Baiti Jannati

Mendidik Anak Di Tengah Arus Moderasi Agama

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ  ٢٠٨

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara menyeluruh. Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (QS al-Baqarah [2]: 208).

 

Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan menyatakan, “Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya yang Mukmin dan mempercayai Rasul-Nya, untuk mengambil seluruh ikatan dan syariah Islam, mengerjakan seluruh perintah-Nya serta meninggalkan seluruh larangan-Nya, sesuai kemampan mereka.” (Tafsiir Ibnu Katsiir, I/247).

Karena itulah kita juga harus mendidik anak agar berislam kâffah sebagai bagian dari menjalankan perintah Allah SWT.  Namun, hari ini banyak sekali tantangan mendidik anak berislam secara kâffah. Salah satunya  adalah menguatnya arus pemikiran moderat yang terus menarasikan bahwa berislam secara kâffah adalah  cara beragama yang salah,  berlebihan (ekstrem) dan berpotensi memunculkan konflik dan permusuhan.

Pemikiran Islam moderat ini  telah merobohkan  segala sesuatu yang sudah kita tanam dan bangun pada anak.  Ketika kita menanamkan bahwa hanya Islam satu satunya agama yang benar,  pemikiran moderat justru mengajarkan bahwa semua agama benar.  Ketika kita mengajarkan pakaian syar’i dan  membatasi pergaulan dengan lawan jenis,  pemikiran moderat mengajarkan sebaliknya. Tak penting pakaian syar’i itu. Tak perlu juga berlebihan membatasi pergaulan. Yang penting adalah pakaian  sopan dan menjaga adab.  Demikian kata mereka. Bahkan ketika kita mengajarkan bahwa Islam adalah wahyu Allah SWT, pemikiran moderat menghancurkannya  dengan menganggap bahwa Islam hanyalah sebatas agama Arab.

Parahnya, pemikiran moderat tersebut sangat massif diaruskan melalui program moderasi beragama. Masuk ke dalam kurikulum Pendidikan sejak anak usia dini hingga perguruan tinggi.  Tak ada yang mampu menolaknya karena ini adalah program Pemerintah.

Lalu bagaimana seharusnya sikap kita sebagai orangtua?  Jelas, kita harus terus mendidik anak berislam secara kâffah dan berusaha melawan arus moderasi tersebut, betapapun sulitnya itu.  Bagaimana caranya?

Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Pertama: Menanamkan keimanan yang kokoh pada anak. Membangun keyakinan bahwa Islam bukan agama dan budaya Arab, melainkan agama yang berasal dari wahyu Allah. Islam adalah satu satunya agama yang benar. Satu satunya agama yang diridhoi Allah.  Allah SWT berfirman:

إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ ١٩

Sungguh agama (yang diridhai) oleh Allah hanyalah Islam (QS Ali Imran [3]: 19).

 

Kita perlu memastikan anak memegang kuat keyakinan tersebut. Karena itu kita perlu mencarikan sekolah dan  lingkungan yang mampu bersama dengan kita dalam membangun keyakinan tersbut. Ketika belum mendapatkannya, tentu orangtua  harus bekerja lebih keras untuk memastikan anak memegang erat keyakinan tsb. Ketika goyah maka kita harus segera menguatkannya.

Apalagi   untuk anak-anak yang sudah besar. Mereka relatif  lebih ‘sulit’ diarahkan  karena tidak lagi menjadikan orang tuanya sebagai satu-satunya rujukan dalam berpikir dan berpendapat. Mereka menerima informasi dari banyak sumber, termasuk dari media sosial. Karena itu kita perlu mengarahkan anak agar mampu menyeleksi berbagai macam informasi tersebut dengan menggunakan standar Islam.

Kita bisa lihat, betapa banyak informasi  hari ini yang menggiring anak-anak kita untuk berpikir bahwa berpindah agama adalah hal yang biasa. Bukan sebuah hal yang tabu. Apalagi sebuah keburukan. Alasannya, kata mereka, karena semua agama benar.  Tanpa disadari, akhirnya anak anak  kita  merasa ’biasa saja’  menyikapi orang yang berpindah agama. Tidak menghujat dan mencela mereka. Padahal jelas itu salah.

Untuk itulah kita perlu banyak sharing dan  berdiskusi dengan mereka sehingga kita tahu  apa yang mereka pahami tentang Islam. Ketika ada yang salah maka kita harus bersegera meluruskannya.

Kedua: Membangun pemahaman bahwa taat kepada Allah adalah harga mati. Taat harus kâffah, yaitu pada semua syariah, bukan hanya pada sebagian syariah (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 85, 208). Ketaatan inilah yang akan menentukan bagaimana akhir kehidupan kita di akhirat kelak; apakah berakhir dengan bahagia berada di jannahNya atau menderita berada di nerakaNya.

Di sinilah pentingnya membangun mindset anak: Kepada siapa seharusnya ia taat?  Mana yang akan ia pilih ketika dihadapkan pada dua pilihan: Taat pada manusia, sementara maksiat kepada Allah, sehingga mendatangkan murka Allah? Ataukah taat kepada Allah, sementara menentang pendapat manusia, sehingga menimbulkan murka manusia? Tentu yang kedua yang kita pilih.

Konsep ketaatan  ini adalah bekal yang sangat penting bagi anak saat mereka berinteraksi dengan orang lain, baik di sekolah maupun di tempat lainnya.  Saat ini, sering pemahaman Islam kâffah dibenturkan dengan konsep ketaatan. Ada opini yang menggiring umat agar lebih taat pada aturan negara daripada aturan agama (syariah).  Bahkan ada anggapan taat pada syariah Allah secara kâffah hanya boleh dilakukan ketika aturan negara membolehkan.

Tentu ini cara berpikir yang salah. Anak harus dijauhan dari cara berpikir yang salah seperti ini. Mereka harus diarahkan pada cara berpikir yang benar, yakni bahwa aturan Islam  (syariah)  yang harus diutamakan daripada aturan apapun, bahkan termasuk aturan negara. Mengapa demikian? Tentu karena Allah yang memerintahkan demikian. Allah menghendaki kita tunduk pada hukum-Nya saja. Hukum Allah adalah sumber dari segala sumber hukum. Allah SWT berfirman:

إِنِ ٱلۡحُكۡمُ إِلَّا لِلَّهِۖ يَقُصُّ ٱلۡحَقَّۖ وَهُوَ خَيۡرُ ٱلۡفَٰصِلِينَ  ٥٧

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik (QS al-An’am [6]: 57).

 

Ketiga: Memahamkan  anak bahwa  berislam secara kâffah adalah  cara beragama yang benar. Tentu  karena memang seperti itulah yang diperintahkan Allah SWT. Berislam secara kâffah tak akan memunculkan konflik dan permusuhan, melainkan  justru akan membawa kebaikan, rahmat dan keberkahan dari Allah SWT.

Sebaliknya, berislam secara moderat adalah cara beragama yang salah dan bertentangan dengan Islam yang shahih. Islam moderat hakikatnya adalah Islam ala Barat. Ia didesain untuk menjauhkan umat dari ajaran Islam, juga agar  umat bersedia mengkompromikan Islam dengan pemikiran kufur seperti demokrasi, hak asasi  manusia (HAM), kesetaraan gender dll.

Tentu penanaman ini akan menghadapi hambatan.  Salah satunya menimpa anak-anak yang sedang berusaha untuk berislam secara kâffah.  Di sekolah, bisa jadi mereka akan dianggap sebagai murid radikal, intoleran, atau arogan hanya gara-gara menyampaikan dakwah Islam kâffah di tengah-tengah temannya. Identitas Muslim—seperti kerudung yang panjang dan lebar, baju jilbab yang juga panjang dan longgar—akan sangat mungkin menjadi bahan ejekan, dianggap eksklusif, dan  dianggap cara berpakaian yang tak sesuai dengan budaya Indonesia. Tak jarang, anak-anak akan merasa lelah, tak sanggup menanggung beban ejekan dan cemoohan sebagai  konsekuensi berislam kâffah. Di sinilah peran orangtua diperlukan untuk menguatkan mereka.

Karena itulah kita harus  benar-benar mengokohkan iman mereka, membekali dengan  tsaqâfah Islam yang cukup, sekaligus mendorong mereka berdakwah menyampaikan kebenaran Islam sekalipun itu pahit.

Semoga itu semua menjadi bekal yang cukup agar saat kita tak bersama mereka. Mereka mampu istiqamah berislam secara kâffah dan mampu membentengi diri bahkan melawan arus moderasi beragama yang kencang menerpa.

 

Khatimah

Demikianlah sebagian dari apa apa yang bisa kita upayakan untuk mendidik anak berislam secara kâffah di tengah arus moderasi yang menguat. Tentu ayah dan bunda, juga semua anggota keluarga lainnya, harus sepakat terlebih dulu dalam proses pendidikan ini.  Jangan sampai apa yang kita ajarkan berbeda bahkan berseberangan  dengan apa yang diajarkan anggota keluarga lainnya.

Tak kalah penting, kita harus terus-menerus mendoakan anak-anak kita. Mengangkat tangan, menengadahkan kepala, bermunajat terutama di sepertiga malam terakhir, meminta kepada Allah SWT: Semoga Allah SWT senantiasa melindungi dan menjaga mereka; menjadikan mereka berpegang teguh pada ajaran Islam; juga menjadikan mereka sebagai  bagian dari perjuangan penegakan Islam kâffah. Aamiin.

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Wiwing Noeraini]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twenty − nine =

Back to top button