Telaah Kitab

Tanah ‘Usyriyyah dan Kharajiyyah

Telaah Kitab kali mengupas Pasal 33 dari Kitab Muqaddimah ad-Dustur yang berbunyi:

الأرض العشرية هي التي أسلم أهلها عليها وأرض جزيرة العرب، والأرض الخراجية هي التي فُتحت حربا أو صلحاً ما عدا جزيرة العرب، والأرض العشرية يملك الأفراد رقبتها ومنفعتها، وأمّاالأرض الخراجية فرقبتها ملك للدولة ومنفعتها يملكها الأفراد، ويحق لكل فرد تبادل الأرض العشرية، ومنفعة الأرض الخراجية بالعقود الشرعية وتورث عنهم كسائر الأموال.

Tanah ‘usyriyyah adalah tanah yang penduduknya masuk Islam dan tanah Jazirah Arab. Tanah kharajiyyah adalah tanah yang ditaklukkan dengan peperangan atau perdamaian, kecuali tanah Jazirah Arab. Tanah ‘usyriyyah menjadi hak milik individu, baik tanahnya maupun manfaatnya. Adapun tanah kharajiyyah, tanahnya menjadi milik negara dan manfaatnya milik individu. Setiap individu berhak melakukan jual-beli tanah ‘usyriyah atau melakukan jual beli manfaat tanah kharajiyyah sesuai perjanjian yang dibolehkan syariah. Tanah tersebut juga dapat diwariskan dari para pemiliknya seperti halnya harta-harta lain.

 

Dalil yang mendasari pasal ini adalah karena tanah, dalam kedudukannya sebagai harta, dianggap sebagai ghanimah (harta rampasan perang) jika diambil melalui peperangan, sebagaimana harta-harta rampasan perang lain.  Tanah kharajiyyah, dari sisi zatnya, menjadi kepemilikan Baitul Maal, sedangkan manfaatnya diperuntukkan untuk kaum Muslim.

Jika penduduk suatu negeri masuk ke dalam Islam, tanah mereka dianggap sebagaimana harta-harta milik kaum Muslim yang lain.  Oleh karena itu, tanah seperti ini, atau yang disebut tanah ‘usriyyah, zat dan manfaatnya menjadi milik mereka, seperti halnya harta-harta lain milik mereka.

Dalil yang menunjukkan bahwa tanah merupakan harta rampasan perang (ghanimah), sebagaimana harta-harta lain, adalah sebuah riwayat yang dituturkan dari Az-Zuhri bahwa Rasulullah saw. memutuskan bagi penduduk Bahrain yang masuk Islam menjaga darah dan hartanya, kecuali tanahnya.  Tanah mereka ditetapkan sebagai fai’ bagi seluruh kaum Muslim.  Sebab, mereka sebelumnya belum masuk Islam dan mereka menolak masuk Islam (Syaikh Yahya bin Adam, Kitab al-Kharaj).

Mengapa tanah kharajiyyah tidak dibagi-bagikan kepada pasukan perang seperti halnya harta-harta rampasan perang lainnya? Alasannya, ada diskusi yang pernah terjadi antara Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. dan Zubair ra. mengenai tanah Mesir. Juga ada debat antara Khilafah Umar bin al-Khaththab ra. dan Bilal ra mengenai tanah Irak. Di dalam dua diskusi tersebut, dalil yang diketengahkan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. lebih kuat dibandingkan dalil yang dikemukakan oleh Zubair dan Bilal ra.  Pendapat Umar yang menyatakan tanah Mesir dan Irak tidak dibagi-bagikan kepada pasukan yang terlibat dalam penaklukkan, tetapi dijadikan harta fai’ bagi seluruh kaum Muslim, didukung oleh sepuluh orang kaum Muhajirin. Adapun Zubair berpendapat bahwa status tanah Mesir yang berhasil ditaklukkan oleh pasukan kaum Muslim sama seperti harta-harta bergerak yang dibagi-bagikan kepada pasukan yang ikut serta dalam penaklukkan.  ‘Amru bin al-‘Ash, selalu wali Mesir, menolak membagi-bagikan tanah Mesir kepada pasukan perang, sebelum berkirim surat kepada Khalifah Umar bin al-Khaththab ra.  Ia segera mengirim surat kepada Khalifah Umar mengenai hal itu.  Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. membalas surat ‘Amru dengan menetapkan tanah Mesir sebagai tanah milik seluruh kaum Muslim.

Bilal bin Rabbah ra. juga berpendapat, tanah Irak harus dibagi-bagikan kepada pasukan perang.  Khalifah Umar juga menolak pendapat Bilal hingga terjadi diskusi intens di antara keduanya.

Perlu diketahui, tanah-tanah tersebut ditaklukkan secara paksa dengan pedang mereka. Hal ini dapat diketahui dengan jelas dalam diskusi mereka dengan Khalifah Umar, yaitu saat mereka berkata, “Apakah engkau akan memberikan harta rampasan yang telah diberikan Allah kepada kami melalui pedang-pedang kami, kepada satu kaum yang tidak hadir dan tidak juga menyaksikan, kemudian digunakan untuk membangun kaum tersebut, dan untuk membangun rumah-rumah mereka, padahal mereka tidak hadir?”

Di dalam percakapan Umar dengan 10 orang Anshar juga tampak jelas, bahwa kharaj dan jizyah termasuk harta fai’.  Beliau berkata, “Aku telah memutuskan untuk menahan tanah rampasan perang dengan penduduknya, kemudian menetapkan kharaj atas mereka (penduduknya) dari tanah tersebut, serta jizyah untuk budak-budak mereka, dan menjadikannya sebagai harta fai’ bagi kaum Muslim, untuk tentara dan keturunannya serta untuk orang-orang yang datang setelah mereka.” (HR al-Bukhari).

Semua harta fai’ beserta harta-harta yang mengikutinya, seperti kharaj, jizyah, ‘usyur dan lain-lain merupakan harta yang boleh diambil manfaatnya oleh kaum Muslim, disimpan di Baitul Mal, dan dibelanjakan untuk mewujudkan kemaslahatan mereka. Di dalam harta tersebut terdapat hak bagi setiap Muslim, bukan hanya sekelompok kaum Muslim. Setelah menetapkan kharaj atas tanah Irak, Syam dan Mesir, Khalifah Umar ra. berkata, “Tidak seorang pun dari kaum Muslim kecuali berhak mendapatkan bagian dalam harta ini.” Lalu Umar membacakan ayat (yang artinya): Apa saja dari harta rampasan yang Allah berikan kepada Rasul-Nya dari penduduk suatu negeri…(hingga sampai): orang-orang yang datang setelah mereka (QS al-Hasyr []:10). Kemudian Umar berkata, “Harta ini akan aku ambil semuanya untuk (kepentingan) seluruh kaum Muslim, dan sungguh, jika aku menahannya, niscaya akan datang seorang penguasa dengan sarwi Himyar dan meminta bagian dari harta tersebut dengan kening tanpa mengeluarkan keringat sedikitpun.” (HR Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughni).

Itulah hukum syariah mengenai tanah, baik yang ditaklukkan dengan perang (seperti tanah Irak, Mesir dan lain sebagainya) maupun tanah yang ditaklukkan dengan damai tanpa peperangan.

Adapun tanah yang ditaklukkan dengan damai tanpa peperangan, maka harus perlu dikaji terlebih dulu.  Jika di dalam perjanjian, penduduknya mensyaratkan syarat tertentu atas tanah tersebut, yakni dengan mengeluarkan kharaj (hasil tanaman) tertentu, maka mereka diperlakukan sebagaimana butir kesepakatan yang telah disepakati.  Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw.:

إنكم لعلكم تقاتِلون قوماً فيتّقونكم باموالهم دون أنفسهم وأبنائهم ويصالحونكم على صلح، فلا تأخذوا منه فوق ذلك، فإنه لا يحل لكم

Sungguh, barangkali kalian memerangi suatu kaum, lalu mereka berlindung dari kalian dengan (menyerahkan harta mereka) agar jiwa mereka dan anak-anak mereka (tidak diperangi), dan mereka berdamai dengan kalian di atas suatu perjanjian.  Janganlah kalian mengambil lebih dari hal itu (lebih dari yang tertuang dalam perjanjian). Sungguh itu tidak halal bagi kalian.”          

 

Abu ‘Ubaid mengomentari hadis ini, “Sunnah (yang berlaku) di atas ardl al-sulhu, hendaknya tidak mengambil lebih dari hasil tanah yang telah mereka sepakati di atasnya meskipun mereka sanggup menyerahkan lebih dari yang telah disepakati. Ini berdasarkan sabda Nabi saw, ‘Falaa ta`khudzuu minhu fauqa dzalika, fa innahu laa yahillu lakum (Janganlah kalian mengambil lebih dari hal itu. Sungguh itu tidak halal bagi kalian).’” (HR Abu ‘Ubaid dalam Kitab Al-Amwal).

Meskipun di dalam isnad hadis ini ada perawi majhul, para Sahabat berpegang pada kesepakatan yang disetujui penduduknya.  Nabi saw. bersabda:

وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Kaum Muslim itu terikat dengan syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal, atau menghalalkan yang haram (HR at-Tirmidzi).

 

Adapun jika mereka tidak mensyaratkan apapun, sebagaimana yang terjadi di Baitul Maqdis, maka tanah tersebut diperlakukan sebagaimana tanah yang ditaklukkan dengan perang.  Sebab, tanah tersebut menjadi fai’, milik kaum Muslim.

Ketentuan di atas berlaku pada tanah-tanah di luar jazirah Arab.  Adapun Jazirah Arab maka seluruh tanahnya adalah tanah ’usriyyah.  Sebab, Nabi saw. menaklukkan Makkah dengan kekuatan. Hanya saja beliau membiarkan tanahnya menjadi milik penduduknya, dan tidak menarik kharaj atas tanah itu.  Padahal kedudukan kharaj atas tanah sama dengan jizyah yang dikenakan perkepala.  Namun, ketentuan ini tidak diberlakukan atas tanah Jazirah Arab, sebagaimana tidak diberlakukan pula jizyah perkepala kepada mereka.   Sebab, orang-orang musyrik tidak diberi pilihan selain masuk Islam atau diperangi. Tidak ada opsi jizyah untuk orang-orang musyrik yang berdiam di Jazirah Arab.  Allah SWT berfirman:

قُل لِّلۡمُخَلَّفِينَ مِنَ ٱلۡأَعۡرَابِ سَتُدۡعَوۡنَ إِلَىٰ قَوۡمٍ أُوْلِي بَأۡسٖ شَدِيدٖ تُقَٰتِلُونَهُمۡ أَوۡ يُسۡلِمُونَۖ فَإِن تُطِيعُواْ يُؤۡتِكُمُ ٱللَّهُ أَجۡرًا حَسَنٗاۖ وَإِن تَتَوَلَّوۡاْ كَمَا تَوَلَّيۡتُم مِّن قَبۡلُ يُعَذِّبۡكُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا  ١٦

Katakanlah kepada orang-orang Badui yang tertinggal, “Kalian akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar. Kalian akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam). Jika kalian patuhi (ajakan itu), niscaya Allah akan memberikan kepada kalian pahala yang baik dan jika kalian berpaling sebagaimana kalian telah berpaling sebelumnya, niscaya Dia akan mengazab kalian dengan azab yang pedih (QS al-Fath [48]: 16).

 

Atas dasar itu, seluruh tanah Jazirah Arab adalah tanah ‘usriyyah—bukan tanah kharajiyyah—sebagaimana tanah-tanah lain yang penduduknya masuk ke dalam Islam. [Gus Syams, bersambung]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × 5 =

Back to top button