Telaah Kitab

Syuro Adalah Hak Kaum Muslim Semata dan Bukan Hak Orang Kafir

Pada Pasal 109 disebutkan syura adalah hak kaum Muslim semata, bukan hak orang kafir.  Adapun menyampaikan pendapat (ibdâ‘ al-ra’yi) adalah hak seluruh warga negara Khilafah Islamiyah, baik Muslim maupun kafir.

Dalil yang menunjukkan bahwa syura adalah hak kaum Muslim semata adalah firman Allah SWT:

فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ ـ فِي ـ ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ

Karena rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah-lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauhkan diri dari sekeliling kamu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian jika kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya (QS Ali Imran [3]: 159).

 

Di ayat lain, Allah SWT berfirman:

وَٱلَّذِينَ ٱسۡتَجَابُواْ لِرَبِّهِمۡ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمۡرُهُمۡ ـ شُورَىٰ ـ بَيۡنَهُمۡ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ

(Bagi) orang-orang yang mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sementara urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka (QS asy-Syura [42]: 38).

 

Perintah bermusyawarah pada dua ayat di atas ditujukan untuk kaum Muslim dan dilangsungkan antara kaum Muslim, tidak untuk dan melibatkan orang kafir.

Selain itu musyawarah dalam urusan-urusan kenegaraan termasuk perkara strategis dan urgen. Jika diketahui orang kafir, dikhawatirkan membuka ruang bagi mereka menimpakan madarat (bahaya) kepada negara Khilafah dan kaum Muslim. Bahaya tentu harus dihilangkan. Ini sejalan dengan kaidah ushul fikih:

الضَّرَرُ يُزَالُ

Bahaya harus dihilangkan (Lihat: Al-Hafidz al-Suyuthi, Al-Asybâh wa an-Nazhâ’ir, 1/154).

 

Membeberkan, mengungkap dan memperlihatkan kebijakan-kebijakan strategis dan urgen kepada orang kafir termasuk perbuatan dharar (berbahaya).

Rasulullah saw. biasa bermusyawarah dengan para sahabat dalam urusan-urusan kenegaraan maupun kemaslahatan kaum Muslim.  Bahkan beliau adalah orang yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya.  Abu Hurairah ra. menuturkan:

مَا رَأَيْتُ مِنَ النَّاسِ أَحَدًا أَكْثَرُ مَشُوْرَةً لِأَصْحَابِهِ مِنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Saya tidak pernah melihat seorang manusia yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya dibandingkan dengan Rasulullah saw. (Imam al-Qirwani, Al-Hidâyah ilâ Bulûgh an-Nihâyah, 2/1161).

 

Di sepanjang kepemimpinan beliau, beliau tidak pernah bermusyawarah dengan orang-orang kafir.  Di dalam sebuah riwayat yang dituturkan Abu Hurairah ra. disebutkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

اَلْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمِنٌ

Orang yang diminta bermusyawarah adalah orang yang terpercaya (HR at-Tirmidzi).

 

Imam al-Mubarakfuri menjelaskan makna hadis di atas dengan menyatakan, “Al-Mu’tamin adalah ism al-maf’ûl dari al-amnu atau al-amânah.  Maknanya, orang yang diminta (diajak) bermusyawarah adalah orang yang terpercaya dalam perkara-perkara yang ditanyakan.  Oleh karena itu, orang yang diminta bermusyawarah tidak boleh berkhianat dengan cara menyembunyikan kemaslahatannya.” (Al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwâdzi bi Syarh Jâmi’ at-Tirmidzi, 8/89. Maktabah Syamilah).

Atas dasar itu, orang-orang kafir tidak memiliki hak untuk dilibatkan dalam musyawarah.

Selain itu, musyawarah merupakan bagian dari pilar agama Islam.  Ia merupakan tonggak yang menopang eksistensi Islam dan kaum Muslim.  Jika urusan semacam ini melibatkan orang kafir, niscaya terbuka jalan bagi mereka untuk merobohkan sendi agama Islam.

Urgensitas musyawarah, khususnya bagi Khalifah, dapat disimak dalam maqâlah ulama.   Ibnu ‘Athiyah berkata:

وَالشُّوْرَى مِنْ قَوَاعِدِ الشَّرِيْعَةِ وَعَزَائِمِ اْلأَحْكَامِ, مَنْ لاَ يَسْتَشِيْرُ أَهْلَ اْلعِلْمِ وَالدِّيْنِ فَعَزْلُهُ وَاجِبٌ

Syura termasuk bagian dari pilar-pilar syariah dan kewajiban-kewajiban hukum yang berat.  Siapa saja yang tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan ahli agama, maka memakzulkan dia adalah kewajiban (Al-Qurthubi al-Malikiy, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 4/249).

 

Syaikh Wahbah Zuhaili mengatakan:

وَاْلاِسْتِشَارَةُ مَطْلُوْبَةَ فِي جَمِيْعِ شُؤُوْنِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ, أَمَّا أُمُوْرُ الدِّيْنِ فَالْقُرآنُ هُوَ اْلحُكْمُ فِيْهَا, وَأَمَّا أُمُوْرُ الدُّنْيَا فَاْلعَقْلَ وَالتَّجْرِبَةُ وَاْلحِنْكَةُ وَالْوَدُّ أَسَاسُهَا

Bermusyawarah dituntut dalam seluruh urusan dunia dan agama.  Dalam urusan-urusan agama, al-Quran merupakan hukum di dalamnya. Adapun urusan-urusan dunia maka akal, pengalaman, kearifan dan kasih sayang merupakan asasnya (Syaikh Wahbah Zuhaili, At-Tafsîr al-Wasîth, 1/255. Maktabah Syamilah).

 

Ibnu Abi Hatim menuturkan sebuah riwayat dari Qatadah, dalam menafsirkan firman Allah SWT (wa syaawirhum fi al-amr), beliau berkata, “Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam berbagai urusan. Padahal wahyu langit telah diturunkan kepada beliau saw.  Sebab, hal itu lebih baik bagi jiwa suatu kaum.  Suatu kaum, jika satu sama lain bermusyawarah, semata-semata untuk mencari ridha Allah SWT, niscaya Allah akan memberikan petunjuk-Nya kepada mereka.” (As-Suyuthi, Durr al-Mantsûr, 4/88).

Adapun ibdâ‘ al-ra’yi (penyampaian pendapat) merupakan hak seluruh warga negara Khilafah, baik Muslim maupun kafir.  Dalilnya adalah firman Allah SWT:

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا قَبۡلَكَ إِلَّا رِجَالٗا نُّوحِيٓ إِلَيۡهِمۡۖ فَسۡ‍َٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka. Karena itu bertanya kamu kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui (TQS al-Anbiya‘ [21]: 7).

 

Ahli tafsir menjelaskan bahwa frasa ahl adz-dzikr bisa diartikan Ahlul Kitab, yakni orang Yahudi dan Nasrani, atau Mukmin yang memiliki ilmu pengetahuan (‘âlim). Adapun frasa (fas’alû) berbentuk umum, mencakup orang beriman maupun orang kafir.  Kaum Mukmin boleh menanyakan sesuatu kepada orang kafir (Ahlul Kitab). Mereka juga boleh menyampaikan pendapat kepada kaum Muslim.  Ayat ini menunjukkan bahwa orang kafir tidak dilarang menjadi anggota Majelis Umat, sebatas dalam konteks menyampaikan pendapat belaka (ibdâ’ al-ra’yi).

Adapun bermusyawarah untuk memutuskan kebijakan-kebijakan penting menyangkut urusan Islam dan warga negara Khilafah, mereka tidak memiliki hak sama sekali.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hak menyampaikan pendapat (ibdâ‘ al-ra‘yi) adalah hak seluruh warga negara Khilafah, baik Muslim maupun kafir.   Cakupan ibdâ‘ al-ra’yi adalah menyampaikan keluhan masyarakat atas buruknya pelayanan negara Khilafah, atau penyimpangan yang dilakukan oleh aparat-aparat pemerintahan Khilafah.  Di dalam kitab-kitab Tarikh dituturkan mengenai laporan orang kafir atas kezaliman-kezaliman yang dilakukan oleh pejabat negara Khilafah. Sahabat ‘Amru bin ‘Ash pernah dilaporkan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. oleh seorang Yahudi atas tindakan lalimnya.  Pada era-era awal Islam hingga generasi berikutnya, para Khalifah juga mempekerjakan orang kafir untuk mengajarkan keahlian mereka kepada kaum Muslim.  Rasulullah saw. pernah meminta tawanan orang kafir Quraisy untuk mengajari kaum Muslim baca dan tulis, dan lain sebagainya.

Mereka juga dibolehkan menyampaikan pendapat dalam bidang-bidang yang mereka kuasai, yang free of value, seperti bidang matematika, kimia, fisika, kedokteran, informatika, dan lain sebagainya.  Dalam perkara-perkara yang bebas nilai (free of value), seorang Muslim dibolehkan mengadopsi, meniru, maupun mengambilnya dari non-Muslim. Contohnya, sains dan teknologi, serta semua hal yang lahir dari keduanya. Seorang Muslim boleh saja mengambil ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi yang berasal dari Barat. Seorang Muslim juga dibolehkan mempelajari dan mengaplikasikan sains dan teknologi Barat beserta produk-produknya. Seorang Muslim pun dibolehkan belajar fisika, kimia, matematika, manajemen perusahaan, cara peningkatan mutu barang, dan lain sebagainya. Dalam perkara-perkara semacam ini—yang bebas nilai—seorang Muslim dibolehkan oleh syariah untuk mengambil dan mengadopsi dari orang kafir.

Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah mengadopsi sistem pembukuan dan administrasi dari Persia. Dalam kitab Futûh al-Buldân, disebutkan bahwa Rasulullah saw. dan juga Khulafaur Rasyidin pernah mengadopsi mata uang dinar Romawi dan dirham Persia. Pada saat Perang Khandaq, Rasulullah saw juga mengadopsi strategi pertahanan bangsa Persia, setelah mendapatkan masukan dari sahabat Salman al-Farisi.

Adapun dalam perkara-perkara hukum syariah dan akidah Islam, atau hal-hal yang terkait dengan keduanya, maka orang kafir tidak memiliki hak penyampaian pendapat di dalamnya.   Alasannya, mereka adalah orang-orang yang ingkar terhadap Islam.  Bagaimana mungkin melibatkan orang-orang yang ingkar terhadap akidah dan syariah Islam dalam urusan-urusan yang terkait dengan keduanya?

Mereka juga tidak diberi hak untuk memilih calon Khalifah atau membatasi jumlah calon.  Pasalnya, kepemimpinan merupakan urusan yang amat penting dan berhubungan erat dengan eksistensi Islam dan kaum Muslim.  Kepemimpinan merupakan jalan paling efektif untuk menguasai kaum Muslim.  Jika orang kafir diberi hak untuk terlibat dalam urusan kepemimpinan negara, hal ini sama saja memberikan peluang kepada mereka untuk menguasai kaum Muslim.  Padahal Allah SWT berfirman:

وَلَن يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لِلۡكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ سَبِيلًا

Sekali-kali Allah tidak akan pernah menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin (QS an-Nisa’ [4]: 141).

 

WalLâhu a’lam.  [Gus Syams]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

thirteen + 9 =

Back to top button