Siyasah Dakwah

Pertarungan Pemikiran: Keniscayaan dalam Dakwah

Dakwah adalah bukti cinta yang paling mendalam kepada sesama manusia. Sebab dakwah merupakan seruan agar manusia berada di jalan Allah SWT. Kebahagiaan dan kesalamatan manusia baik di dunia dan akhirat tentu hanya bisa diraih dengan berada di jalan Allah semata, baik dari aspek keyakinan (keimanan) atau paktiknya (amal shalih). Sebaliknya, mengabaikan dakwah adalah bentuk ketidakpedulian yang sangat nyata kepada sesama manusia karena membiarkan manusia hidup tanpa petunjuk Allah SWT.

Namun demikian, dakwah tidak boleh dilakukan dengan pemaksaan (ikrâh). Dakwah harus dilakukan dengan menyampaikan Islam sejelas-jelasnya dan cara yang bijaksana, termasuk dengan keteladanan dari para aktivisnya. Saat seseorang diberi penjelasan, lalu paham, maka dia sendiri yang akan secara sukarela mengubah keyakinannya, perbuatan-perbuatannya dan berbagai peraturan yang telah diterapkan dalam kehidupan ini.

Dakwah bukan dilakukan di “ruang hampa” yang tak ada apa-apa di sana. Akan tetapi, dakwah ditujukan kepada manusia dan masyarakat. Harus disadari sejelas-jelasnya bahwa manusia dan masyarakat pada setiap zaman pasti memiliki pemikiran, keyakinan, kebiasaan, tradisi, aturan dan perasaan tertentu. Semua itu merupakan hasil interaksi yang terus-menerus dalam kurun waktu yang tidak singkat. Bahkan hal tersebut bisa jadi telah diwarisi dari nenek moyangnya selama berabad-abad. Oleh karena itu, saat masyarakat hidup tidak secara islami, lalu diseru untuk hidup berdasarkan petunjuk Allah SWT, sangat mungkin terjadi gesekan. Petunjuk Allah SWT yang didakwahkan berseberangan dengan berbagai pemikiran, keyakinan, kebiasaan, tradisi, aturan, dan perasaan yang sudah eksis di tengah-tengah masyarakat. Jadi, meski dakwah hanya disampaikan secara pemikiran dan ajakan tersebut juga ditempuh dengan cara yang sangat bijak, berbagai benturan sangat mungkin terjadi di masyarakat.

Dengan demikian adanya gesekan pemikiran atau yang lazim dinamakan pertarungan pemikiran (ash-shirâ’ al-fikri) merupakan suatu keniscayaan dalam dakwah pada zaman kapan pun, termasuk pada zaman sekarang ini. Oleh karena itu, mengharap dakwah tanpa ada pertarungan pemikiran merupakan harapan utopis.

 

Pertarungan Pemikiran Era Nabi saw.

Barangkali muncul pertanyaan dalam benak kita: Apakah pada zaman Nabi saw. dulu, beliau juga melakukan pertarungan pemikiran? Jika ya, mengapa dakwah Rasulullah saw. harus mengalami pertarungan pemikiran? Mengapa tidak dicari jalan tengah, biar dakwah tetap jalan tanpa harus terjadi pertarungan pemikiran?

Jawabannya sangat jelas. Pertarungan pemikiran merupakan sesuatu yang alami karena materi dakwah Rasulullah saw. memang bertentangan dengan sistem tidak islami yang eksis saat itu. Materi dakwah Rasulullah ibarat kutub utara magnet, sementara sistem tidak islami yang eksis ibarat kutub selatan magnet. Tidak mungkin dapat disatukan. Selain substansi yang bertolak belakang, Rasulullah menyampaikan dakwah Islam secara jujur, apa adanya dan tegas. Demikian pula sikap beliau di dalam menentang kekufuran, kedzaliman dan kejahiliahan. Rasulullah saw. tidak berdakwah dengan cara-cara munafik, berpura-pura, menjilat; tidak pula dengan cara mengutamakan jalan yang lebih selamat.

Bahkan Rasulullah saw. tidak segan-segan menyalahkan agama nenek moyang, menganggap keliru adat-istiadat yang memang keliru dan mencela tuhan-tuhan mereka. Beliau menyampaikan ayat-ayat Allah SWT dengan tegas dan berani. Padahal ayat-ayat tersebut mengumandangkan konfrontasi dengan sistem saat itu. Misalnya yang berkaitan dengan akidah:

إِنَّكُمۡ وَمَا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنتُمۡ لَهَا وَٰرِدُونَ ٩٨

Sungguh kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah umpan Neraka Jahanam (QS al-Anbiya’ [21]: 98).

 

Ayat yang berkaitan dengan masalah sosial, misalnya:

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُم بِٱلۡأُنثَىٰ ظَلَّ وَجۡهُهُۥ مُسۡوَدّٗا وَهُوَ كَظِيمٞ ٥٨ يَتَوَٰرَىٰ مِنَ ٱلۡقَوۡمِ مِن سُوٓءِ مَا بُشِّرَ بِهِۦٓۚ أَيُمۡسِكُهُۥ عَلَىٰ هُونٍ أَمۡ يَدُسُّهُۥ فِي ٱلتُّرَابِۗ أَلَا سَآءَ مَا يَحۡكُمُونَ ٥٩

Jika seorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, merah padamlah mukanya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan diri dari orang-orang banyak, karena buruknya berita yang disampaikan kepada diorinya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburnya di dalam tanah? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan  (QS an-Nahl [16]: 58-59).

 

Ayat yang berkaitan dengan masalah ekonomi, misalnya:

وَمَآ ءَاتَيۡتُم مِّن رِّبٗا لِّيَرۡبُوَاْ فِيٓ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرۡبُواْ عِندَ ٱللَّهِۖ ٣٩

Apa yang yang kalian berikan berupa riba untuk tujuan menambah harta kekayaan manusia tidaklah menambah apapun di sisi Allah (QS ar-Rum [30]: 39).

 

Masih banyak lagi ayat lainnya. Bahkan banyak ayat lain yang mengkritik dan mengoreksi adat kebiasaan, keyakinan, muamalah dan interaksi-interaksi Jahiliah yang sudah mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat. Hal itu menyebabkan penjaga sistem yang eksis marah luar biasa. Mereka mencoba mencari jalan tengah agar mereka dan seluruh sistem yang ditopang tidak mendapat kritikan-kritikan tersebut.

Mereka menawarkan jalan tengah, tetapi tawaran mereka dijawab oleh Allah dengan sangat tegas (lihat: QS al-Kafirun). Mereka menginginkan agar para pengemban dakwah bersikap lunak dan berkompromi dengan mereka. Namun, keinginan mereka ditolak mentah-mentah. Allah SWT berfirman:

فَلَا تُطِعِ ٱلۡمُكَذِّبِينَ ٨  وَدُّواْ لَوۡ تُدۡهِنُ فَيُدۡهِنُونَ ٩

Janganlah engkau mengikuti para pendusta itu. Mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak, lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu) (QS al-Qalam [68]: 8-9).

 

Utbah, salah seorang pembesar Makkah pernah mengajak negosiasi dengan Rasulullah. Utbah berkata, “Wahai anak saudaraku (maksudnya adalah Rasulullah), engkau termasuk golongan kami, dari segi kekeluargaan dan keturunan. Aku tahu kedudukanmu. Engkau telah membawa suatu urusan besar kepada kaummu. Dengan urusan itu engkau memecah-belah persatuan mereka, mencela sesembahan dan agama mereka. Engkau mengingkari siapa pun yang termasuk dalam golongan leluhur mereka. Sekarang, dengarkanlah. Aku akan menawarkan beberapa hal kepadamu dan engkau bisa memikirkan itu. Siapa tahu engkau mau menerima sebagian di antaranya.”

Demikianlah pertarungan pemikiran pada masa Rasulullah saw.

 

Tujuan Pertarungan Pemikiran

Harus diingat, dakwah adalah untuk mengubah masyarakat agar sesuai dengan Islam, bukan untuk mengubah Islam agar sesuai dengan keinginan dan selera masyara-kat. Memang mengubah masyarakat itu jauh lebih sulit dibandingkan mengikuti keinginan masyarakat. Oleh karena itu, banyak yang tidak berani menyampaikan Islam karena takut ditolak atau dimusuhi masyarakat.

Namun, jika pemikiran yang menyimpang tidak diluruskan, bahkan pemikiran tersebut dianggap benar, sampai kapan pun penyimpangan atau kesalahan tidak akan pernah diluruskan. Jika kebenaran tidak disuarakan apa adanya, selamanya kebenaran tidak akan pernah muncul di tengah-tengah masyarakat.

Dengan demikian kita harus menyampaikan Islam apa adanya. Tidak dikurangi dan tidak ditambahi. Islam disampaikan secara jujur dan jelas, bukan dengan cara kabur. Inilah yang mengantarkan pada pertarungan yang paling menguras energi, yaitu pertarungan pemikiran.

Dakwah itu memang sangat berat. Sebab, dakwah adalah ajakan ke jalan Allah SWT agar sesuai dengan petunjuk-Nya yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Disertai kabar gembira bagi yang menerima dan ancaman bagi yang menolak. Maka dari itu tidak aneh jika ada sebagian yang tak sanggup menempuh dakwah yang sebenarnya. Akibatnya, dakwah hanya berisi yang “enak-enak”, atau “menyenangkan”, atau yang “sesuai selera masyarakat” atau yang hanya berisi kabar gembira saja.

Jadi, tujuan pertarungan pemikiran adalah untuk menjelaskan kekeliruan selain Islam dan menunjukkan hanya Islam saja yang benar, yang akan membawa pada kebaikan dunia dan akhirat.

 

Konsekuensi Pertarungan Pemikiran

Setiap aktivis dakwah harus menyadari bahwa perjuangannya penuh dengan berbagai ujian dan hambatan. Kesadaran tersebut harus benar-benar menancap pada jiwa sejak awal dakwah dimulai. Rasulullah saw. sendiri sejak awal dakwahnya sudah memahami konsekuensi-konsekuensi dari perjuangan beliau nantinya.

Ketika baru saja menerima wahyu, beliau diajak oleh istri beliau, Khadijah al-Kubra untuk menemui Waraqah bin Naufal. Sesaat setelah beliau sampai di tempat Waraqah, Waraqah bertanya kepada beliau, “Apa yang pernah engkau lihat, wahai anak saudaraku?” Rasulullah kemudian menceritakan apa saja yang telah dia lihat dan dia alami. Setelah mendengar penjelasan  Rasulullah, Waraqah berkata, “Itu adalah Namus yang pernah diturunkan Allah kepada Musa. Andaikan aku masih muda saat itu. Andaikan aku masih hidup tatkala kaummu mengusirmu.” Ketika itu beliau langsung bertanya, “Benarkah mereka akan mengusirku?” jawab Waraqah, “Benar, tak seorang pun pernah membawa seperti yang engkau bawa, melainkan akan dimusuhi. Andaikan aku masih hidup pada masamu nanti, tentu aku akan membantu dengan sungguh-sungguh.” Sekali lagi, Waraqah mengatakan, “Benar, tak seorang pun pernah membawa seperti yang engkau bawa, melainkan akan dimusuhi.

Pernyataan Waraqah ini hendaknya kita renungkan secara mendalam.

Beberapa konsekuensi dari pertarungan pemikiran dalam dakwah antara lain: Pertama, Akan ditawarkan kedudukan, kekuasaan, harta dan wanita untuk melemahkan dakwah. Kadang-kadang tawaran itu dibungkus dengan sangat menarik sehingga tampak diberikan dengan tulus ikhlas dan demi kebaikan masyarakat. Ketika mereka menawarkan kedudukan, mereka meyakinkan bahwa jika kedudukan strategis itu tidak dipegang oleh orang-orang jujur seperti para pengemban dakwah, maka nanti akan diambil oleh orang-orang jahat yang tidak mengerti agama. Mereka hanya meminta agar sistem yang ada dijaga bersama-sama dalam rangka mengabdi kepada masyarakat dan bangsa. Sangat menyentuh hati, bukan?

Mereka juga kadang-kadang memberikan bantuan dengan satu acting yang sangat menyentuh jiwa. Mereka mengatakan, “Ambillah uang ini untuk membangun pondok, madrasah atau apa saja, biar kebenaran semakin cepat tersebar. Saya ikhlas dan tanpa pamrih apa-apa.”  Kalau sudah begitu, para aktivis dakwah “mati kutu”.

Kedua, berupa ancaman-ancaman kepada aktivis dakwah. Para penjaga status quo mengancam akan memenjarakan, menyiksa dan menyumbat pintu rezeki para aktivis dakwah.

Rasulullah saw. juga sering mendapat ancaman dari orang-orang jahiliah. Para pemegang sistem jahiliah pernah mendatangi Abu Thalib untuk menyampaikan ancaman kepada Rasulullah saw. “Wahai Abu Thalib, engkau adalah orang yang paling tua, terhormat dan berkedudukan di tengah-tengah kami. Kami sudah pernah memintamu untuk menghentikan keponakanmu, namun engkau tidak melakukannya. Demi Allah, kami sudah tidak sabar lagi menghadapi masalah ini. Siapa yang mengumpat bapak-bapak kami, membodoh-bodohkan harapan kami dan mencela sesembahan kami, maka hentikanlah dia, atau kami menganggapmu dalam pihak dia, hingga salah satu di antara kedua belah pihak di antara kita binasa.”

Ketiga, jika poin-poin di atas gagal, mereka akan merealisasikan ancaman-ancaman dan gertakan-gertakan yang pernah mereka sodorkan. Mereka tak segan-segan mewujudkan ancamannya tersebut. Berbagai persekusi akan mereka gunakan dalam rangka melemahkan dakwah. Mereka juga akan melakukan tekanan-tekanan opini. Mereka menggiring opini bahwa dakwah mereka adalah anti kebhinekaan, kelompok radikal, pemecah-belah persatuan, dan lain sebagainya

Yang demikian juga terjadi pada dakwah Rasulullah saw. Banyak sahabat beliau yang disiksa. Sahabat mulia Bilal bin Rabbah, misalnya. Beliau dilempar ke padang pasir dalam keadaan telanjang dada. Pada saat itu, di tengah terik matahari, padang pasir berganti rupa menjadi ‘Neraka Jahanam’ yang menyala lagi panas. Kemudian beberapa orang laki-laki mengangkat batu besar yang panas laksana bara api, lalu ditimpakan di atas tubuh dan dada hamba Allah yang mulia ini. Siksaan kejam dan biadab ini mereka ulangi setiap hari.

Keempat, jika masih gagal, mereka akan melakukan langkah berikutnya, yakni membubarkan dakwah, lalu memboikot, mengusir dan membunuh para aktivisnya.

Masih ingatkah kita dengan keluarga Ammar bin Yasir? Ammar sendiri diseret ke padang pasir yang panas membara, lalu disiksa di sana. Beliau dibenamkan tubuhnya ke dalam pasir yang panas membakar. Bapaknya, Yasir dan ibunya, Sumayyah, ditikam dengan menggunakan tombak hingga meninggal dunia. GhafaralLâhu lahum.

Mereka juga melakukan pemboikotan (embargo total) terhadap Rasulullah saw., para sahabat dan para kerabat beliau. Masa pemboikotan itu berlangsung selama tiga tahun. Mereka berharap umat Islam akan meninggalkan dakwah. Namun kenyataannya, mereka keliru besar.

Demikianlah yang dialami Rasulullah, sahabat-sahabat beliau dan orang-orang yang selalu mengikuti jalan beliau hingga akhir zaman. Dakwah memang tidak perlu mencari-cari jalan agar dipersekusi. Namun, jika berbagai persekusi datang, hendaknya kita mengambil sikap sebagaimana sikap Rasulullah saw. dan para sahabatnya yang mulia.

وَدَعۡ أَذَىٰهُمۡ وَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ وَكِيلٗا ٤٨

Janganlah kamu menghiraukan gangguan-gangguan mereka dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah sebagai Pelindung (QS al-Ahzab [33]: 48).

 

WalLâhu a’lam bi ash-shawab. [Dr. Ibnu C. Ma’ruf]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 × four =

Back to top button