Tekad
Kita hanya bisa disatukan dan disolidaritaskan dengan perang, jihad dan penaklukan. Ini saat yang tepat untuk kita berhijrah. Kita bukan hijrah ke tempat kita bisa mendapatkan makanan, tetapi ke tempat kita akan bangkit berjaya dan melindungi diri dari penguasa zalim. Inilah jalan suci, jalan jihad, jalan yang diberkahi itu. Siapa saja yang percaya kepada saya dan memiliki iman di dalam hati, mari bersama saya tanpa ragu….”
Di atas adalah ucapan tandas lagi bernas Ertugrul di hadapan para pemimpin suku atau kabilah Kayi dan Dodurgan dalam forum musyawarah membicarakan rencana migrasi atau hijrah ke wilayah yang lebih baik. Saat mayoritas tokoh yang hadir memilih Ahlat, tempat yang dinilai aman dan nyaman, Ertugrul justru mengajak mereka bergerak ke arah matahari tenggelam, ke wilayah yang dekat dengan perbatasan Bizantium. Mengapa? Rangkaian kata-kata itulah yang kemudian ia lontarkan.
Ertugrul adalah salah satu anak dari Sulaiman Syah, pemimpin kabilah Kayi yang ketika itu tinggal secara nomaden di wilayah Kesultanan Rum. Kabilah ini selamat dari serbuan pasukan Mongol pada 1220 M.
Prof. Ali Muhammad ash-Shallabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (2003) menyebutkan, Ertugrul memimpin migrasi kabilahnya yang terdiri atas 100 kepala keluarga dan 400 pasukan berkuda. Di tengah perjalanan, mereka terlibat dalam peperangan antara pasukan kaum Muslim dengan tentara Bizantium. Saat itu, Bizantium tengah berjaya di tengah merosotnya militer Saljuk. Peperangan itu dimenangkan oleh pasukan Islam. Atas dukungan itu, Ertugrul dan kabilahnya akhirnya benar-benar mendapatkan tanah yang memang diharapkan, di Anatolia Barat, dekat wilayah perbatasan Bizantium.
Pada 1299 M, Ertugrul meninggal dunia. Ia lalu digantikan oleh putranya. Tak lain adalah Osman Ghazi. Dalam menjalankan roda pemerintahan, sang peletak fondasi Kesultanan Utsmaniyah itu mengikuti kebijakan ayahnya, termasuk dalam memperluas wilayah kekuasaan hingga ke kota-kota yang menjadi bagian dari kekuasaan Bizantium.
++++
Ertugrul adalah salah satu dari sekian banyak pejuang Islam pada masa lalu yang mewarisi kekokohan tekad Baginda Rasulullah saw. Kekokohan tekad yang diajarkan oleh Baginda Rasulullah semacam inilah yang berhasil mengubah dunia. Bermula dari langkah kecil di Makkah selama 13 tahun, kemudian dilanjutkan dengan 10 tahun di Madinah, berkembang menjadi sebuah gelombang dahsyat perubahan di Jazirah Arab yang menandai tegaknya peradaban baru dunia. Para sejarahwan menyebut 700 tahun sebagai the golden age. Sepanjang waktu itu peradaban Islam menjadi arus utama peradaban dunia. Ini terjadi saat belahan lain termasuk kawasan Eropa dan Amerika tengah dalam kegelapan.
Dalam setiap kesempatan, tak henti Rasulullah saw. memompakan tekad untuk meraih kemajuan dan kemenangan. Menjelang Perang Khandaq, misalnya, umat Islam masih sangat lemah serta tengah dalam tekanan secara politik dan militer akibat kepungan pasukan Ahzab yang terdiri dari berbagai kabilah. Namun, Rasulullah tidak tampak mengendurkan tekad. Beliau justru berkata tentang bakal terjadinya penaklukkan wilayah Jazirah Arab, lalu Rum, salah satu adikuasa saat itu. Di lain waktu Rasulullah saw. juga berbicara tentang penaklukkan ibukota Romawi Timur, Konstantinopel, yang saat itu hampir tak tersentuh oleh lawan dari manapun datangnya. “Pastilah akan ditaklukkan al-Konstantiniyah (Konstantinopel). Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin penakluk kota itu dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang menaklukkan kota itu.” (HR Ahmad).
Mendengar semua ungkapan Rasulullah itu, umat yang memang sudah memiliki tekad besar, makin bersemangat untuk mencapai kemajuan dan kemenangan. Hasilnya, semua daerah yang disebut Rasululah saw. tadi akhirnya memang benar-benar berhasil ditaklukkan. Jazirah Arab dikuasai semasa Rasul masih hidup. Romawi Timur berhasil ditaklukkan setelah lebih dari 800 tahun kemudian. Oleh siapa? Oleh Muhammad al-Fatih, yang tak lain adalah anak keturunan Ertugrul!
Luar biasa memang pengaruh tekad dalam memandu orang untuk berjuang meraih kemajuan dan kemenangan. Nyatalah, sejarah besar hanya akan tercetak dari tekad yang besar, dan di tangan orang-orang yang mempunyai tekad besar itu.
Tekad yang besar itu hanya mungkin dilahirkan dari keyakinan yang kokoh. Keyakinan bahwa Islam adalah risalah mulia, satu-satunya jalan menuju kerahmatan yang dijanjikan Allah. Keyakinan bahwa hijrah dan jihad guna memperjuangkan risalah Islam itu adalah jalan mulia. Allah SWT akan memberi kita pahala yang tak ada bandingannya (la mitsla laha), juga muraghamah katsirah dan rezeki yang luas, sebagaimana dinyatakan dalam QS an-Nisa [4]: 100. Hijrah dalam ayat ini dimaknai oleh Imam Thabari sebagai orang yang rela meninggalkan bumi syirik dan penduduknya guna menyelamatkan agamanya dan menjauhi agama mereka, menuju ke wilayah Islam dan penduduknya merupakan kaum beriman. Secara syar’i, hijrah oleh para ulama didefiniskan sebagai keluar dari negeri kufur menuju negeri Islam, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat pergi dari Makkah menuju Madinah.
Tentang makna muraghamah, Ibnu Mujâhid memaknai sebagai tersingkir, terasingkan atau terjauhkan. Ibnu Abbas, Al-Dhahâk dan Ar-Rabi’ menakwilkan kata itu sebagai tempat pindah atau tempat yang dituju saat bepergian. Kesimpulannya, muraghamah adalah istilah untuk menyebut tempat hijrah dan mengasingkan diri. Jadi, berdasar ayat 100 QS an-Nisa itu, ketika berhijrah, Allah SWT menjamin kita kita akan mendapatkan tempat hijrah yang banyak, karena bumi Allah itu memang luas. Dengan kuasanya, Allah akan memberikan tempat yang baik kepada siapa saja yang ingin berhijrah.
Keyakinan semacam itulah yang sejak awal dimiliki oleh Ertugrul. Akhirnya, memang terbukti. Ia dan kabilahnya mendapatkan tempat hijrah yang lebih baik, di Anatolia Barat. Benar pula, di tempat itu mereka bisa meraih kejayaan. Bukan hanya untuk kabilahnya sendiri, tapi juga untuk Dunia Islam. Dari anak keturunannyalah terwujud Kekhilafahan yang berhasil mewujudkan peradaban Islam lebih dari 4 abad lamanya.
Ertugrul menjadi legenda karena berhasil mencetak generasi yang mencintai Islam dan mencintai jihad di jalan Allah. Muhammad al-Fatih, keturunannya, berhasil mewujudkan nubuwwah Rasulullah saw. tentang kepastian penaklukan Konstantinopel. Ketika Muhammad al-Fatih memasuki benteng Konstantinopel, ia membaca hadis itu. Seolah pujian Nabi saw. tentang sebaik-baik panglima perang adalah panglima yang menaklukkan Konstantinopel itu ditujukan kepada dirinya.
Lalu ada Sultan Salim I, cucu Muhammad al-Fatih, yang kemudian menjadi penegak tonggak Kekhilafahan Ustmani setelah Kekhilafahan Abbasiyah runtuh. Sama seperti sifat kakek buyutnya, Salim disebut dengan julukan “Yavuz” (tegas). Di bawah kepemimpinannya yang hanya 8 tahun, ia berhasil mengendalikan wilayah yang meluas secara dramatis hingga ke kawasan Syam, Mesir dan Hijaz. Dialah khalifah yang mendapat gelar Khadim al-Haramayn (Pelayan Dua Kota Suci)
Sulaiman al-Qanuni dikenal dengan julukan “Suleiman the Magnificent” (Suleiman yang Hebat). Dengan tekad bajanya, pada masa kepemimpinannya, Islam berkembang hingga semenanjung Balkan meliputi Hungaria, Belgrade, Austria. Pengaruhnya membuat sejarahwan menggelari beliau sebagai tokoh terpenting di Eropa abad ke-16.
Tekad baja juga tak pernah luluh ditunjukkan oleh khalifah Abdul Hamid II untuk terus mempertahankan Islam dan Kekhilafahan meski dalam keadaan sakit keras, di tengah konspirasi zionisme internasional untuk meruntuhkan sistem Kekhilafahan itu.
++++
Adakah tekad baja untuk bangkit, meraih kemajuan dan kemenangan Islam itu ada di diri kita? Semoga. Insya Allah. [H. M. Ismail Yusanto]