Ayah Bahagia dan Membahagiakan
Dalam rumah tangga, Allah SWT memberikan peran kepada suami sebagai pemimpin rumah tangga. Ia wajib memimpin, melindungi dan memberi nafkah kepada keluarganya. Adapun peran istri adalah sebagai ibu, pengatur rumah dan pendidik anak-anaknya di bawah kepemimpinan suami.1 Allah SWT berfirman:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ ٣٤
Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), juga karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (kepada wanita) (QS an-Nisa’ [4]: 34).
Dari sinilah seorang laki-laki mendapat jabatan dari Allah sebagai seorang ayah. Jabatan yang mulia ini bisa mengantarkan dia susah dan menyusahkan dunia dan akhirat. Sebaliknya jabatan ini juga mampu mengantarkan dia bahagia dan membahagia-kan dunia dan akhirat.
Agar ayah bisa bahagia dan membaha-giakan, menurut Imam al-Qudha’iy dalam Musnad asy-Syihab, kebahagiaan dari segala kebahagiaan adalah panjang usia dalam ketaatan kepada Allah. Dari sini bisa dijabarkan faktor-faktor yang mampu menjadikan ayah bahagia dan membahagiakan sebagai berikut:
Pertama, ayah senantiasa membekali diri dan memproses anak-anaknya menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa. Orangtua wajib mendidik anak-anaknya agar menjadi anak yang shalih, yaitu berkepribadian Islam yang tingkah lakunya sesuai ajaran Islam. Pendidikan sangat penting diberikan oleh orangtua kepada anaknya. Tiada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi anak, bagi kejayaan Islam dan kaum Muslim, kecuali pemberian pendidikan yang baik kepada anak. Sabda Rasulullah saw.:
مَا نَحَلَ وَالِدٌ وَلَدًا مِنْ نَحْلٍ أَفْضَلَ مِنْ أَدَبٍ حَسَنٍ
Tidak ada pemberian seorang ayah (orangtua) yang lebih utama dari pendidikan yang baik (HR at-Tirmidzi).
Orangtua yang mampu memberikan pendidikan yang baik kepada anak-naknya adalah orangtua yang mampu mengantarkan anaknya menjadi qurrata a’yun lil muttaqina imama. Allah SWT berfirman:
رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعۡيُنٖ وَٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِينَ إِمَامًا ٧٤
Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa (QS al-Furqan [25]: 74).
Imam ath-Thabari menafsirkan ayat di atas, bahwa kandungan doa dalam ayat tersebut adalah memohon kepada Allah SWT:
- Pasangan dan anak-cucu yang bekerjasama untuk taat kepada Allah. Keluarga yang berambisi kuat untuk masuk surga secara bersama-sama dan kelak berkumpul kembali di surga.
- Diri dan keluarganya menjadi pemimpin orang-orang bertakwa, menjadi teladan dan bertakwa. Ini semua tidak bisa dicapai kecuali dengan ilmu dan amal.2
Artinya, ayah/orangtua harus mencari bekal ilmu untuk memproses diri dan keluarganya sehingga apa yang ada dalam doanya teralisasi.
Memang benar, ayah sebagai pemimpin dalam pendidikan keluarga. Akan tetapi, dalam implementasinya, terutama pada anak-anak yang masih kecil, peran yang paling dominan adalah ibu. Ibulah pondasi pendidikan, madrasah utama dan pertama mereka. Karena itu, para ibu dan calon ibu, perhatikan pesan ini: “Ibu, engkaulah sekolah yang pertama dan utama bagi anak-anakmu. Di tanganmulah kebaikan umat ini. Jika engkau mempersiapkan mereka, berarti engkau mempersiapkan umat menuju umat terbaik.”
Kedua, ayah memberi nafkah dengan rezeki yang halal dan keluarga senantiasa bersyukur. Allah SWT mewajibkan laki-laki/suami sebagai penanggung jawab nafkah keluarga. Tentu seorang ayah akan bahagia kalau mendapatkan rezeki yang halal dan mampu menafkahi keluarganya dengan cara yang makruf. Rezeki ini akan membahagiakan jika keluarganya senantiasa bersyukur. Karena itu ayah wajib mendidik anak-anak dan istirinya agar pandai bersyukur. Rezeki ini harus dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan, bukan sesuai dengan keinginan, berfoya-foya dan konsumtif. Tentu agar rezeki yang diperoleh menjadi berkah dan semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Keluarga yang senantiasa bersyukur tidak menuntut dan membebani ayah untuk memenuhi nafkah yang melebihi kemampuan-nya. Tidak sedikit ayah yang dibuat sedih karena tanggungan nafkah yang berat. Bahkan mendorong dia melakukan korupsi, kecurangan dan hutang riba. Lebih dari itu ada yang stres karenanya, bahkan bunuh diri.
Dalam Islam istri dan anak diharamkan membebani ayah dalam masalah nafkah keluarga. Allah SWT berfirman:
وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةُۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوۡلُودٞ لَّهُۥ بِوَلَدِهِۦۚ ٢٣٣
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya (QS al-Baqarah [2]: 233).
Dengan demikian ayah harus mampu menjadikan keluarganya membelanjakan hartanya dengan benar dan pandai bersyukur. Ayah harus membangun ekonomi keluarga berbasis nafkah yang halal. Ayah tidak membangun ekonomi keluarga berbasis utang, rumah kredit, mobil kredit, motor kredit dsb. Apalagi membangun ekonomi keluarga berbasis utang riba. Na’udzu billahi min dzalik.
Keluarga yang pandai bersyukur inilah yang mampu mengantarkan keluarganya menjadi keluarga amat bahagia, sakinah mawaddah wa rahmah (keluarga samara). Allah SWT akan menambah rezekinya, sebagaimana janji-Nya:
لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ ٧
Sungguh jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah nikmat-Ku kepada kalian. Jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), sungguh azab-Ku sangat pedih (QS Ibrahim [14]: 7).
Ketiga, ayah bergaul dengan keluarga secara makruf. Ayah yang mampu bergaul dengan keluarga secara makruf akan mampu menciptakan keluarga yang harmonis, saling membantu dan saling membahagiakan. Pengaruhnya, istri akan melaksanakan tanggung jawabnya dengan penuh cinta, semangat, riang dan bahagia. Ayah harus mampu menciptakan pergaulan suami-istri yang harmonis, bagaikan dua sahabat. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam. Dengan itu mereka mampu mengantarkan keluarga mereka amat bahagia; sakinah mawaddah warahmah. Sekali pun kepemimpinan ada pada suami, hal itu tidak menjadikan suami otoriter dan menzalimi istri. Sebab relasi suami-istri bukan seperti komandan dengan prajurit atau terdakwa dengan polisi.3
Pada saat beban istri sangat banyak dan berat sehingga ia tidak kuat untuk mengerjakannya, maka suami berkewajiban membantu istri untuk meringankan bebannya.4 Bantuan itu baik dibantu dengan tangannya sendiri maupun dengan menggaji pembantu. Semuanya ini termasuk dalam cakupan pemberian nafkah secara makruf (QS al-Baqarah [2]: 233).
Dalam suatu riwayat disebutkan, Rasulullah saw. pernah menjahit sandalnya sendiri, membantu menggiling tepung dan membantu pekerjaan rumah yang lain. Ternyata Rasulullah saw. betul-betul hebat. Sekalipun saat itu beliau sangat sibuk karena rangkap jabatan sebagai kepala Daulah Islamiyah, juga sebagai nabi dan rasul-Nya, beliau masih menyempatkan diri setiap malam sebelum tidur, bercanda terlebih dulu dengan keluarganya.
Keempat, ayah mampu menjaga anak dan istrinya dari api neraka. Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا ٦
Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka (QS at-Tahrim [66]: 6).5
Ayah yang membahagiakan akan senantiasa ingin keluarganya bahagia dunia dan akhirat. Ayah berusaha memberi bekal agama Islam kepada keluarganya agar menjalani kehidupan sesuai syariah Islam secara kaffah. Baik urusan dunia maupun urusan akhirat. Baik saat bergaul, berekonomi, berpolitik, berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat maupun bernegara. [Dr. Rahma Qomariyah]
Catatan kaki:
1 Muhammad bin Ahmad Ismail Al Qadir, Al-Mar’ah bayna Takrim al-Islam wa Ihanah al-Jahiliyah, hlm. 125-127.
2 Imam ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, QS al-Furqan ayat 74.
3 Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, hlm. 141-146.
4 Ibid, hlm. 146.
5 Ibn Abbas, Tanwir Miqbas, II/95.