Catatan Dakwah

Peduli dan Taat

Dalam diskusi kecil tentang syariah dan khilafah di kelas Asian Studies, Harvard University, AS, beberapa tahun lalu, ada pertanyaan menarik dari seorang mahasiswa doktoral. “Ketika AS melakukan invasi ke Afghanistan, Hizbut Tahrir Indonesia melakukan demo besar di depan Gedung Kedubes AS di Jakarta. Hal serupa dilakukan juga oleh kelompok sosialis, liberalis dan sekularis. Lantas apa yang membedakan kelompok Anda dengan kelompok mereka?”

++++

Sampai pada level pemahaman terhadap problematika, acap kita memang tidak berbeda dengan orang atau kelompok lain. Apalagi jika problem itu sudah demikian kasatmata. Siapapun, dari latar ideologi apapun, pasti bisa melihat dan merasakan adanya.

Itu juga yang saya rasakan setelah membaca tuntas buku Paradoks Indonesia yang ditulis oleh Capres Prabowo Subianto. Buku bagus dengan cetakan lux ini, berdasar banyak data dari berbagai sumber kredibel, pada intinya ingin menunjukkan bahwa negeri ini sedang dirundung dua persoalan besar: liberalisme ekonomi dan politik.

Liberalisme ekonomi membuat hasil sumberdaya ekonomi negeri ini yang demikian melimpah hanya dinikmati oleh segelintir pemilik modal. Akibatnya, tak sedikit rakyat dari negeri yang sesungguhnya kaya ini harus hidup dalam kemiskinan. Sudah lebih dari 70 tahun merdeka, tetapi kemiskinan dan kesenjangan tetap saja tak terselesaikan.

Adapun liberalisme politik membuat ruang-ruang keputusan politik dengan mudah dikuasai atau setidaknya dipengaruhi oleh oligarki pemilik modal. Akibatnya, politik dijalankan bukan lagi demi kepentingan rakyat banyak, tetapi justru untuk mengabdi kepada para pemilik modal. Dari sana pula liberalisme ekonomi makin menjadi-jadi.

Kepada mahasiswa Harvard, yang saya lupa dari negara mana berasal, saya katakan, yang membedakan antara HTI dan kelompok-kelompok lain yang juga memprotes invasi AS ke Afghanistan adalah pada tawaran solusi. Solusi yang ditawarkan Hizbut Tahrir selalu berbasis syariah. Tidak pernah keluar dari itu. Khilafah adalah juga perintah syariah. Khilafah diyakini akan mampu menyatukan umat Islam sedunia. Dengan itu umat memiliki kekuatan untuk menepis segala bentuk makar terhadap mereka sebagaimana saat ini sering terjadi.

Mengapa harus syariah? Ini soal ketaatan kepada Allah SWT. Dengan menerapkan syariah, kita bisa mewujudkan secara nyata ketaatan kita itu kepada Allah SWT. Kita sangat yakin, dengan syariah, problematika yang dihadapi negeri ini, juga dunia, akan bisa teratasi dengan baik. Sebabnya, Allah SWT memang menetapkan syariah-Nya sebagai jalan atau cara untuk kita menyelesaikan berbagai persoalan itu dengan sebaik-baiknya.

Jika concern atau keprihatinan kita pada berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat disebut sebagai kepedulian, maka dengan tawaran syariah sebagai solusi, maka ini bukan sembarang kepedulian, melainkan  kepedulian dengan ketaatan. Ya, kepedulian dan ketaatan. Inilah yang menjadi pembeda HTI dengan kelompok-kelompok sosialis, humanis dan kelompok-kelompok lain.

Mengapa kepedulian dengan ketaatan itu penting? Karena kita bukan hanya sekadar peduli. Dengan kepedulian itu kita juga ingin sekaligus beribadah dan mendapatkan  berkah. Taat, itulah esensi ibadah, dan jalan satu-satunya untuk mendapatkan berkah. Melalui sebuah hadits qudsi, Allah SWT menyatakan, “Jika Aku ditaati, Aku ridha. Ketika Aku ridha, maka Aku berkahi.”

Jadi, dengan taat, Allah SWT akan ridha, dan dengan ridha, berkah akan kita bisa raih.

Berkah menurut bahasa, sebagaimana disebut dalam Kamus al Munawwir (1997), berasal dari kata  al-barakah. Artinya, nikmat. Istilah lain dalam bahasa Arab adalah mubârak dan tabâruk. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), berkah artinya “karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia”.

Dalam syarh Shahîh Muslim, Imam an-Nawawi menyebut berkah memiliki dua arti (1): tumbuh, berkembang atau bertambah; (2) kebaikan yang berkesinambungan.

Adapun menurut istilah, sebagaimana disebut oleh Imam Al-Ghazali dalam Ensiklopedia Tasawuf, berkah berarti ziyâdah al-khair  atau bertambahnya kebaikan.

Tubuh yang berkah tidak selalu berarti sehat. Kadang sakit itulah yang justru membawa berkah sebagaimana dialami Nabi Ayub as. Sakitnya menambah taatnya kepada Allah SWT. Berkah umur tidak selalu berarti panjang. Ada yang umurnya pendek, tetapi dahsyat taatnya layaknya Musab ibn Umair. Makanan berkah itu bukan yang komposisi gizinya lengkap, tapi mampu mendorong orang menjadi lebih giat beribadah. Ilmu yang berkah itu bukan yang banyak riwayat dan catatan kakinya, tetapi yang mampu menjadikan seorang meneteskan keringat dan darahnya dalam beramal dan berjuang untuk agama Allah SWT. Tanah yang berkah bukan karena subur dan panoramanya indah.  Tanah yang tandus seperti Makkah pun bisa memberikan keberkahan yang tiada tertandingi.

Sayang sekali, dalam konteks pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kata berkah ini hampir-hampir tak lagi disebut kalau tidak boleh dikatakan sudah dilupakan sama sekali. Padahal, mengingat pentingnya berkah, semestinya ke sanalah pembangunan  negara diorientasikan. Lantas, bagaimana jalan mewujudkan negeri yang berkah?

Sama seperti yang lain. Negeri yang berkah juga hanya bisa dicapai dengan  taat kepada Allah SWT. Dalam al-Quran surah al-A’raf ayat 96 hal ini dinyatakan dengan tegas. Jika penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa kepada Allah, maka Allah akan membuka pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi.

Berkah dari langit (barakât as-samâ‘) dapat berupa udara, air hujan atau angin. Berkah dari bumi (barakât al-ardhi) berupa tetumbuhan yang menghasilkan kayu, daun dan buah. Dari dalam bumi didapat aneka mineral, minyak, gas dan lainnya yang sangat besar manfaatnya bagi kehidupan manusia. Dari lautan didapat aneka ikan dan lainnya.

Sebenarnya, founding father kita sedari awal telah menyadari bahwa kemerdekaan ini atas berkat rahmat Allah. Karena itu aneh sekali bila sekarang kata berkah ini justru dilupakan dalam pembangunan negara ini. Karena itu pula, wajar belaka bila kemudian negeri ini tak pernah surut dirundung berbagai duka dan luka.

Di akhir ayat 96 surah al-A’raf tadi, dijelaskan keadaan penduduk negeri yang ingkar kepada Allah SWT. Mereka akan terus ditimpa berbagai  ‘azab’ oleh karena perbuatan ingkar itu. Kerusakan moral, maraknya miras dan  narkoba, tingginya angka kriminalitas, korupsi, ketidakadilan, kedzaliman, kemiskinan, juga aneka bencana seperti gempa, tsunami dan lainnya, sesungguhnya adalah bagian dari ‘azab’ itu.

Jelaslah, kunci pembuka pintu berkah bagi sebuah negeri hanyalah dengan iman yang sungguh-sungguh kepada Allah SWT. Wujudnya adalah dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya dalam seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu, segala aturan semestinya dibuat berdasar prinsip taat. Aturan yang menghalalkan yang haram atau sebaliknya, mengharamkan yang halal, harus dibuang. Pemimpin juga harus terus mengajak rakyatnya untuk taat, bukan malah menghalangi ketaatan dan mempersekusi tokoh atau kelompok yang tengah bekerja mengajak rakyat untuk taat.

++++

Semangat ketaatan agar negeri mendapat berkah seperti inilah yang belum tampak dalam buku Paradoks Indonesia-nya Prabowo. Insya Allah, hal ini ingin saya sampaikan bila jumpa dengan beliau. Suatu hari nanti. Sebabnya, hanya dengan kepedulian dan ketaatan saja kita akan mendapat kebaikan. [H.M. Ismail Yusanto]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 − 1 =

Check Also
Close
Back to top button