Baiti Jannati

Mendidik Anak Mengelola Keuangan

Uang dalam sistem kapitalis sering dianggap sebagai hal utama yang harus dikejar.  Bahkan tidak sedikit orangtua yang menjadikan tujuan akhir dari pendidikan anaknya adalah bisa mencari uang.  Karena itu saat mereka mengajari anak tentang pengelolaan uang, mereka hanya sekadar mengajarkan tentang apa yang bisa didapat dengan uang. Ataupun jika ada pendidikan mengelola uang sedari kecil, sebagaimana berbagai tips yang diberikan para pakar keuangan, sandarannya juga kapitalis. Pendidikan tersebut diarahkan bagaimana anak bisa mendapat manfaat materi dari uang, misalnya, dengan menabung atau melakukan investasi berbasis bunga.

Islam memiliki pandangan yang berbeda terhadap harta.  Islam telah mengatur bagaimana cara memiliki harta dan bagaimana pengelolaannya.  Memang benar anak yang belum mukallaf, dalam Islam, tidak diberi hak untuk mengelola harta, termasuk uang. Namun demikian, memberi dia sedikit harta agar dia belajar mengelolanya adalah bagian dari pendidikan kehidupan yang harus dia kuasa.

Karena itu untuk mendidik anak mengelola uang, harus memperhatikan syariah Islam dalamn pengaturannya.

 

Uang: Bagian dari Rejeki dari Allah SWT

Sebelum kita mengajarkan tentang pengelo-laan uang, kepada anak harus kita tanamkan terlebih dulu keimanan bahwa rezeki telah diatur oleh Allah SWT (Lihat: QS Hud [11]: 6).

Adapun bekerja posisinya hanya sebagai jalan untuk kita sampai pada rejeki yang Allah tetapkan. Bekerja inilah yang Allah perintahkan bagi kita, yang akan menentukan pahala kita.

Karena rejeki adalah ketetapan Allah, dalam berupaya mendapatkan rejeki kita tidak boleh melalaikan Allah dengan meninggalkan apa yang menjadi kewajiban kita, misalnya shalat, dakwah dan sebagainya.  Atau berusaha mendapatkan rezeki dengan jalan yang melanggar syariah-Nya seperti mencuri, menipu, riba dan sejenisnya.

Anak harus memahami konsep keberkahan rejeki bukan bergantung pada banyaknya harta, melainkan bagaimana kita memperoleh dan memanfaatkan harta sesuai dengan apa yang Allah gariskan.  Begitu juga anak harus memahami bahwa rejeki tidak selalu dalam bentuk uang, namun boleh jadi Allah berikan dalam bentuk yang lain: kesehatan, kasih sayang orangtua, kepandaian, dan sebagainya.

 

Sebab Kepemilikan dan Pengelolaan Uang

Kita perlu menjelaskan pada anak apa saja yang menjadi sebab kepemilikan dan tatacara pengelolaan harta yang dibolehkan oleh syariah (Lihat: Sistem Ekonomi Islam karya Imam Taqiyuddin an-Nabhani).  Ajarkan hal ini secara bertahap sesuai dengan tingkat umur anak.

Imam Taqiyuddin menjelaskan dalam kitabnya, Islam membatasi sebab-sebab kepemilikan harta dengan bekerja, waris, kebutuhan atas harta untuk menyambung hidup, santunan negara dan harta yang diperoleh tanpa kompensasi seperti hadiah dan hibah.  Di luar ini, misal mencuri bukan karena kelaparan, atau korupsi, atau menjual diri dan sebagainya adalah haram menjadi sebab kepemilikan. Begitu juga mengembangkan harta dengan berjudi, riba, menipu atau dengan cara-cara lain yang mengandung kezaliman adalah haram.

Dari pemahaman akan sebab kepemilikan, kita tanamkan pada anak untuk menjadi orang-orang yang ulet dan mandiri dalam bekerja, terutama anak laki-laki yang kelak akan menjadi pencari nafkah.  Mengajari mereka untuk kreatif dan tidak malas serta menghargai uang dengan semestinya.  Karena itu anak perlu dilatih dan tidak dibiasakan untuk bergantung pada orangtua.

Dalam hal pengelolaan harta, dibolehkan untuk melakukan jual-beli, pertukaran, menabung, pinjam-meminjam, memberikan kepada orang lain, dan sebagainya.  Namun, ada beberapa bentuk pengelolaan yang dilarang oleh Allah.  Di antaranya yang perlu dipahami oleh anak dengan benar adalah:

Pertama: Menimbun harta, yaitu menyimpan emas, perak ataupun uang tanpa ada tujuan atau keperluan, yaitu semata-mata menyimpan.  Jika ada keperluan seperti untuk membeli suatu barang yang dibutuhkan, membayar biaya sekolah, atau persiapan menikah, maka hal ini diperbolehkan (Lihat: QS at-Taubah [9]: 34).  Uang bisa di-qiyas-kan pada emas dan perak karena memiliki kesamaan fungsi sebagai alat tukar yang dibutuhkan masyarakat sehingga bila ditimbun akan mengganggu perekonomian masyarakat.

Ini berarti saat kita mengajari anak mengelola keuangan, penting kita tanamkan konsep menabung yang benar, yaitu mengumpulkan uang untuk suatu tujuan tertentu, misalnya membeli mainan yang dia inginkan atau biaya sekolahnya nanti.

Kedua: Israf atau Tabdzir, yaitu membelan-jakan harta dalam perkara yang Allah larang atau haramkan.  Misalnya untuk membeli kupon undian semacam togel, minuman keras dan sejenisnya. Israf ini bukan semata-mata boros dalam pembelanjaan.  Berbelanja banyak-banyak dengan menghabiskan uangnya bukan masalah bila anak menyede-kahkannya ke panti asuhan atau korban bencana, misalnya.  Namun, akan menjadi israf atau tabdzir bila ia belanja meskipun hanya selembar kupon judi togel senilai 1000 rupiah.

Ketiga: Tarf, yakni bermewah-mewah untuk menyombongkan diri di hadapan orang lain.  Perlu kita waspadai tren hedonisme di kalangan generasi muda, yang suka berlomba memamerkan materi: gadget tercanggih, makan di restoran mewah semisal model all yau can eat, traveling ke tempat-tempat instagramable dan sebagainya.  Sedini mungkin sifat-sifat ini kita rem sehingga saat anak dewasa mereka tidak terbawa arus hedonisme.

 

Ajari Anak Membedakan Kebutuhan dan Keinginan

Ini merupakan kunci dari mengelola keuangan.  Dengan membedakan antara kebutuhan dan keinginan, anak belajar untuk membatasi pembelanjaannya dan menyusun prioritas.  Anak yang selalu mendapatkan semua yang diinginkan akan tumbuh menjadi anak yang egois, tidak mampu mengendalikan diri dan pada akhirnya akan menghalalkan segala cara untuk mendapat keinginan.  Benar, tidak semua keinginan anak buruk atau harus ditolak. Namun, orangtua harus memahami kapan akan memberikan keinginan tersebut, kapan melatih anak untuk menabung agar bisa mendapatkan keinginannya dan kapan menolaknya.

Bila anak menginginkan suatu hal yang berharga, sepeda atau gadget, misalnya, ajari anak untuk berjuang mendapatkannya. Bisa dengan menabung sebagian uang jajannya atau berusaha menambah tabungannya dengan bekerja.  Orangtua bisa meminta anak untuk menjual sesuatu atau bekerja membantu mencuci motor dan sejenisnya.

Hanya saja perlu diingat, tidak setiap pekerjaan membantu orangtua, anak diberi upah.  Apa yang sudah disepakati menjadi tanggung jawab anak dalam aktivitas membantu orangtua seperti menyapu, mencuci piring dan sebagainya, jelaskan itu adalah bagian dari birrul walidain yang berpahala besar di sisi Allah.  Namun, hal-hal di luar itu, misalnya membantu memperbaiki pagar rumah yang rusak, atau mengantarkan adik ke sekolah, bila anak sedang memiliki barang yang diinginkan, boleh diakadkan untuk mendapatkan upah.  Ini untuk mencegah anak mengejar imbalan finansial saja dalam aktivitasnya, termasuk aktivitas kebaikan yang seharusnya diniatkan karena Allah.

Beberapa tips praktis untuk mendidik anak mengelola keuangannya berikut bisa diterapkan untuk membantu anak mengelola keuangan:

  • Saat mulai masuk usia tamyiz, anak mulai diperkenalkan dengan akad-akad finansial seperti jual-beli, utang-piutang, upah-mengupah beserta konsekuensi dan hukum-hukumnya secara bertahap sampai anak mampu memahami dengan baik.
  • Ajari anak nilai uang dan bagaimana perjuangan untuk bisa mendapatkan uang sehingga ia bisa menghargai uang. Misal, bila anak ingin suatu mainan yang harganya mahal, jelaskan bahwa harga mainan itu setara dengan uang makan sekeluarga selama sekian hari.
  • Tanamkan kebiasaan bersyukur saat mendapatkan nikmat, bersabar saat tidak terpenuhi keinginannya dan menyisihkan sebagian hartanya untuk bersedekah dan membantu orang lain yang membutuhkan.
  • Beri anak kesempatan dan kepercayaan untuk mengelola uangnya sendiri secara bertahap sesuai umur dan kemampuannya. Buat evaluasi pengelolaan yang anak lakukan dan berikan saran-saran mana yang perlu diperbaiki dan diprioritaskan.
  • Bila anak sudah masuk usia balig, sekitar SMP, berikan uang saku mingguan untuk ia kelola. Jangan menambahnya kecuali ada kepentingan yang mendesak. Bila ia sudah mampu mengelola, tingkatkan menjadi uang saku bulanan. Jumlahnya sesuaikan dengan kebutuhan anak dan kemampuan orangtua, bisa dilebihkan sedikit bila anak memiliki kebutuhan yang harus ia peroleh dengan menabung.

 

Lakukan upaya-upaya pendidikan ini dengan proses pembiasaan, dalam suasana yang menyenangkan dan tidak menekan anak.  Jangan sampai orangtua terlalu pelit dengan meminta anak menahan semua keinginannya atau selalu mengatakan tidak ada uang, padahal anak melihat orangtua memilikinya.  Selalu utamakan dialog dalam proses pendidikan ini. Yang terpenting, orangtua senantiasa memberikan contoh dan keteladanan sebaik-baiknya, karena pada merekalah anak berkaca.

WalLahu a’lam bi ash-shawwab. [Arini Retnaningsih]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 × four =

Back to top button