut.

Khilafah distigma anti keragaman, bersifat ekslusif, hanya untuk orang Islam dan akan membantai pemeluk agama lain. Ini jelas pernyataan dusta yang didasari kedengkian mereka terhadap Islam. Padahal faktanya, ketika umat Muslim berkuasa secara politik melalui sistem Khilafah di dunia, tidak ada pemaksaan terhadap umat lainnya untuk memeluk Islam. Umat non-Muslim tetap dilindungi untuk melaksanakan aktivitas ibadah sesuai agama mereka. Menarik apa yang dikatakan oleh Karen Armstrong: There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire (Tidak ada tradisi persekusi agama dalam imperium (Khilafah) Islam (Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, McMillan London Limited, 1991, hlm. 44).

 

(3). Memicu kekacauan.

Mereka juga membuat narasi bahwa para pengemban Islam politik yang memperjuangkan Khilafah itu akan menyebabkan suatu negara mengalami kekacauan. Mereka mencontohkan kekacauan yang terjadi di Suriah dan Irak. Padahal tumpahnya darah ratusan ribu kaum Muslim di Suriah itu justru akibat kekejaman rezim Bashar Assad yang didukung penuh oleh Barat. Kehancuran Irak juga karena keserakahan AS dan sekutunya.

Sangat jelas konflik di Suriah yang berkembang sangat kompleks. Pada awalnya itu dipicu oleh kezaliman Bashar yang tidak terkendali. Ditambah lagi adanya keterlibatan pihak negara penjajah yang saling berebut remah-remah di Suriah. Konflik itu bukan diakibatkan oleh berkembangnya ide khilafah di sana.

Sebagai tambahan, apa yang dilakukan ISIS di Suriah tidak ada kaitannya dengan Islam politik yang mendakwahkan penegakan Khilafah. Faktanya, ISIS juga telah membunuh dan memerangi para pejuang dakwah yang memperjuangkan Khilafah yang sebenarnya. Sejatinya ISIS adalah permainan negara-negara Barat untuk mendiskreditkan Islam politik dan ide khilafah.

 

Hubungan Islam dan Politik

Secara faktual Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Bahkan politik merupakan salah satu bentuk pengamalan ajaran Islam yang didasarkan pada akidah Islam. Politik Islam ditujukan untuk melaksanakan Islam di dalam negeri dan mendakwahkan Islam ke luar negeri. Karena itu politik Islam hakikatnya adalah pengurusan urusan umat berdasarkan kebenaran dan keadilan.

Akidah Islamlah yang mendorong kaum Muslim memiliki perhatian terhadap dunia, menyebarkan petunjuk dan mengatur dunia dengan hukum-hukum syariah. Inilah konsep politik yang sesungguhnya, yakni mengatur seluruh urusan manusia. Sebabnya, syariah Islam hakikatnya merupakan aturan dan hukum untuk memberikan solusi terbaik terhadap seluruh aspek kehidupan manusia.

Sebaliknya, sekularisme pada dasarnya berupaya memisahkan agama (Islam) dari kehidupan publik, yakni negara (fashl ad-din ’an ad-daulah). Ide ini sebenarnya berakar dari peradaban Barat-Kristen, yang memisahkan agama (Kristen) dari negara. Hal ini tentu tidak sesuai dengan realita syariah Islam. Sebabnya, Islam bersifat menyeluruh (syumuliyah) yang mengatur segala aspek kehidupan, termasuk negara.

Memang syariah Islam yang terkait pengaturan manusia dengan Tuhannya dan dirinya sendiri bisa dilaksanakan oleh individu. Namun, syariah yang terkait pengaturan hubungan manusia dengan sesamanya, muamalat dan ‘uqubat (sanksi hukum), sebagian besar justru harus dilaksanakan oleh negara. Tentu sebuah kesalahan besar memisahkan Islam dengan persoalan politik dan negara.

 

Penutup

Negara-negara Barat penjajah bisa saja membuat narasi fiktif seolah Islam politik itu adalah sebuah ancaman bagi dunia. Padahal faktanya imperialisme yang telah terbukti menimbulkan kerusakan di dunia itu justru akibat ulah mereka. Bandingkan dengan peradaban Islam yang selama 13 abad memayungi dunia dengan berbagai kemuliaan dan kegemilangannya.

Penyesatan opini yang mereka lakukan itu harus dihadapi oleh umat Islam melalui aktivitas dakwah untuk menjelaskan ajaran Islam. Dengan itu nantinya masyarakat akan paham bahwa semua ajaran Islam, termasuk di dalamnya khilafah, merupakan rahmat dari Allah SWT. Bukan keburukan sebagaimana yang dipropagandakan oleh mereka. Dakwah Islam bersifat fikriyah (pemikiran) dan ‘unfiyah (tanpa kekerasan). Tidak mungkin melahirkan terorisme.

Seiring waktu, kesadaran umat Muslim terhadap politik Islam akan semakin menguat. Itulah kesadaran untuk menegakkan kembali syariah Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah. Apabila kesadaran tersebut terus menguat dan meluas maka tentu itu akan menjadi mimpi buruk bagi negara-negara Barat penjajah. Sebabnya, tidak hanya sebagai pertanda berakhirnya imperialisme mereka di negeri Muslim, Khilafah juga akan meruntuhkan peradaban kapitalisme-liberalisme di dunia.

WalLahua’lam bi ash-shawab. [Dr. Muhammad K. Sadik]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

13 + thirteen =

Back to top button