Ustadz Syamsuddin Ramadhan an-Nawi: Haram Mengubah Istilah dalam al-Quran
Pengantar:
Beberapa waktu lalu umat Islam di Tanah Air sempat dihebohkan oleh wacana seputar pengantian kata kafir dengan non-Muslim. Salah satu alasannya, sebutan kafir bisa menyakiti pemeluk non-Muslim. Hal demikian terlontar dalam forum bahtsul masa’il salah satu organisasi keagamaan besar di Indonesia.
Pertanyaannya: Haruskah kita mengganti istilah kafir dengan non-Muslim? Jika harus, apa sebetulnya urgensi penggantian istilah tersebut? Lebih jauh, bolehkah kita mengganti atau mengubah istilah-istilah baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah supaya tampak lebih soft (lembut), sebagaimana kata kafir diganti dengan non-Muslim?
Itulah di antara pertanyaan yang diajukan Redaksi kepada Ustadz Syamsuddin Ramadhan an-Nawi dalam rubrik Hiwar kali ini. Berikut hasil wawancaranya.
Ustadz, bolehkah kita mengganti kata kafir dengan non-Muslim dengan alasan khawatir menyinggung atau karena istilah kafir merupakan bentuk teologi kekerasan?
Tentu tidak boleh. Alasan tersebut tidak memiliki dasar. Kata kafir dengan berbagai bentuk musytaqat-nya disebut di dalam al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Para ulama mu’tabar pun biasa menggunakan kata kafir dalam buku-buku mereka untuk menjelaskan berbagai macam persoalan yang terkait dengan orang kafir. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengganggap perkara tersebut dilarang atau diharamkan. Tidak ada pula yang menyatakan bahwa penyebutan ghayru Muslim (non-Muslim) lebih arif dibandingkan sebutan kafir meskipun ayat yang melarang pencelaan terhadap orang kafir telah turun.
Di dalam Kitab I’anah ath-Thalibin, Imam Abu Bakar bin asy-Sayyid Mohammad Syatha al-Dimyathi asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “(Perkataannya, yakni di atas kuburan seorang Muslim), dikecualikan dari ketentuan ini kuburan orang kafir. Tidak makruh (berjalan di atas kuburan orang kafir) karena tidak adanya (kewajiban) ihtiram (memuliakan) jenazah orang kafir.”
Atas dasar itu, penyebutan kata kafir tidak berhubungan sama sekali dengan pencelaan dan bentuk kekerasan agama. Pasalnya, sebutan ini digunakan untuk mengidentifikasi orang kafir dan Muslim, juga berhubungan dengan perlakuan seorang Muslim terhadap orang kafir.
Mereka beralasan, di Indonesia tidak ada kafir harbi, dzimmi, mu’ahad. Lalu, kata mereka, sebutan yang tepat adalah ghayru Muslim atau Muslim. Bisakah begitu?
Kesimpulan tersebut nyata-nyata keliru dan menyesatkan. Kafir dzimmi adalah sebutan orang kafir yang menjadi warga negara dan mendapatkan perlindungan dari Daulah Islam. Kafir mu’ahad adalah orang kafir yang negaranya menjalin perjanjian dengan Daulah Islam. Adapun kafir harbi adalah orang kafir yang boleh diperangi karena sebab-sebab syar’i, misalnya karena tidak memiliki akad dzimmah dengan Daulah Islam, menyerang dan merampas tanah dan harta kaum Muslim, dan lain sebagainya.
Dalam kondisi ketiadaan Darul Islam, sebutan kafir untuk non-Muslim justru merupakan sebutan yang paling tepat. Alasannya, kondisi negeri ini, secara faktual sama persis dengan kondisi Nabi saw. pada saat beliau berada di Kota Makkah. Ketika Nabi saw berdakwah di Kota Makkah dan belum berhasil mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah, beliau justru dengan lantang menyebut orang-orang Quraisy dengan sebutan kafir, tanpa pernah takut dengan akibat maupun risiko yang harus beliau tanggung. Bahkan saat itu Nabi saw. dan para sahabat mencela dan mengkritik sesembahan orang-orang kafir Quraisy, aturan, adat-istiadat dan perilaku sesat mereka.
Di era ketiadaan Khilafah Islam, sebutan kafir harbi absah disematkan kepada orang kafir yang memerangi, merampas harta dan tanah, serta melanggar kehormatan kaum Muslim. Contohnya Israel serta negara-negara kafir yang melindungi eksistensi entitas Yahudi di Palestina. Mereka adalah orang kafir yang boleh diperangi. Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari dalam kitab Fath al-Mu’in menyatakan jihad adalah fardhu kifayah setiap tahun, walaupun dilaksanakan hanya sekali, jika orang-orang kafir berada di negeri mereka (jihad ofensif). Jihad menjadi fardhu ‘ain jika orang-orang kafir menyerang negeri kita.
Adapun sebutan kafir mu’ahad dan dzimmi tidak bisa disematkan kepada orang kafir sekarang. Sebab Khilafah Islam belum tegak di tengah-tengah kaum Muslim. Sebutan dzimmi dan mu’ahad jrlas tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Daulah Islam.
Apa yang sebenarnya melatarbelakangi usulan mengganti kata kafir dengan non-Muslim?
Ide penggantian kata kafir dengan non-Muslim merupakan salah satu bagian dari perang istilah yang dilancarkan kelompok sekular-liberalis. Tujuannya untuk menjauhkan ajaran dan simbol-simbol agama dari urusan politik, negara dan masyarakat. Termasuk di dalamnya sebutan dan peristilahan agama semacam kafir, jihad, khilafah, khalifah, dan lain sebagainya. Mereka pun mereduksi sebutan dan peristilahan yang berpotensi membangkitkan ruhul jihad kaum Muslim melawan dominasi dan penjajahan orang-orang kafir dan antek-anteknya. Dengan itu mereka pun berupaya melemahkan ghirah menegakkan syariah dan Khilafah.
Musuh-musuh Islam dan kaum Muslim tahu, mereka semakin lemah dan tidak percaya diri saat kaum Muslim membombardir mereka dengan sebutan kafir, jihad, khilafah dan syariah. Sebaliknya, mereka semakin kuat tatkala kaum Muslim mulai bersikap lunak, akomodatif dan toleran dengan keyakinan dan sistem hidup mereka. Pilkada DKI membuktikan. Tatkala kaum Muslim mengumandangkan perang istilah “haram memilih pemimpin kafir”, maka calon gubernur kafir tumbang dalam kekalahan.
Adakah contoh-contoh lain dari perang istilah itu?
Contohnya banyak. Sebelum Khilafah Utsmani runtuh, Inggris menyebut Turki ‘Utsmani dengan sebutan “The Sick Man (Pria Yang Sakit)”. Selain untuk melenyapkan wibawa Kekhilafahan Islam, julukan itu juga ditujukan untuk menghancurkan kepercayaan kaum Muslim terhadap sistem pemerintahan Khilafah serta kemampuan syariah Islam dalam mengatur urusan politik dan negara. Akibatnya, ketika Khilafah diruntuhkan oleh Inggris melalui anteknya, Kemal, nyaris tidak ada reaksi berarti dari kaum Muslim.
Begitu pula untuk menanamkan ide nasionalisme, cikal-bakal pemecah-belah persatuan kaum Muslim, mereka menyebut Turki Ustmani dengan sebutan tirani bangsa Arab, kolot, tidak modern dan ketinggalan zaman. Sebaliknya, nasionalisme dan Negara-bangsa ditasbihkan sebagai ide pembebas penindasan.
Pada saat kaum Muslim mulai menyadari kewajibannya mendirikan Khilafah dan menerapkan syariah Islam, dimunculkan istilah-istilah yang menyesatkan, misalnya, Khilafah utopis dan nostalgia sejarah. Muncul pula istilah presiden sama dengan Khalifah, dan lain sebagainya.
Siapa sebetulnya yang getol menyuarakan perang istilah?
Mereka adalah orang-orang kafir dan antek-anteknya dari kalangan penguasa boneka, ulama salatin serta kelompok-kelompok yang kepentingan-kepentingannya terancam saat Khilafah dan syariah berdiri tegak atas ijin Allah SWT.
Sebenarnya target mereka dengan isu ini apa, Ustadz?
Targetnya: Pertama, melanggengkan sistem demokrasi-sekular; memperkuat posisi penguasa yang loyal terhadap kepentingan negara-negara kafir; membangun ketokohan ulama dan tokoh sekuler-liberal; membendung perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah serta semua ide yang mengancam eksistensi penjajahan negara imperialis atas Dunia Islam.
Kedua, mengubah mainset kaum Muslim agar toleran dengan ide-ide kufur semacam demokrasi, sekularisme, nasionalisme, pluralisme dan liberalisme.
Ketiga, memberangus atau mereduksi ajaran-ajaran Islam yang membahayakan eksistensi negara-negara kafir imperialis dan kroni-kroninya, semacam ajaran jihad, Khilafah, wala‘ wa al-bara‘, dan lain sebagainya.
Lalu apa bahaya perang istilah ini bagi umat Islam, Ustadz?
Pertama, merusak pemahaman umat terhadap agama Islam, akidah maupun syariah.
Kedua, menyesatkan kaum Muslim dari pemahaman Islam yang benar dan lurus.
Ketiga, melanggengkan penjajahan dan perampokan negara-negara kafir imperialis atas kekayaan negeri-negeri kaum Muslim.
Jika demikian bagaimana mendudukkan istilah di dalam Islam?
Pertama: Semua peristilahan yang menyangkut urusan akidah dan syariah, juga cara memahami makna lafal/istilah yang terkandung di dalam al-Quran dan Sunnah, wajib merujuk pada lisan al-‘Arab serta riwayat-riwayat yang sahih. Yang dimaksud lisan al-‘Arab di sini adalah bahasa Arab fasih yang digunakan orang Arab sebelum rusaknya bahasa Arab, yakni orang Arab pedalaman yang hidup hingga kurun keempat Hijrah. Setelah kurun tersebut, bahasa Arab mengalami kerusakan. Atas dasar itu, bahasa Arab yang absah digunakan untuk memahami lafal al-Quran dan as-Sunnah adalah bahasa Arab yang dinukil sebelum kurun keempat Hijrah, serta riwayat dari Nabi saw. atas peristilahan tertentu.
Kedua, suatu istilah adakalanya digunakan dalam konteks bahasa, ‘urf, dan syar’i. Jika sebuah lafal memiliki makna syar’i, maka pemaknaannya mesti dipahami pertama kali dalam konteks syar’i, lalu ‘urfi, dan baru kemudian lughawi. Kata kafir, misalnya, memiliki makna syar’i, yakni orang yang memeluk agama selain Islam. Orang kafir ada dua macam, musyrik dan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani). Tatkala kata kafir diucapkan, makna yang terlintas pertama kali di dalam benak seorang Muslim adalah orang yang memeluk agama selain Islam meskipun kata kafir, dalam konteks bahasa, bisa bermakna orang yang mengingkari nikmat. Karena itu sebutan kafir—secara syar’i—tidak boleh disematkan kepada pemeluk agama Islam yang mengingkari nikmat. Begitu pula kata Muslim, selain memiliki makna bahasa, ia juga memiliki makna syar’i, yakni orang yang memeluk agama Islam. Secara syar’i, orang musyrik dan Ahlul Kitab tidak boleh disebut Muslim mekipun mereka cinta keselamatan dan kedamaian.
Ketiga, kata-kata dalam bahasa Arab, yang kemudian digunakan untuk membuat berbagai macam peristilahan, ada kalanya berlaku umum untuk seluruh kalangan, ada kalanya hanya berlaku pada kalangan tertentu. Kata kafir dengan makna orang yang memeluk agama selain Islam, baik musyrik maupun Ahlul Kitab, merupakan istilah umum yang berlaku di semua kalangan. Koruptor, pencuri, perampok yang beragama Islam tidak boleh disebut kafir. Kata khalifah yang bermakna Amirul Mukminin yang mengganti Amirul Mukminin sebelumnya berlaku umum untuk semua kalangan. Istilah-istilah seperti ini tidak boleh dipalingkan ke makna lain, kecuali dengan penjelasan.
Namun, ada istilah-istilah yang memiliki makna tertentu, sesuai dengan kalangan penggunanya. Misalnya, kata marfu’ menurut kalangan ulama nahwu, adalah semua kata yang berharakat dhammah. Menurut ulama ahli hadis, marfu’ bermakna sebuah hadis yang sanadnya bersambung hingga Rasulullah saw.
Kata-kata yang memiliki makna syar’i dan berlaku umum untuk seluruh kalangan tidak boleh dialihkan pada makna lain, kecuali dengan menyertakan penjelasan. Kata shalat, misalnya, memiliki makna syar’i, yakni ibadah ritual yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Makna seperti ini tidak boleh dipalingkan ke makna lain, diartikan doa, misalnya, kecuali dengan menyertakan penjelasan. Ini ditujukan agar pendengar tidak keliru, salah paham dan tersesat.
Keempat, istilah-istilah asing yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam tidak boleh dipakai dalam peristilahan islami. Demikian jika kita merujuk pada firman Allah SWT QS al-Baqarah ayat 104. Dalam ayat ini Allah SWT melarang kaum Muslim menggunakan kata ra’ina karena kata ini di-tawriyyah-kan kaum Yahudi dengan makna ru’unah (bebal, dungu, bodoh) untuk melecehkan Nabi saw. Tawriyyah adalah mengatakan sesuatu yang lahiriahnya bertentangan dengan apa yang dimaksudkan. Sejak saat itu, kaum Muslim tidak lagi menggunakan kata ra’ina,. Mereka mengganti kata itu dengan kata unzhurna. Padahal secara bahasa kedua kata ini memiliki makna yang sama.
Wajh al-istidlal ayat di atas adalah, seorang Muslim dilarang mengadopsi kata atau istilah asing yang maknanya bertentangan dengan akidah dan syariah Islam; atau bisa dijadikan sarana untuk melecehkan kesucian Dinul Islam seperti kata demokrasi, pluralisme, liberalisme, sekularisme, dan lain sebagainya. Sebab, makna yang terkandung dalam kata atau istilah ini jelas-jelas bertentangan dengan akidah Islam.
Oleh karena itu, seorang Muslim haram menyatakan demokrasi Islam, nasionalisme Islam dan lain sebagainya.
Adapun kata atau istilah asing yang memiliki makna umum dan tidak bertentangan dengan Islam tidak dilarang untuk diadopsi, seperti kata konstitusi, yurisprudensi, undang-undang, dan lain sebagainya. []