Afkar

Haji: Transfer Pemikiran Dan Pembentukan Jaringan Ulama Nusantara

Berbeda dengan saat ini, ibadah haji pada masa lalu bukan sekadar ibadah ritual. Ia juga merupakan pertemuan sosial-politik dan perjalanan intelektual, terutama bagi Muslim Bilad al-Jawi (Nusantara). Selama mukim di Al-Haramain, mengingat jarak yang jauh dan waktu tempuh yang tidak sebentar, bulan haji dimanfaatkan sebaik mungkin bukan hanya untuk ibadah di kedua tempat mulia, Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi. Bulan haji juga digunakan untuk menjalin hubungan sosial-politik dengan kaum Muslim dunia, juga dengan perwakilan sang Khalifah di Kairo ataupun Istanbul, serta membentuk jaringan ulama yang kelak dikenal sebagai Ashabul Jawi atau al-Jawiyyin.

Sejak masa Rasulullah saw.  dan para Sahabat ra., Hijaz atau al-Haramain, yakni Makkkah dan Madinah, telah menjadi pusat keilmuan Islam, terutama dari sanad murid-muridnya Sayidina Abdullah bin Abbas ra. dan Sayidina Abdullah bin Umar ra. Bahkan kondisinya tetap demikian meskipun ibukota Khilafah silih berganti hingga masa Khilafah Utsmaniyah di Istanbul. Peran Syarif Makkah sebagai Wali Hijaz sangat erat kaitannya dengan aktivitas ilmiah para pelajar dari berbagai negeri. Bilad al-Jawi (Nusantara) sebagai negeri Islam menjadikan Hijaz sebagai “kiblat” Islamisasi, terkhusus di masa Kesultanan dan setelahnya. Pattani, Johor, Aceh, Minangkabau, Palembang, Cirebon, Banten, Mataram, Makassar, Banjar, Sambas, Mindanau hingga Bima dan Sumbawa adalah diantara bagian Bilad al-Jawi/Nusantara yang terhubung secara keilmuan dengan Hijaz, tempat ibadah Haji dilaksanakan.

Dalam Sajarah/Babad Banten disebutkan bahwa telah dikirim utusan asal Sumedang atas perintah Amir Banten, Pangeran Ratu ibn Maulana Muhammad (kelak dikenal sebagai Sultan Abu al-Mafakhir Abdul Qadir) kepada Syarif Mekkah Sayyid Zaid ibn Muhsin al-Hasani di Hijaz. Sepulang dari Mekkah para utusan bukan hanya menerima pemberian gelar atas sang Sultan, namun juga membawa beberapa kitab yang ditujukan untuk Sultan Abu al-Mafakhir maupun putranya, Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad dari Ulama Makkah, Imam Muhammad ibn ‘Allan ash-Shiddiqi, penulis Dalîl al-Fâlihîn Syarh Riyâdh ash-Shâlihîn. Di antara utusan yang kembali ialah Imam Haji Wangsakara, Mufti Kesultanan Banten sekaligus pendiri Kaariaan Tangerang. Hubungan ini terus berlanjut hingga era sang Cucu, Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah, dikenal sebagai Sultan Ageung Tirtayasa, yang memiliki menantu sekaligus Qadhi Kesultanan Banten, yakni Syaikh Yusuf Makassar, alumni Hijaz atau al-Haramain. Bahkan di lembaga pendidikan Kasunyatan di Banten terdapat ulama yang dikenal sebagai “Syaikh Madinah”. Bukan hanya di Banten, disebutkan pula ulama yang membantu perlawanan Jihad-nya Syaikh Yusuf Makassar, yakni Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan di Priangan. Beliau merupakan murid Syaikh Abdurrauf Singkel, Mufti Kesultanan Aceh dan Syaikh Abdussyakur Banten. Ketiganya merupakan alumni Hijaz atau al-Haramain. Di Goa Safarwadi, tempat Syaikh Abdul Muhyi membina para muridnya, terdapat simbolisasi “Jalan ke Mekkah”. Inilah jaringan Ashabul Jawi yang terbentuk dan berperan dalam mentransfer pemikiran dan hukum Islam di Nusantara, sejak Aceh hingga Makassar. Jaringan tersebut memiliki pengaruh kuat dalam politik Kesultanan maupun Jihad fi Sabilillah melawan Kafir Penjajah sekitar abad ke-17 M.

Dalam suasana panas perlawanan jihad di berbagai wilayah Bilad al-Jawi (Nusantara), terutama setelah Banten, Mataram dan Makassar “dikalahkan”, pada abad ke-18 – ke-19 M terbentuk jaringan Ashabul Jawi selanjutnya di antara tokohnya semisal: (1) Syaikh Abdusshamad al-Asyi al-Falimbani; (2) Syaikh Daud al-Fathani; (3) Syaikh Abdul Wahhab al-Buqisi; (4) Syaikh Arsyad al-Banjari al-Martapuri; (5) Syaikh Ahmad Khathib as-Sambasi; (6) Syaikh Junaid al-Batawi; (7) Syaikh Abdul Mannan at-Tarmasi; (8) Syaikh Muhammad Shahih asy-Syanjuri; (9) Syaikh Muhammad Adzra`i al-Qaruti.

Dari daftar ulama tersebut diketahui jaringan alumni al-Haramain menjadi penghubung Bilad al-Jawi (Nusantara) dari Pattani, Sumatra, Jawa, Kalimantan hingga Sulawesi. Di antara karya Syaikh Abdusshamad al-Falimbani pada masa perlawanan ialah Nashîhah al-Muslimîn wa Tadzkirah al-Mu‘minîn fî Fadhl al-Jihâd fî SabililLâh wa Karamât al-Mujâhidîn. Beliau secara khusus menulis risalah untuk para penguasa Mataram yang terpecah-belah setelah perjanjian Giyanti supaya melaksanakan jihad terhadap kafir penjajah. Bahkan disebutkan beliau syahid saat berjihad di tanah Pattani Darussalam.

Adapun Syaikh Arsyad al-Banjari merupakan mufti Kesultanan Banjar di Kalimantan. Di antara karyanya, yakni Sabîl al-Muhtadîn, menjadi panduan masyarakat dalam menerapkan syariah Islam. “Sikap keras” beliau terhadap adat-tradisi yang menyalahi Syariah sangatlah masyhur. Sanad keilmuan Syaikh Abdusshamad dan Syaikh Arsyad masih tetap terjaga hingga saat ini. Sebagaimana dicatat dalam Al-Iqd al-Farîd, tsabat-nya al-Musnid ad-Dunya asy-Syaikh Muhammad Yasin al-Fadani, ulama bernasab Sumatera, namun mukim dan wafat di Mekkah, pusat pelaksanaan ibadah haji.

Pada kurun abad ke-19 – ke-20 M, setelah “perlawanan besar” Haji Prawatasari, Kyai Abdul Hamid (Pangeran Dipanegara) dan Ki Bagus Rangin serta penghapusan Sumedanglarang, Banten dan Palembang, juga masa akhir Perang Aceh, Hijaz—sebagai  pusat ibadah, sosial, politik dan intelektual—berperan besar dalam mempertahankan islamisasi di Bilad al-Jawi (Nusantara) dari serangan Westernisasi dan Kristenisasi yang dilakukan kafir penjajah. Jaringan Ulama dan Haji terbentuk lebih luas dan tersebar ke wilayah terjauh, membangkitkan perlawanan pemikiran, politik dan militer di berbagai tempat. Hal ini membuat kafir Belanda membatasi perjalanan haji dan mengirimkan agen penyusup semisal Snouck Hurgronje ke Makkah.

Di antara sanad Hijaz atau al-Haramain yang terbentuk kemudian, tetap terjaga hingga saat ini sebagai berikut:

 

  1. Muhammad ibn Umar al-Bantani/Syaikh Nawawi dari:
  2. Ibn Zaini Dahlan al-Makki dari Utsman ibn Hasan ad-Dimyathi al-Makki dari Abdullah ibn Hijazi asy-Syarqawi al-Azhari dan Muhammad ibn Ali asy-Syinwani al-Azhari.
  3. Abdusshamad ibn Abdurrahman al-Asyi al-Falimbani dari ‘Aqib ibn Hasanuddin al-Falimbani al-Madani dari Abdullah ibn Salim al-Bashri al-Makki dari Ibn ‘Allan al-Makki dan Ibn al-‘Ala` al-Babili al-Azhari.
  4. Muhammad Shalih as-Samarani dari Ibn Zaini Dahlan al-Makki.
  5. Mahfuzh ibn Abdullah ibn Abdul Mannan at-Tarmasi dari:
  6. Ayahnya dari kakeknya dari Ibrahim al-Bajuri al-Azhari.
  7. Umar asy-Syami al-Makki dari Ibrahim al-Bajuri al-Azhari.
  8. Abu Bakar ibn Muhammad Syattha al-Makki dari Ibn Zaini Dahlan al-Makki.
  9. Muhammad Shalih ibn Umar as-Samarani dari Ibn Zaini Dahlan al-Makki.
  10. Muhammad Khalil al-Bankalani dari:
  11. Ibn Zaini Dahlan al-Makki dari Utsman ad-Dimyathi al-Makki.
  12. Nawawi al-Jawi dari Ibn Zaini Dahlan al-Makki.
  13. Ahmad al-Khathib ibn Abdul Lathif al-Mankabawi dari:
  14. Ibn Zaini Dahlan al-Makki dari Utsman ad-Dimyathi al-Makki.
  15. Nawawi al-Jawi dari Ibn Zaini Dahlan al-Makki.
  16. Mukhtar ibn ‘Atharid asy-Syanjuri al-Bughuri al-Batawi dari Zainuddin ash-Shumbawi dari Nawawi al-Jawi.

 

Dari data tersebut dipahami bahwa jaringan Ashabul Jawi sudah sampai ke Pulau Sumbawa di wilayah Timur dan sanad Makkah tersambung ke “kiblat” keilmuan dunia Islam, yakni al-Azhar asy-Syarif.

Dari sanad-sanad ini, para ulama “pergerakan” semisal KH Hasyim Asy’ari Jombang (Nahdlatul Ulama), KH Ahmad Dahlan Yogya (Muhammadiyyah), KH Tb. Ahmad Bakri Sempur (as-Salafiyyah) dan KH Rd. Abdullah ibn Nuh Bogor mengambil ilmu. Ulama yang menjadi muara utama sanad alumni Hijaz atau al-Haramain pada era ini ialah Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan al-Hasani asy-Syafi’i, Ulama Ahlul Bait, Mufti Khilafah Utsmaniyah di Hijaz. Beliau dikenal sebagai pejuang “garis depan” membela Khilafah Utsmaniyyah, terutama pada masa Khalifah Abdul Hamid II. Beliau menjelaskan dalam Al-Futûhât al-Islâmiyyah:

 

Ulama sepakat, bagi yang meniti perjalanan beberapa Daulah Islam, akan mengetahui dengan ilmu nan qath’i bahwa Daulah Utsmaniyah adalah yang terbaik dalam perjalanan beberapa Daulah Islam setelah al-Khulafa‘ ar-Rasyidun karena mereka bermazhab Ahlus Sunnah, sahih akidahnya, penolong Ahlus Sunnah, mengagungkan Sahabat, Ahlul Bait, para Ulama dan orang-orang salih. Bagi mereka tidak satu pun adanya ketergelinciran dan berbuat bid’ah. Bagi mereka terdapat futûhât yang terkenal, jihad dan perang-perang besar. Mereka menegakkan syiar-syiar Islam, terutama di al-Haramain asy-Syarifain. Bagi mereka di dalamnya terdapat sedekah dan kebaikan yang banyak. Mereka juga mengatur urusan syiar-syiar haji serta mengamankan jalan bagi para Haji dan orang yang berziarah. Wajib atas setiap Muslim untuk berdoa bagi mereka keteguhan, penguatan, bantuan, pertolongan dan taufiq terhadap apa yang dicintai Allah dan Dia ridha-Nya.

 

Di antara kitab sanad Jawi-Hijaz/al-Haramain yang senantiasa diajarkan dan disampaikan di berbagai majlis dan pesantren hingga saat ini ialah At-Taqrîb karya Imam al-Qadhi Abu Syuja’, Sullâm at-Tawfîq karya Habib Abdullah ibn al-Husain, Syarh Mukhtashar Jiddan atas al-Ajrumiyyah karya Sayyid Ibn Zaini Dahlan, Tijân ad-Durari syarh atas Risâlah-nya Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Kâsyifah as-Sajâ’ syarh atas Safînah an-Naja-nya Syaikh Salim ibn Sumair al-Hadhrami dan Maraqi al-‘Ubûdiyyah syarh atas Bidâyah al-Hidâyah-nya Hujjah al-Islam Imam al-Ghazali. Ketiganya karya Syaikh Nawawi al-Bantani dan Syarh Ta’lîm al-Muta’allim-nya Imam az-Zarnuji karya Syaikh Ibrahim ibn Isma’il. Termasuk yang tersebar melalui jaringan ini ialah Al-Hushûn al-Hamîdiyyah karya Sayyid Husain Afandi al-Jasr dan Syawâhid al-Haqq karya Syaikhuna al-Qadhi Yusuf an-Nabhani yang pernah mukim di Madinah. Di akhir kitab disebutkan:

 

Sungguh telah selesai penulis kitab ini dengan pertolongan Allah ta’ala dan taufiq-Nya melalui tangan penulisnya, al-Faqir Yusuf ibn Isma’il an-Nabhani. Semoga Allah memaafkan atas kesalahannya. Tanggal 21 Shafar al-Khair tahun 1323 H di Kota Beirut, pada masa Khilafah al-Ghazi al-A’zham al-Khaqan al-Akram Sayyidina wa Maulana Sultan Abdul Hamid II al-’Utsmani. Semoga Allah menolong beliau dan memuliakan Daulah dan Din dengannya serta menjaganya dari keburukan musuh- musuhnya semuanya. Alhamdulillah Rabb al-’Alamîn.

 

Demikianlah sanad dan atsar Ashabul Jawi, yang menjadikan ibadah haji sebagai momentum transfer pemikiran dan pembentukan jaringan ulama. Oleh karena itu, menjadi aneh jika mereka yang mengaku melanjutkan sanad Ashabul Jawi “menolak” berbagai ajaran Islam semisal muamalah, hudûd, jinzayah, jihad dan khilafah yang hingga kini masih tertulis dalam kitab-kitab Ulama Ashabul Jawi. Lalu dari siapakah mereka “mengambil ilmu”? ûâî

WalLâhu a’lam. [Ahmad Abdurrahman al-Khaddami]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fifteen + 13 =

Back to top button