Afkar

Ulama: Penunjuk dan Penentu Kebaikan Umat(1)

Ilmu didefinisikan dengan informasi (al-ma’lûmât) dan pengetahuan (al-ma’ârif) yang diterima manusia, baik dari makhluk atau dari Allah. Jika dari makhluk, ia menyesatkan dan menipu, sebab makhluk lemah dan membutuhkan yang lain. Jika dari Allah, ia pasti akan membawa manusia ke jalan yang benar dan lurus, serta memberi manusia petunjuk.

Islam sangat mendorong orang untuk mencari dan memiliki ilmu. Dengan ilmu, semua urusan dunia dan akhirat menjadi baik dan benar. Sebaliknya, tanpa ilmu, rusaklah tanam-tanaman dan ternak.

Allah SWT telah mengajarkan ilmu kepada Adam. Allah SWT telah menjadikan ilmu sebagai ukuran ketakwaan, kemuliaan dan keutamaan. Allah SWT mengutamakan anak-cucu Adam dengan ilmu atas seluruh isi alam semesta, memuliakan mereka atas semua makhluk-Nya yang lain, seperti jin, malaikat dan setan, meskipun kadang kekuatan jin atau setan lebih kuat daripada manusia.

Ilmu ini adalah untuk semua manusia, tidak dikhususkan untuk orang tertentu. Namun, ada berbagai perbedaan kemampuan individu. Ada manusia yang cerdas, cepat paham, kuat hapalannya, serta mampu menghubungkan hukum Islam dengan realita, dan kelebihan lainnya yang membedakan seorang individu dari lainnya. Ilmu ini telah memberikan banyak kebaikan dan andil dari kelompok ulama. Mereka tidak memonopolinya. Ilmu ini untuk semua. Karena itu, para ulama bagaikan kumpulan bintang yang memiliki berbagai sifat yang menghiasinya:

  1. Wara’, takwa dan takut kepada Allah SWT.
  2. Berani untuk mengatakan kebenaran. Bahkan di hadapan penguasa zalim sekalipun.
  3. Cinta dan kasih sayang kepada kaum Muslim serta sangat pemaaf.
  4. Bukan penjilat, oportunis dan pencari muka.
  5. Banyak mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai ketaatan, sedekah, shalat, puasa dan membaca al-Quran.
  6. Bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan mengajarkannya, membahas masalah dan dalil-dalilnya. Semua itu dilakukan demi menggali hukum syariah dari dalil-dalilnya yang rinci.

Ilmu menjadikan dunia makmur dan bangkit. Ilmu adalah amanah (kepercayaan) dan tanggung jawab besar. Gunung-gunung enggan memikulnya, namun manusia yang zalim dan bodoh menerimanya.

Ulama dengan ilmunya adalah pewaris para nabi. Mereka memiliki peran khusus menghidupkan alam semesta. Mereka memiliki tugas mulia dan tanggung jawab besar, yaitu meluruskan berbagai penyimpangan di tengah umat, baik yang dilakukan para penguasa atau yang lainnya, serta meluruskan setiap pemikiran yang salah dan keliru.

Berkat ulama, umat benar-benar bangkit pemikirannya secara menyeluruh tentang alam semesta dan kehidupan, yang membuahkan revolusi mengakar dan radikal, besar dan terus meningkat bagaikan bola salju. Semua itu kerena umat mengambil akidah Islam dan hukum-hukumnya sebagai sebuah ideologi yang diterapkan dalam kehidupan nyata, dan mengarah pada rekonstruksi terbaik bagi alam semesta.

Ulama memiliki tugas berat dan tanggung jawab besar dalam menolak dan menyangkal setiap ideologi batil dan setiap pemikiran yang lahir darinya. Hal itu dilakukan dengan menjelaskan kerusakan dan kepalsuannya. Kemudian menghancurkannya dan mecabut dari akarnya. Lalu menggantinya dengan ideologi Islam, yang melahirkan hukum-hukum Islam untuk semua aspek kehidupan.

Banyak teladan dari sikap ulama dalam meluruskan berbagai penyimpangan para penguasa dan dalam menasihati mereka. Beberapa di antara mereka adalah sebagai berikut

 

  1. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah: Memobilisasi Tentara Pada Pertempuran Shaqhab.

Pada bulan Rajab, tahun 702 H, beredar berita tentang niat Tatar untuk memasuki negeri Syam. Masyarakat gelisah dan tampak sangat ketakutan. Tatar tiba di Homs dan Baalbek. Mereka mendatangkan malapetaka di negeri ini. Mereka mulai melakukan perang psikologis (urat saraf) dengan menyebar berbagai berita yang menambah ketakutan, melemahkan tekad para pejuang, dan membuat umat putus asa. Mereka berkata: “Tidak ada kekuatan bagi kaum Muslim untuk melawan Tatar, sebab jumlah kaum Muslim sedikit, sementara jumlah Tatar banyak.

Namun, karena kuatnya pengaruh dan keyakinan para ulama, mereka mampu melawan perang psikologis yang keji ini, yang bertujuan membunuh umat sebelum berperang.

Para ulama bersikap seperti singa buas yang meraung hingga dunia melihat mereka sebagai kekuatan yang tidak tertandingi. Di antaranya, Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah rahimahulLah dalam melawan perang psikologis yang membuat kecil nyali kaum Muslim. Para ulama dapat menyakinkan sejumlah pemimpin untuk melawan Tatar, apa pun keadaannya. Para ulama mampu memberi semangat dirinya dan rakyatnya, serta meminta warga negeri Damaskus untuk tidak seorang pun yang meninggalkannya. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah rahimahulLah memiliki pengaruh terbesar dalam membangun sikap tersebut.

Beliau berusaha mengobarkan emosi dan semangat umat serta mempersiapkan mereka untuk berperang demi keselamatan. Beliau pergi menuju militer yang tiba dari Hama. Setelah bertemu mereka, beliau memberi tahu mereka tentang aliansi para pemimpin untuk melawan musuh. Mereka merespon itu. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah bersumpah kepada para pemimpin dan masyarakat, “Sungguh, kalian kali ini adalah orang-orang yang dimenangkan.”

Para pemimpin berkata kepada beliau, “Katakanlah, insya Allah.” Beliau berkata, “Insya Allah, kemenangan itu nyata bukan janji.” Dalam hal ini, beliau menafsirkan sesuatu dari Kitabullah. Di antaranya firman Allah SWT (yang artinya): “Demikianlah, siapa saja yang membalas seimbang dengan (kezaliman) penganiayaan yang pernah dia derita, kemudian dia dizalimi (lagi), pasti Allah akan menolong dirinya  (TQS al-Hajj [22]: 61).

Namun, di tengah mereka muncul syubhat (keraguan) yang dapat memperlemah kekuatan mereka dalam menghadapi tentara Tatar, yaitu pernyataan: “Bagaimana kita memerangi Tatar ini, sedangkan mereka menampakkan Islam, dan mereka bukan pemberontak kepada Imam (Khalifah). Mungkin mereka tidak taat pada waktu itu dan kemudian mereka melanggarnya?!

Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah rahimahulLah menjawab syubhat tersebut dengan mengatakan: “Mereka itu tidak ubahnya kaum Khawarij yang memberontak terhadap Ali dan Muawiyah radhiyalLahu ‘anhuma. Mereka yakin bahwa mereka lebih berhak memimpin daripada keduanya. Mereka mengklaim bahwa mereka lebih layak daripada kaum Muslim. Mereka adalah pelaku kemaksiatan dan kezaliman.”

Sikap itu begitu jelas hingga syubhat pun hilang. Syaikhul Islam menegaskan sikapnya dengan mengatakan, “Jika kalian melihat saya di sisi itu—yakni di sisi musuh—sementara di atas kepala saya ada al-Quran, maka kalian harus membunuh saya.”

Sikap tegas ini telah mendorong masyarakat untuk melawan Tatar dan meneguhkan hati mereka. Benteng Damaskus dipenuhi massa yang berdatangan hingga jalanan begitu ramai. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah rahimahulLah keluar dari Damaskus pagi hari Kamis, dari Bab al-Nasr dengan susah-payah, dan diikuti massa dalam jumlah besar untuk terlibat pertempuran melawan Tatar.

Di sinilah letak pentingnya peran para ulama ketika Khilafah Rasyidah kedua tegak. Dengan izin Allah, berbagai konspirasi akan terus berlanjut, sikap permusuhan dan konspirasi seperti ini akan terus ada. Bahkan akan lebih banyak lagi dimunculkan berbagai syubhat. Kondisi seperti ini tidak jauh beda dengan realitas kita. Jadi begitulah yang seharusnya kita lakukan!

Oleh karena itu, para ulama memiliki tanggung jawab besar sebelum dan sesudah tegaknya Khilafah, yaitu terus mendorong umat, mengobarkan semangat berperang, menyebarkan Islam, mengungkap intrik dan menguatkan akidahnya.

Wahai Ibnu Taymiyyah, Anda telah melakukan kebaikan untuk umat. Semoga Allah merahmati Anda dengan balasan yang lebih baik di akhirat. Anda telah menolak syubhat yang bisa melemahkan umat? Seandainya bukan karena ilmu Anda, niscaya umat akan jatuh ke dalam jurang berbagai syubhat.

Begitulah seharusnya para ulama kita mau menerima nasihat dan waspada terhadap berbagai syubhat, yang bisa menyebabkan umat lemah dan kalah.

 

  1. Imam Ahmad bin Hanbal: Teguh di Zaman Fitnah.

Imam Ahmad memiliki sikap yang teguh dan penuh keberanian menghadapi Khalifah al-Ma’mun, pengasingan, serta penyesatan umat terkait akidah dan kitab sucinya. Sejumlah muridnya datang kepada beliau dan berkata,: “Mengapa Anda tidak melakukan takwil, wahai Imam kami?” Beliau berkata, “Bagaimana saya melakukan takwil, sementara orang-orang di belakang pintu menulis apa yang saya katakan?”

Beliau mengalami bertahun-tahun dipenjara, dibelenggu dan disiksa. Namun, semua itu tidak menghalangi beliau dari mengingat Allah SWT.

Sikap inilah yang menghantarkan Imam Ahmad pada kedudukan tinggi. Salah seorang ulama berkata, “Saya tidak melihat seseorang anak muda dan ilmunya masih sedikit yang lebih teguh menjalankan perintah Allah daripada Muhammad bin Nuh. Saya berharap bahwa Allah menjadikan dia husnul khatimah. Suatu hari, dia berkata kepada saya, sedang saya dan dia berada di tempat yang sunyi, ‘Wahai Abu Abdillah, bertakwalah kepada Allah. Sungguh Anda tidak seperti saya. Anda adalah teladan umat. Mereka telah menyerahkan beban kepada Anda karena mereka percaya kepada Anda. Bertakwalah kepada Allah dan teguhlah dalam menjalankan perintah-Nya.’ Imam Ahmad berkata, ‘Saya kagum atas dukungan yang diberikan kepada saya. Begitu juga nasihatnya.’”

Ketika beliau dalam penjara, dan hendak dicambuk, seorang pria yang berada di penjara yang sama berkata kepada beliau, “Wahai Ahmad: Saya seorang pencuri. Setiap kali saya mencuri, saya ditangkap dan dicambuk. Namun, saya tetap dan tetap mencuri. Pukulan itu tidak berpengaruh kepada saya. Adapun Anda berada untuk melindungi akidah Anda. Hati-hatilah, jangan sampai saya justru lebih teguh daripada Anda. Bersiaplah dicambuk.”

Subhanallah, bagaimana keteguhan ini ada? Dari siapa keteguhan itu ada?! Dari seorang pencuri! Demi Allah, saya tidak mampu menahan tumpahan air mata mendapatkan pelajaran dari sikap yang agung ini.

Begitulah seharusnya para ulama mengambil pelajaran dari sikap ini. Seharusnya ulama kita memiliki karakter mulia ini. Mengatakan kebenaran dan merasakan tanggung jawab. Tidak egois dan tidak membanggakan diri demi menyelamatkan umat Islam dan negaranya.

 

  1. Imam al-Buwaithi: Aku Lebih Memilih Mati dalam Kondisi Terikat dengan Rantai-Rantai Besi Ini, Agar Suatu Hari Nanti, Orang-Orang Mengerti Bahwa Telah Mati dalam Mempertahankan Keyakinan Ini Seseorang yang Terbelenggu dalam Ikatan-Ikatan Besi.

Imam al-Buwaithi, Yusuf Abu Ya’qub bin Yahya al-Mishri, adalah seorang yang sangat alim dan pemimpin ahli fikih. Beliau merupakan murid kesayangan Imam Syafii. Beliau seorang imam dalam ilmu dan teladan dalam amal. Beliau seorang yang zuhud, rabbani dan mujtahid. Lisannya selalu basah berzikir kepada Allah SWT.

Ibnu Abi Du’ad dedengkot Mu’tazilah, melalui surat yang dia kirim, meminta gubernur Mesir untuk memaksa al-Buwaithi agar berkata bahwa al-Quran itu makhluk. Al-Buwaithi tetap menolak untuk mengatakannya. Tampaknya wali itu cerdas dengan berkata kepada beliau, “Katakan ini antara aku dan engkau saja.” Al-Buwaithi berkata, “Di belakangku ada ratusan ribu orang yang tidak mengerti arti dari semua ini. Aku tidak mau mereka tersesat karena aku.” Akhirnya al-Buwaithi dipaksa pergi meninggalkan Mesir menuju Baghdad.

Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata: Aku melihat dia  di atas keledai, digantungi besi seberat 40 ritel. Lehernya dikalungi rantai besi. Kakinya diikat. Antara kalung besi di leher dan rantai besi di kaki dihubungkan dengan rantai besi yang berat. Dalam kondisi itu dia berkata, “Allah telah mencipkan makhluknya dengan kata, “Kun”. Apabila (firman Allah “kun”) itu adalah makhluk, itu berarti mahkluk diciptakan dengan makhluk.” Bila aku masuk menemuinya (Al-Watsiq), aku pasti akan mengatakan kebenaran kepada dia, “Aku lebih memilih mati dalam kondisi terikat dengan rantai-rantai besi ini, agar suatu hari nanti, orang-orang mengerti bahwa telah mati dalam mempertahankan keyakinan ini seseorang yang terbelenggu dalam ikatan-ikatan besi.

Beliau wafat dengan tetap diikat dalam penjara di Baghdad, Irak pada tahun 231 H.

 

  1. Imam al-Azhar: Pergi ke Pasar dengan Kain Kafannya untuk Menghadapi Westernisasi Wanita

Ini adalah sikap tegas ulama yang terjadi baru-baru ini pada zaman kita. Ketika revolusi di Mesir tahun 1952. Muhammad Najib, Presiden Mesir saat itu, berdiri dengan sombong dan berkata, “Kita akan menyamakan perempuan dengan laki-laki dalam semua hak.”

Besoknya semua surat kabar memberitakan, “Presiden Muhammad Najib menyatakan dalam pidatonya bahwa dia akan menyamakan perempuan dengan laki-laki.”

Syaikh Al-Azhar saat itu adalah Muhammad al-Khidr Husain rahimahulLah, asal Tunisia. Ketika sampai kepada beliau berita itu, beliau menghubungi Presiden Muhammad Najib, dan berkata, “Anda harus mengingkari berita itu, atau besok saya akan pergi ke pasar dengan kain kafanku, dan menyerukan semua orang untuk menghadapi Anda.”

Para anggota Dewan Revolusi lalu menemui Syaikh Al-Azhar di kantornya. Mereka berkata, “Wahai Syaikh kami, ini persoalan sulit, namun kami sampaikan kepada Anda, bahwa ini semua tidak benar.”

Syaikh berkata, “Pernyataan ini tidak berguna. Saya ingin Anda mengingkarinya di depan umum, seperti ketika Anda mengumumkannya. Jika tidak, besok, saya akan pergi dengan memakai kain kafan. Demi Allah, saya tidak akan berhenti sampai saya memenangkan pertempuran ini, atau nyawaku melayang.”

Mereka berkata, “Wahai Tuan, apakah Anda akan bersikeras dengan sikap Anda ini?” Beliau berkata, “Ya.”

Lalu Muhammad Najib berdiri, mengumumkan penolakannya terhadap berita, bahwa itu salah. “Bagaimana saya dapat mengatakan perkataan ini, sedangkan ia bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.”

Perhatikan sikap agung ini. Bagaimana syaikh mempertaruhkan jiwanya menghadapi pelanggaran terhadap satu hukum syariah saja yang dimaksudkan untuk menghilangkan identitas umat dan para wanitanya. Apa yang kita pikirkan jika yang dilanggar banyak hukum Islam, tidak hanya satu. Seandainya para ulama kita sekarang menempuh cara ini, tidak menyimpang darinya, niscaya kami yakin bagaimana pernyataan Syaikh itu bergema dan berdampak besar di tengan umat, serta di tengah kerumunan massa besar yang berjalan di belakang para ulama rabbani … yang akan memimpin umat menuju perubahan.

Ingat! Yang paling ditakuti oleh negara adalah opini umum dan kerumunan massa umat. Sungguh semua itu merupakan senjata sebenarnya. Seandainya para ulama menggunakan dengan sebaik-baiknya, niscaya mereka akan memimpin umat menuju perubahan yang tepat dan benar. [Bersambung]

 

[Muhammad Bajuri–Abdurrahman al-Amiry, Al-Waie Arab, edisi: 397, Tahun XXXIV, Shafar 1441 H./Oktober 2019 M.]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 × three =

Back to top button