Afkar

Menyikapi Perbedaan Pendapat

Sesungguhnya hukum yang di-istinbath dari dalil-dalil syariah dengan ijtihad syar’i yang shahih adalah hukum syar’i bagi pemilik ijtihad itu. Ia merupakan pendapat yang islami hingga meskipun menyalahi pendapat yang kita adopsi. Khususnya jika pendapat ini merupakan pendapat mujtahid dari para imam mazhab yang masyhur dengan keilmuan dan ketakwaan seperti ijtihad para imam empat mazhab.

Dinyatakan di buku Mafâhin Hizbi at-Tahrîr sebagai berikut:

Iman dalam Islam berbeda dengan pemahaman hukum-hukumnya dan tasyri’-nya. Sebabnya, iman dalam Islam ditetapkan melalui akal atau melalui apa yang asalnya ditetapkan dengan akal. Oleh karena itu tidak boleh dimasuki keraguan. Adapun pemahaman hukum-hukum Islam tidak bergantung kepada akal saja. Ia juga bergantung pada pengetahuan bahasa Arab, adanya kekuatan istinbath dan pengetahuan hadis-hadis yang shahih dan yang dha’if. Oleh karena itu, para pengemban dakwah harus menganggap pemahaman mereka atas hukum syariah sebagai pemahaman yang tepat yang mengandung kemungkinan keliru (fahmu shawâb yahtamilu al-khatha‘) dan menganggap pemahaman orang lain sebagai pemahaman yang keliru yang mengandung kemungkinan tepat (fahmu al-khatha‘ yahtamilu ash-shawâb). Sehingga mereka bisa menyeru untuk Islam dan hukum-hukumnya sebagai pemahaman yang tepat yang mengandung kemungkinan keliru. Oleh karena itu, tidak dibenarkan para pengemban dakwah mengatakan tentang pemahaman mereka, bahwa ini adalah pendapat Islam. Namun, mereka harus mengatakan tentang pendapat mereka, ini merupakan pendapat yang islami. Dulu para imam mazhab dari kalangan mujtahid menganggap istinbath mereka atas hukum syariah sebagai pendapat yang tepat, tetapi  mengandung kemungkinan keliru (shawâban yahtamilu al-khatha‘)… Demikian juga para pengemban dakwah. Mereka harus menilai pendapat yang mereka adopsi dengan anggapan pemahamannya sebagai pendapat yang tepat yang mengandung kemungkinan keliru.

Selanjutnya dinyatakan di booklet Dukhûl al-Mujtama’ sebagai berikut:

Kaum kafir, para penguasa dan politisi (sekular) akan berusaha memasukkan ide-ide non-islami ke masyarakat di bawah sebutan Islam sehingga mereka mengadakan ketidakstabilan di masyarakat dari sisi Islam. Kaum Muslim wajib memiliki kesadaran sempurna dari aspek ini sehingga mereka menyerang ide apapun yang menyalahi Islam sebagaimana menyerang ide-ide kufur.

Adapun ide-ide islami yang menyalahi apa yang diadopsi oleh Hizb maka Hizb menjelaskan kekeliruan pemahaman di situ, tetapi tidak menyerang bahkan menyatakan bahwa itu merupakan pendapat islami meski lemah dalilnya. Misalnya, dari kalangan mujtahid ada yang tidak memperbolehkan khalifah itu kecuali seorang Quraisy atau berasal dari Ahlul Bait. Di antara mereka ada yang berpandangan tidak boleh wanita menjadi qadhi. Di antara mereka ada yang berpandangan boleh menimbun emas dan perak jika dikeluarkan zakatnya. Di antara mereka ada yang berpandangan boleh menyewakan tanah untuk pertanian, dll. Pendapat-pendapat ini merupakan pendapat islami…Berkaitan dengan ide-ide islami ini cukup dengan menjelaskan kekeliruannya.

Jelas dari kutipan di atas bahwa Hizb tidak mengingkari pihak lain ucapan pendapat-pendapat fikhiyah yang menyalahi apa yang diadopsi oleh Hizb selama pendapat itu diistinbath dengan ijtihad syar’i yang shahih. Jika masalahnya demikian, Hizb tidak mengingkari mereka, tetapi berdiskusi dengan mereka tentang pendapat itu dan berusaha meyakinkan mereka atas kekeliruan pendapat mereka dan keshahihan pendapat Hizb berdasarkan dalil-dalil. Hizb tidak memerangi pendapat-pendapat mereka dan tidak menyerangnya hingga meskipun marjuh dan lemah dalilnya dalam pendangan Hizb …

Di antara contoh atas hal itu, ucapan bahwa wajah dan dua telapak tangan perempuan adalah aurat. Ini merupakan pendapat fiqhiyiah islami yang dikatakan oleh sebagian fukaha dan mujtahid. Kami tidak mengingkari atas orang-orang yang berpendapat demikian. Namun demikian, kami menyeru mereka pada pendapat kami bahwa wajah dan dua telapak tangan perempuan bukanlah aurat. Kami lalu menjelaskan kepada mereka dalil-dalil syar’i yang kami pandang shahih. Kami tidak menyerang pendapat-pendapat mereka ini sebab itu merupakan pendapat islami yang dikatakan oleh fukaha dan mujtahid.

Adapun terkait pendapat tentang hisab astronomis maka di situ ada lebih dari satu pendapat. Di antara mereka ada yang berpandangan bahwa hilal itu jika telah terbit di satu malam maka malam itu merupakan awal Ramadhan. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa jika hilal telah terbit pada siang hari dan tenggelam setelah tenggelamnya matahari, berapapun lamanya tenggelamnya itu, maka malam ini adalah malam awal Ramadhan. Di antara mereka ada yang berusaha mempertemukan antara hisab dan rukyat. Mareka mengatakan jika hilal terbit pada siang hari dan tenggelam setelah tenggelamnya matahari dengan jangka waktu yang memungkinkan rukyat maka malam itu merupakan awal Ramadhan. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang lamanya jangka waktu itu apakah 10, 15 atau 20 menit. Begitulah seterusnya.

Dalam hal ini saya tidak menyatakan bahwa ini merupakan ijtihad yang shahih. Pasalnya, nas-nas jelas mengaitkan puasa dan berbuka dengan rukyat (bukan hisab, red.).

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal (HR Muslim).

 

Lalu bagaimana mereka beralih dari rukyat ke hisab? Apalagi Rasul saw. menjadikan ketiadaan rukyat karena mendung, misalnya—hingga hilal itu ada di balik mendung tetapi tertutup oleh mendung sehingga tidak terlihat—sebagai alasan untuk mewajibkan penggenapan Sya’ban menjadi 30 hari (bukan dengan hisab).

فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ

Jika bulan itu tertutup mendung atas kalian maka genapkanlah 30 hari (HR Muslim).

 

Semua itu menegaskan bahwa sebab puasa dan berbuka adalah rukyat. Bukan sebab-sebab lainnya.

Oleh karena itu, saya memiliki penilaian tersendiri terhadap hisab astronomis sebagai pendapat yang di-istinbath dengan ijtihad syar’i yang shahih. Kami telah menjelaskan rukyat syar’i bahwa itu adalah mu’tamadah berdasarkan ijtihad yang shahih sesuai ushul syar’i yang shahih dengan izin Allah.

Ringkasnya, kami tidak menyerang pendapat islami manapun yang dikatakan oleh para mujtahid mu’tabar selama di-istinbath dari Islam dengan istinbath yang syar’i. Namun, kami berdiskusi dengan mereka secara baik bahwa pendapat kami adalah tepat (shawâb). Kami sebutkan dalil-dalilnya dan kami pun mendengar dari mereka.

Namun demikian, kami bersikap tegas menghadapi mereka yang ingin memasukkan pendapat-pendapat tidak islami dan menyesatkan orang dengannya, padahal pendapat itu jauh dari Islam laksana jauhnya antara barat dan timur! Dalam hal ini tidak benar bersikap lemah dalam menjelaskan kepalsuannya semisal pendapat tentang kebolehan bunga ribawi, kebolehan berpartisipasi di dalam sistem kufur dan berhukum dengan selain hukum Allah, kebolehan berdamai dan melakukan normalisasi dengan Yahudi, dll.

أَلَا سَآءَ مَا يَحۡكُمُونَ ٥٩

Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu (QS an-Nahl [16]: 59).

 

Pendapat-pendapat semacam itu yang tersebar di zaman kita sekarang tidaklah di-istinbath dengan istinbath syar’i yang shahih. Bahkan sebagiannya berbenturan dengan dalil-dalil qath’i dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Pendapat-pendapat semisal ini tidak kami nilai sebagai hukum syar’i dan pendapat islami. Kami mengingkari orang yang mengucapkannya dan mengambilnya. Kami perangi dan kami halangi eksistensinya.

WalLâh a’lam wa ahkam.

 

[Dinukil dari Jawab-Soal Syakih Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah – 25 Sya’ban 1442 H/07 April 2021 M]

 

Sumber:

http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/74751.html

https://web.facebook.com/1704790693100281/posts/2897825613796777/%D8%9F_rdc=1&_rdr

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

15 + eighteen =

Back to top button