Peran Wanita Di Tengah Masyarakat (Pasal 115 Kitab Muqaddimah ad-Dustûr)
Telaah Kitab kali ini membahas peran wanita di dalam kehidupan masyarakat dan negara. Sebuah topik yang terus hangat dan up to date hingga sekarang.
Sejak bergulir gagasan hak asasi manusia (HAM) oleh Barat, topik ini menjadi isu hangat, baik di kalangan kaum Muslim maupun kafir. Lahir kemudian gerakan-gerakan yang menuntut adanya kesetaraan gender. Mereka pun menuntut penghapusan semua ide, gagasan, keyakinan dan ajaran agama yang melawan “ide kesetaraan gender”.
Sebagian kaum Muslim, merespon ‘ide kesetaraan gender” dengan respon yang berlebihan. Mereka menelan mentah-mentah ide kesetaraan gender, dan menyebarkan gagasan busuk itu di tengah-tengah kaum Muslim. Semua simbol atau ajaran Islam yang melawan ide kesetaraan gender harus diberangus semacam jilbab, khimar, poligami, dan lain sebagainya. Padahal di balik ide kesetaraan gender adalah liberalisme. Liberalisme jelas bertentangan dengan akidah dan syariah Islam.
Di Dunia Islam, para penggiat kesetaraan gender sesungguhnya tidak sedang “menyetarakan kedudukan laki-laki dan wanita”. Akan tetapi, mereka hendak menghancurkan ajaran Islam yang mengatur wanita, serta relasinya dengan lawan jenis, yang dianggap sebagai sistem keyakinan dan aturan yang menindas wanita. Pasalnya, Islam dan kaum Muslim tidak pernah dan sekali-kali tidak pernah memiliki problem “bias gender”.
Di sisi lain, sebagian kaum Muslim yang menyadari bahaya pemikiran Barat, berusaha melindungi wanita-wanita Muslimah dengan gagasan dan perilaku yang justru membuat Islam semakin tersudut. Ada di antara mereka melarang wanita keluar dan beraktivitas di luar rumah secara mutlak. Mereka juga melarang wanita menduduki jabatan-jabatan pemerintahan seperti qâdhî, pegawai dan lain sebagainya.
Pasal 115 dalam Muqaddimah ad-Dustûr ini menjelaskan peran wanita dalam kehidupan masyarakat dan negara Khilafah Islam. Di dalam pasal ini dijelaskan bahwa seorang wanita boleh diangkat menjadi pegawai negara, qâdhî selain qâdhî mazhâlim, juga berhak memilih anggota-anggota Majelis Umat atau menjadi anggotanya. Wanita juga boleh melibatkan diri dalam pemilihan khalifah dan memberikan baiat kepada seorang khalifah.
Kebolehan wanita menjadi pegawai negara dan qâdhî (hakim) didasarkan fakta bahwa pegawai negara dan qâdhî (hakim) merupakan ajîr (pekerja). Adapun dalil-dalil syariat yang menjelaskan masalah ijârah (bekerja) datang dalam bentuk umum dan ada pula yang datang dalam bentuk muthlaq. Imam Ibnu Majah menuturkan sebuah hadis dari jalur Abdullah bin Umar ra. bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
أَعْطُوا الْأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
Berilah pekerja upahnya sebelum kering keringatnya (HR Ibnu Majah).
Kata al-ajîr di dalam hadis ini berbentuk umum, mencakup laki-laki maupun perempuan.
Imam al-Bukhari mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi saw. juga pernah bersabda: Allah SWT berfirman:
ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ … وَرَجُلٌ اسْتَأْجَر أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ
Ada tiga orang yang Aku akan perkarakan pada Hari Kiamat: … seorang laki-laki yang mempekerjakan seorang pekerja, lalu pekerja itu telah memenuhi (pekerjaannya), namun dia tidak memberikan upahnya (HR al-Bukhari).
Kata ajîran di dalam hadis ini berbentuk muthlaq, tanpa dibatasi laki-laki atau perempuan.
Bekerja di kantor-kantor pemerintahan dan bekerja sebagai qâdhî (hakim) tercakup dalam definisi bekerja (ijârah). Para pegawai tersebut berhak mendapatkan upah atau gaji. Atas dasar itu, seorang wanita boleh bekerja sebagai hakim, selain qâdhî mazhâlim. Sebab qâdhî mazhâlim termasuk al-hâkim (penguasa).
Adapun kebolehan wanita menjadi anggota dalam Majelis Umat didasarkan pada kenyataan bahwa aktivitas Majelis Umat adalah syura (musyawarah) dan muhâsabah (mengoreksi penguasa). Syura ditetapkan berdasarkan dalil-dalil umum yang berlaku bagi laki-laki maupun wanita. Allah SWT berfirman:
وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ …
Bermusyawarahlah kalian dengan mereka dalam urusan itu… (QS Ali Imran [3]: 159).
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:
وَأَمۡرُهُمۡ شُورَىٰ بَيۡنَهُمۡ … ٣٨
Urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka… (QS asy-Syura [42]: 38).
Adapun muhâsabah, yakni mengoreksi penguasa, didasarkan pada dalil-dalil umum yang memerintahkan amar makruf nahi munhkar kepada laki-laki maupun wanita. Muhâsabah termasuk bagian dari aktivitas amar makruf nahi mungkar. Allah SWT berfirman:
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ … ٧١
Kaum Mukmin lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka melakukan amar makruf nahi mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat serta menaati Allah dan Rasul-Nya… (QS at-Taubah [9]: 71).
Masih banyak ayat-ayat umum yang memerintahkan kaum Muslim, baik laki-laki maupun wanita, untuk melakukan amar makruf nahi mungkar.
Di dalam hadis, Nabi saw. bersabda:
سَتَكُوْنُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya. Siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tetapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka).” Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita memerangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat.” (HR Muslim).
Selain itu, riwayat-riwayat sahih juga menuturkan aktivitas muhâsabah li al-hukkâm (mengoreksi para penguasa) yang dilakukan oleh laki-laki maupun wanita. Muhâsabah yang dilakukan laki-laki ditunjukkan dalam riwayat yang menuturkan diskusi antara Abu Bakar ash-Shiddiq ra dan ‘Umar bin al-Khaththab ra., mengenai perlakuan terhadap orang-orang menolak pembayaran zakat. ‘Umar bin al-Khaththab ra. mengkritik pendapat Khalifah Abu Bakar ra. yang hendak memerangi orang-orang yang menolak pembayaran zakat. Namun, Khalifah Abu Bakar ra., tetap bersikukuh dengan pendapatnya. Apa yang dilakukan ‘Umar terhadap Khalifah Abu Bakar ra., menunjukkan bahwa seorang laki-laki berhak mengoreksi kebijakan penguasa.
Muhâsabah li al-hukkâm yang dilakukan wanita ditunjukkan dalam riwayat yang mengisahkan kritikan seorang wanita atas keputusan pembatasan mahar yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Imam al-Qurthubi dalam Tafsîr al-Qurthubi menuturkan hadits teguran seorang wanita kepada Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. dalam kasus penetapan mahar:
Khalifah Umar ra. berkhuthbah seraya berkata, “Janganlah kalian terlalu mahal dalam mahar wanita. Seandainya wanita itu dimuliakan dan bertakwa di sisi Allah SWT, maka Rasulullah saw. yang lebih utama dalam urusan wanita dibandingkan kalian tidak memberi mahar seorang wanita dari istri-istri beliau dan untuk anak-anak perempuannya lebih dari 12 ‘uqiyyah.”
Lalu seorang wanita berdiri di hadapan Khalifah Umar seraya berkata, “Ya ‘Umar, Allah SWT memberi kami, sedangkan engkau mengharamkan kami. Bukankah Allah SWT berfirman: Wa ataytum ‘ihdahunna qinthara fa lâ ta`khudzû minhu syay’an (Kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak. Karena itu kalian jangan mengambil dari harta itu sedikitpun) (QS an-Nisa` [4]: 20).
Khalifah Umar berkata, “Perempuan itu benar dan ‘Umar salah.” (Al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi, QS an Nisa`[4] : 20).
Adapun dalil yang menetapkan kebolehan wanita memilih dan membaiat seorang khalifah adalah hadis yang dituturkan dari Ummu Athiyah ra. tentang baiat para wanita. Ummu ‘Athiyah ra. berkata:
بَايَعْنَا الرَّسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْنَا [أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا] وَنَهَانَا عَنْ النِّيَاحَةِ فَقَبَضَتْ امْرَأَةٌ مِنَّا يَدَهَا
Kami membaiat Rasulullah saw. Lalu beliau membacakan kepada kami [untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun], dan beliau melarang kami dari niyâhah (meratap). Kemudian seorang wanita dari kami menarik tangannya (HR al-Bukhari).
Inilah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa wanita dibolehkan melakukan aktivitas di luar rumah dan turut serta dalam kegiatan-kegiatan politik, sesuai dengan batas-batas yang telah ditetapkan syariah Islam. [Gus Syams]