Pewarisan Harta
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْسِمُوا الْمَالَ بَيْنَ أَهْلِ الْفَرَائِضِ عَلَى كِتَابِ الله فَمَا تَرَكَتِ الْفَرَائِضُ فَلأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
Ibnu Abbas ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Bagikanlah harta (waris) di antara para ahlul furudh berdasarkan Kitabullah. Lalu apa yang tersisa dari fara’idh (bagian ahlu al-furudh) maka itu untuk laki-laki yang paling dekat (hubungannya dengan si mayit).” (HR Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dan al-Baihaqi).
Hadis ini juga diriwayatkan dengan lafal yang lain. Ibnu Abbas ra. menuturkan, Rasulullah saw bersabda:
أَلْحِقُوْا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِىَ فَهْوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
“Berikan faridhah kepada ahlul furudh. Lalu apa yang tersisa maka itu untuk laki-laki yang paling dekat (hubungannya dengan si mayit.” (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, ad-Darimi, Ahmad dan al-Baihaqi).
Dalam hadis ini, Rasulullah saw. mengajarkan kaidah membagi harta waris. Rasul saw. menyatakan, “Aqsimû al-mâl (Bagilah harta),” yaitu harta waris. Juga dinyatakan, “Alhiqû al-farâ`idha (Berikanlah faridhah),” yakni bagian yang telah ditentukan dari harta waris. Frasa aqsimû dan alhiqû tidak lain adalah makna kepemilikan.
Kata al-farâ‘idh adalah bentuk jamak dari farîdhah dengan bentuk wazan (pola) fa’îlah. Maknanya al-mafrûdh (yang ditetapkan). Diambil dari kata al-fardhu. Artinya al-qath’u (potongan). Al-Quran menggunakan kata farîdhah untuk menyebut bagian yang ditetapkan dari harta waris untuk ahli waris tertentu. Allah SWT berfirman: nashîb[an] mafrûdh[an] (bagian yang telah ditetapkan) (TQS an-Nisa’ [4]: 7).
Al-Quran juga menyebut ketentuan-ketentuan pembagian waris sebagai farîdhah. Setelah menjelaskan ketentuan pembagian waris Allah SWT berfirman: farîdhat[an] min Allâh (QS an-Nisa’ [4]: 11).
Di dalam hadis juga seperti itu. Dari situlah kemudian para ulama menggunakan istilah al-farâ‘id (bentuk jamak dari farîdhah). Maknanya ketentuan-ketentuan pembagian waris atau ilmu waris.
Hadis di atas memberikan kaidah pembagian harta waris. Pertama: farîdhah, yakni kadar yang sudah ditetapkan dari bagian harta waris diberikan kepada ashhâb al-furûdh. Ashhâb al-furûdh adalah para ahli waris yang ditetapkan bagiannya dari harta waris. Mereka adalah ahli waris yang mendapat bagian setengah, seperempat, seperdelapan, sepertiga, seperenam, atau dua pertiga. Siapa saja yang termasuk ashhâb al-furûdh dan berapa bagiannya telah dijelaskan di dalam al-Quran dan al-Hadis.
Jika setelah diberikan kepada ashhâb al-furûdh ternyata masih ada sisa harta waris maka sisa harta waris itu li awlâ rajulin dzakarin (untuk laki-laki yang paling dekat hubungannya dengan si mayit), yakni untuk ‘ashabah yang paling dekat. Menurut Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim, kata awlâ di sini maknanya al-aqrab (yang paling dekat). Pasalnya, jika diartikan ahaqqun (yang paling berhak), niscaya tidak ada faedahnya sebab kita tidak tahu siapa yang paling berhak itu. Pasalnya, setelah diberikan kepada ashhâb al-furudh maka yang ada tinggal ahli waris yang tidak disebutkan bagiannya baik di dalam al-Quran maupun al-Hadis. Adapun kata dzakar[in] dalam rajul[in] dzakar[in] berfaedah untuk menekankan bahwa sebab pewarisan ‘ashabah dalam hal itu adalah jenis kelamin tanpa memandang usia. Dengan demikian kata dzakar[in] itu untuk menghilangkan kerancuan supaya tidak dipahami bahwa yang mendapat sisa harta setelah diberikan kepada ashhâb al-furûdh itu adalah laki-laki dewasa (rajul[un]) saja.
Jadi hadis di atas menjelaskan bahwa sisa harta waris setelah diberikan kepada ashhâb al-furûdh, maka untuk laki-laki yang paling dekat hubungannya dengan si mayit. Ini yang dinyatakan oleh manthuq hadis di atas. Lalu dari mafhum hadis di atas dapat dipahami bahwa jika tidak ada sisa, artinya harta waris terbagi habis untuk ashhâb al-furûdh, maka ‘ashabah tidak mendapat bagian. Yang dimaksudkan di sini adalah ‘ashabah bi nafsihi, bukan ‘ashabah bi al-ghayr dan ‘ashabah ma’a al-ghayr. Sebab keduanya pada asalnya adalah ashhâb al-furûdh lalu menjadi ‘ashabah karena adanya ahli waris yang meng- ‘ashabah-kannya.
‘Ashabah bi al-ghayr dijelaskan dalam firman Allah QS an-Nisa’ [4]: 11 dan 176. Adapun ‘ashabah ma’a al-ghayr adalah saudara perempuan sekandung atau saudara perempuan sebapak, jika tidak ada saudara laki-laki kandung mereka. Mereka menjadi ‘ashabah jika bersama dengan anak perempuan atau putri anak perempuan. Ibn Mas’ud pernah ditanya tentang bagian warisan anak perempuan, putri anak laki-laki dan saudara perempuan. Ia menjawab:
أَقْضِى فِيهَا بِمَا قَضَى النَّبى-صلى لله عليه وسلم- لِلاِبْنَةِ النِّصْفُ، وَلاِبْنَةِ ابْنٍ السُّدُسُ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ، وَمَا بَقِىَ فَلِلأُخْتِ
Aku memutuskan dalam perkara ini sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh Nabi saw.: untuk anak perempuan setengah, untuk putrinya anak laki-laki seperenam sebagai penyempurnaan dua pertiga dan sisanya untuk saudara perempuan.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Hadis di atas juga mengisyaratkan bahwa dengan pewarisan itu harta yang ditetapkan sebagai bagian tiap ahli waris menjadi hak, yakni milik ahli waris itu sesuai bagiannya masing-masing. Frasa aqsimû (bagikanlah) dan alhiqû (berikanlah) bermakna kepemilikan. Demikian juga di dalam al-Quran dinyatakan bagian hak waris menggunakan huruf al-lâm yang memberi faedah ihtishâsh atau milik (lihat QS an-Nisa’ [4]: 7).
Di dalam hadis-hadis tentang waris juga dinyatakan dengan redaksi yang menunjukkan kepemilikan. Contohnya Buraidah ra. bertutur:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَعَلَ لِلْجَدَّةِ السُّدُسَ، إذَا لَمْ يَكُنْ دُوْنَهَا أُمٌّ
Sesungguhnya Nabi saw. telah menetapkan untuk nenek seperenam (dari harta waris) jika di bawahnya tidak ada ibu (HR Abu Dawud dan an-Nasa’i).
Sebelumnya pewarisan itu, ahli waris tersebut tidak memiliki harta itu. Dengan adanya pewarisan maka harta waris itu menjadi milik mereka menurut ketentuan al-farâ‘idh. Karena itu pewarisan termasuk sebab kepemilikan harta bagi individu yang syar’i.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman].