Telaah Kitab

Pengaturan Interaksi Pria – Wanita

Telaah Kitab Muqaddimah ad-Dustûr kali ini membahas seputar An-Nizhâm al-Ijtima’i, yakni sistem yang mengatur interaksi pria dan wanita atau sebaliknya, hubungan yang timbul akibat interaksi keduanya serta segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan tersebut.   Pasal 112 menjelaskan kedudukan seorang wanita dalam masyarakat Islam beserta istinbâth dalilnya.  Pasal tersebut berbunyi:

اَلْأَصْلُ فِي الْمَرْأَةِ أَنَّهَا أُمٌّ وَرَبَّةُ بَيْتٍ وَهِيَ عِرْضٌ يَجِبُ أَن يُصانَ

Kedudukan asal seorang wanita adalah ibu dan pengurus urusan rumah (umm wa rabbat al-bayt). Wanita adalah kehormatan yang wajib dilindungi. 

 

Pasal ini di-istinbâth dari banyak dalil, di antaranya: Pertama, nash-nash yang mendorong kaum Muslim untuk menikahi wanita-wanita subur dan penyayang, juga hadis-hadis yang menuturkan wanita lebih berhak atas pengasuhan anak.  Nabi saw. memerintahkan untuk menikah, melarang tabattul (membujang) dengan larangan yang sangat keras:

تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Nikahilah oleh kalian, wanita yang penyayang dan banyak anak.  Sungguh aku berbangga di hadapan para nabi dengan banyaknya jumlah kalian kelak pada Hari Kiamat (HR Ahmad).

 

Ma’qil bin Yasar berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي أَصَبْتُ امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ وَجَمَالٍ وَإِنَّهَا لَا تَلِدُ أَفَأَتَزَوَّجُهَا قَالَ لَا ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ

Seorang laki-laki pernah mendatangi Nabi saw dan berkata, “Saya telah melamar seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, tetapi ia tidak (bisa) beranak.  Apakah saya mesti menikahi dia?  Nabi saw. menjawab, “Jangan.” Kemudian, laki-laki itu mendatangi beliau untuk kedua kali.  Nabi saw. tetap melarang dia (menikahi wanita itu). Lalu ia mendatangi beliau untuk ketiga kalinya.  Nabi saw. bersabda, “Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang dan banyak anak.  Sungguh aku akan berbangga-bangga di hadapan para nabi dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban dan al-Hakim men-shahîh-kannya).

 

Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa hikmah yang dituju dari pernikahan adalah anak keturunan. Rasulullah saw. melarang seorang laki-laki menikahi wanita mandul walaupun larangan itu tidak sampai derajat haram.   Sebab tidak ada qarînah pasti (jazm) yang menunjukkan keharaman menikahi wanita mandul. Di sisi lain Nabi saw. membolehkan ‘azl (senggama terputus) agar tidak terjadi kehamilan.   Hanya saja, menikahi wanita subur yang menghasilkan banyak anak keturunan lebih utama. Nabi saw. juga menetapkan hak asuh anak kepada istri selama belum menikah dengan laki-laki lain. Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash berkata:

أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي

Seorang wanita berkata kepada Nabi saw., “Ya Rasulullah, sungguh anakku ini, perutku menjadi wadah bagi dirinya, air susuku menjadi minuman untuknya dan dadaku menjadi perlindungan baginya.  Bapaknya telah menceraikanku dan hendak mengambil dia dariku.”  Rasulullah saw. bersabda kepada wanita itu, “Engkau lebih berhak atas anak itu selama engkau tidak menikah lagi.” (HR Abu Dawud).

 

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa syariah telah menempatkan wanita sebagai ibu yang selalu berdekatan dengan anak, mengurus dan mengasuhnya.  Syariah Islam juga menetapkan hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita seputar kehamilan, kelahiran dan persusuan.   Hukum-hukum ini semakin meneguhkan hukum asal seorang wanita adalah ibu bagi anak-anak, baru setelah itu istri bagi suaminya.

Kedua,  riwayat yang dikisahkan Anas bin Malik ra.  Ada seorang laki-laki yang bepergian dan melarang istrinya keluar dari rumah.  Suatu saat, ayah wanita itu jatuh sakit dan ia meminta ijin kepada Rasulullah saw. untuk menjenguk ayahnya.  Rasulullah saw. bersabda kepada wanita itu:

اِتَّقِي اللَّهَ وَلاَ تُخَالِفِي زَوْجَكِ

Bertakwalah kepada Allah dan janganlah engkau menyelisihi suamimu (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 8/130. Maktabah Syamilah).

 

Nabi saw. juga bersabda:

لَايَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ

Tidak halal bagi seorang wanita berpuasa, sedangkan suaminya ada di sisinya, kecuali dengan ijinnya (HR Muttafaq ‘alaihi).  

 

Rasulullah saw. pun bersabda:

وَمِنْ حَقِّ الزَّوْجِ عَلَى الزَّوْجَةِ أَنْ لاَ تَصُوْمَ تَطَوُّعًا إِلاَّ بِإِذْنِهِ

Di antara hak suami atas istri adalah (istri) tidak berpuasa sunnah kecuali dengan ijin suaminya (HR ath-Thabarani).

 

Islam memberikan hak kepada wanita mengunjungi orangtua yang sakit dan mengerjakan puasa sunnah.  Hanya saja, hak tersebut tidak ia miliki tatkala ia menjadi istri. Ini menunjukkan bahwa tugas utama seorang wanita adalah mendampingi suami dalam mengatur urusan-urusan rumah.  Dengan kata lain, hukum asal seorang wanita di dalam kehidupan rumah tangga adalah rabbat al-bayt (pengatur urusan rumah atau nyonya rumah).

Selain itu, Nabi saw. telah menetapkan bagi putri beliau, Fathimah ra., melayani urusan di dalam rumah, sedangkan Ali ra. untuk urusan luar rumah (HR Ibnu Abi Syaibah).

Hadis ini, meskipun sanadnya ada perawi yang lemah, diamalkan Imam Abu Hanifah dan beberapa ahli fikih ternama, seperti Abu Bakar bin Abi Syaibah yang meriwayatkan hadis ini, juga Abu Ishaq al-Juzajani. Selain itu makna hadis tersebut sejalan dengan hadis riwayat Imam Ahmad dengan sanad hasan dari ‘Ali ra.  Di dalam hadis tersebut dituturkan:

فَقَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ, وَاللَّهِ لَقَدْ سَنَوْتُ حَتَّى اشْتَكَيْتُ صَدْرِي, وَقَالَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: قَدْ طَحَنْتُ حَتَّى مَجَلَتْ يَدَايَ, وَقَدْ جَاءَكَ اللَّهُ بِسَبْيٍ وَسَعَةٍ فَأَخْدِمْنَا, فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَاللَّهِ لَا أُعْطِيكُمَا

Ali ra. berkata, “Ya Rasulullah, demi Allah, aku mengambil air dari sumur hingga dadaku sakit.  Fathimah berkata, “Saya menggiling hingga kedua tanganku melepuh.  Sungguh Allah SWT telah memberi Anda tawanan perang yang banyak, maka tugaskanlah ia membantu kami.” Rasulullah saw. bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan memberikan itu kepada kalian berdua.” (HR Ahmad).

 

Rasulullah saw. menolak permintaan Ali dan Fathimah untuk memberikan pembantu (khâdim).  Namun, Rasulullah saw. mengajarkan kalimat-kalimat yang bisa meringankan beban berat mereka berdua, yakni membaca setelah selesai shalat: tasbih 10 kali, tahmid 10 kali dan takbir 10 kali; serta membaca ketika bangun tidur, tasbih 33 kali, tahmid 33 kali dan tahmid 34 kali. Hadis ini menunjukkan bahwa wajib seorang wanita melayani dan mengerjakan tugas-tugas rumah, juga wajib seorang laki-laki (suami) bekerja di luar rumah.  Permintaan ‘Ali dan Fathimah agar mereka diberi pembantu menunjukkan betapa berat tugas mereka. Namun, Rasulullah saw. tidak mengabulkan permintaan mereka dan malah mengajarkan zikir yang bisa meringankan beban mereka.  Hal ini menerangkan bahwa kewajiban seorang istri adalah mengurus pekerjaan dan urusan dalam rumah (rabbat al-bayt).

Di dalam riwayat lain dituturkan bahwa Nabi saw. memerintahkan istri-istrinya untuk membantu beliau.  Imam Ahmad menuturkan sebuah riwayat dari ‘Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ

“Aisyah, ambilkan pisau besar.”  Kemudian beliau bersabda, “Asahlah pisau itu dengan batu.” Aisyah pun mengerjakannya.” (HR Ahmad).

 

Hadis ini, juga hadis-hadis yang senada pengertiannya, menunjukkan bahwa seandainya tugas membantu suami berbenturan dengan pekerjaan-pekerjaan seorang istri yang berhukum sunnah atau mubah, maka mendahulukan membantu suami lebih utama.

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa hukum asal seorang wanita adalah mengurusi urusan-urusan di dalam rumah (rabbat al-bayt) dan membantu suami di dalam rumah.

Ketiga, Rasulullah saw. pernah bersabda:

إِنَّ الْجَارِيَةَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ وَجْهُهَا وَيَدَاهَا إِلاَّ الْمِفْصَلِ

Sungguh perempuan yang telah haid tidak boleh tampak dia, kecuali wajah dan kedua tangannya hingga pergelangan (HR Abu Dawud).

 

Hadis ini dituturkan secara mursal dari Qatadah.  Qatadah menyaksikan seorang sahabat, yakni Anas ra.  Oleh karena itu, hadis mursal Qatadah ini bisa diamalkan.

Adanya ketentuan khusus mengenai aurat dan busana wanita menunjukkan bahwa keberadaan wanita merupakan kehormatan yang wajib dijaga.

Selain itu, syariah juga mensyariatkan ijin bagi siapa saja yang hendak memasuki rumah orang lain.  Keberadaan ijin untuk memelihara pandangan, juga untuk menjaga privasi pemilik rumah, khususnya wanita, ketika tengah mengganti pakaiannya (QS an Nur [24]: 27).

Bahkan kewajiban meminta ijin juga dikenakan kepada seseorang walaupun kepada ibunya. ‘Atha` bin Yasar berkata bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya oleh seorang laki-laki, “Ya Rasulullah, apakah aku harus meminta ijin kepada ibuku?”  Rasulullah saw. menjawab, “Iya.”  Laki-laki itu bertanya kembali, “Sungguh aku bersama dengan beliau di dalam rumah.” Beliau bersabda, “Memintalah ijin kepada beliau.”  Laki-laki itu berkata, “Saya adalah orang yang membantu beliau.”  Rasulullah saw. berkata kepada laki-laki itu, “Mintalah ijin kepada beliau.  Apakah kamu suka melihat beliau dalam keadaan telanjang?” Laki-laki itu menjawab, “Tidak.”  Beliau bersabda, “Karena itu mintalah ijinlah kepada beliau.” (HR Malik dan Abu Dawud).

Allah SWT dan Rasul-Nya juga menetapkan apa yang boleh tampak dari seorang wanita di dalam kehidupan khusus di hadapan mahram-nya dan orang-orang yang tidak memiliki hasrat kepada wanita.  Allah SWT berfirman:

وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوۡ نِسَآئِهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيۡرِ أُوْلِي ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٰتِ ٱلنِّسَآءِۖ وَلَا يَضۡرِبۡنَ بِأَرۡجُلِهِنَّ لِيُعۡلَمَ مَا يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّۚ وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٣١

Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka. Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) namtak pada diri mereka. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka dan janganlah menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Bertobatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung (QS an-Nur [24]: 31).

 

Ayat ini juga menunjukkan bahwa keberadaan seorang wanita adalah kehormatan yang wajib dijaga.

Rasulullah saw. pun telah melarang seorang laki-laki bersepi-sepi dengan wanita, kecuali wanita itu disertai mahram-nya.   Beliau juga telah melarang seorang wanita melakukan perjalanan (safar) lebih dari satu hari, kecuali disertai mahram-nya.   Syariah juga telah melarang wanita menampakkan kecantikannya (tabarruj).

Semua ini menunjukkan bahwa seorang wanita adalah kehormatan yang wajib dilindungi dan dijaga.

WalLâhu al-Musta’ân wa Huwa Waliyyu at-Tawfîq. [Gus Syam]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eleven + 12 =

Back to top button