Catatan Dakwah

Toleransi

Toleransi. Ini kata acap diserukan. Apalagi pada bulan Desember ini. Khususnya terkait dengan Perayaan Natal. Bagaimana Islam memandang soal ini? Bagaimana pula pandangan Islam terkait Nabi Isa saw.? Benarkah ia lahir pada bulan Desember dan mati di tiang salib?

++++

Toleransi (tasâmuh), dalam Kamus Al-Munawir halaman 702 terbitan Pustaka Progresif, diartikan sebagai sikap membiarkan (menghargai), lapang dada. Jika demikian arti toleransi, lantas bagaimana toleransi terhadap orang kafir atau non Islam harus dilakukan?

Islam sangat jelas mengajarkan toleransi. Namun, toleransi terhadap orang kafir tidak boleh mengurangi keyakinan bahwa Islam satu-satunya agama yang benar, yang lain salah; Islam satu-satunya jalan keselamatan di Akhirat, yang lain tidak; juga bahwa penerapan syariah secara kâffah akan memberikan rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin), sementara selain syariah justru akan menimbulkan fasad. Toleransi pun tidak boleh pula  mengurangi semangat dakwah mengajak mereka masuk Islam.

Toleransi terhadap orang kafir dilakukan dengan membiarkan mereka memeluk agama yang mereka yakini, dan melaksanakan ibadah mereka. Tidak menghina Tuhan mereka. Tidak merusak tempat ibadah mereka. Islam membolehkan bermuamalah dengan non-Muslim (jual-beli, sewa-menyewa, ajar-mengajar dalam sains-tek), berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka. Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan QS al-Mumtahanah ayat 8: berbuat baik dan adil di sini berlaku kepada setiap pemeluk agama.

Oleh karena itu, toleransi tidak boleh dilakukan dengan cara berpartisipasi dalam kegiatan ibadah dan tradisi agama mereka, seperti mengikuti Natal Bersama. Rasulullah saw. tegas menolak melakukan model toleransi  dalam bentuk berpartisipasi, terlibat, memfasilitasi apalagi mengamalkan ajaran agama lain.

Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, menjelaskan: Ketika masih di Makkah, ada beberapa tokoh kafir Quraisy menemui Nabi saw. Mereka adalah Al-Walid bin Mughirah, Al-‘Ash bin Wail, Al-Aswad Ibnu al-Muthallib dan Umayyah bin Khalaf. Mereka menawarkan toleransi, “Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (kaum Muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Jika ada sebagian ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan mengamalkan hal itu. Sebaliknya, jika ada sebagian ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” Kemudian turunlah QS al-Kafirun ayat 1-6 yang menolak keras toleransi  semacam ini.

Mengapa Islam keras menolak model toleransi seperti ini? Sebabnya, ini menyangkut keyakinan yang paling dasar. Islam, misalnya, meyakini bahwa Isa adalah seorang nabi, sedangkan kaum Nasrani meyakini bahwa Isa adalah anak Tuhan. Ya, kaum Nasrani memang mengklaim Isa al-Masih anak Tuhan, seperti juga orang  Yahudi mengklaim Uzair anak tuhan. Ini seperti tersebut  dalam surah at Taubah ayat 30. Klaim seperti itu juga tampak dalam Pesan Natal Bersama PGI dan KWI Tahun 2019. Di situ disebutkan, ‘Dengan penuh sukacita, kita merayakan pesta kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus, Raja Damai, yang datang untuk “merubuhkan tembok pemisah, yakni perseteruan” (Ef 2:14) yang memecah-belah umat manusia.…….’

Dalam keyakinan Islam, Isa bukanlah anak Tuhan. Penciptaan Isa, seperti disebut dalam QS Ali Imran ayat 59, sama seperti penciptaan Adam. Jika status anak Tuhan dilekatkan tersebab Nabi Isa lahir tanpa Bapak, maka Nabi Adam lebih layak disebut sebagai anak Tuhan. Nabi Adam bahkan lahir tanpa bapak dan ibu.

Bisakah manusia lahir tanpa bapak? Secara ilmiah, memang ada kelahiran tanpa terjadinya pembuahan oleh jantan. Disebut partenogenesis. Dari bahasa Yunani  parthenos, “virgin”, + γένεσις genesis, “pembuatan”, partenogenesis merupakan pertumbuhan dan perkembangan embrio atau biji tanpa fertilisasi oleh pejantan. Ini merupakan bentuk reproduksi aseksual. Terjadi secara alami pada beberapa spesies, termasuk tumbuhan tingkat rendah, invertebrate (kutu air, kutu daun dan beberapa lebah), dan vertebrata (beberapa reptile, ikan, burung dan hiu, juga komodo).

Apakah kelahiran Nabi Isa melalui proses partenogenesis? AlLâhu a’lam. Apakah mungkin manusia lahir melalui proses semacam ini? Menarik, pada tahun 1956 Jurnal Medis Lancet mempublikasikan sebuah laporan tentang 19 kasus kelahiran di antara perempuan Inggris, yang diteliti oleh anggota the British Medical Association. Setelah dilakukan pengamatan selama 6 bulan, disimpulkan oleh para peneliti bahwa human parthenogenesis dimungkinkan secara fisiologis, dan itu terjadi pada sejumlah perempuan yang diteliti.

Yang pasti, menciptakan anak lahir tanpa bapak, bagi Allah itu mudah. Itu pula yang dikatakan Allah dalam QS Maryam atau 20 dan 21, menjawab keraguan Siti Maryam saat dikabarkan oleh Malaikat Jibril bahwa ia bakal punya anak lelaki, padahal ia tidak pernah sekalipun dinikahi lelaki, dan ia juga bukan seorang perempuan nakal.

Terkait klaim kaum Nasrani, ketika ditanya Allah dalam QS al-Maidah ayat 116, apakah Nabi Isa menyuruh mereka mengatakan dirinya anak Tuhan, tegas menjawab, seperti disebut dalam QS al-Maidah ayat 117 (yang artinya),  ‘Aku tidak pernah mengucapkan sesuatu yang tidak berhak kuucapkan. Jika aku pernah mengucapkannya, sungguh Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam jiwaku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada Diri-Mu. Sungguh Engkau Maha Mengetahui masalah gaib.”

Selanjutnya, dalam QS al-Maidah ayat 118, Nabi Isa, menyerahkan keputusan tentang orang-orang yang menyatakan dirinya anak Tuhan kepada Allah (yang artinya): Jika Engkau menyiksa mereka maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. Jika Engkau mengampuni mereka, sungguh Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Dalam QS Maryam ayat 30 dan 31, Nabi Isa tegas menyatakan dirinya sebagai AbdulLâh (hamba Allah), bukan IbnulLâh (anak Tuhan), yang diberi kitab (Injil) dan ditetapkan sebagai nabi. Menuduh Tuhan beranak adalah sebuah kemungkaran amat besar. Sedemikian mungkarnya bahkan digambarkan dalam QS al-Maidah ayat 88 sampai 92, langit pecah, bumi terbelah dan gunung runtuh.

Jadi, siapa saja yang mengatakan Isa anak Tuhan, seperti yang disebut dalam QS al-Maidah ayat 72, telah kafir. Siapa saja yang mempercayai trinitas, bahwa Allah adalah salah satu dari tiga, seperti yang disebut dalam QS al-Maidah ayat 73, juga kafir.

Lalu benarkah Nabi Isa lahir  pada bulan Desember, dan pohon cemara sebagai pohon apa yang lekat dengan kelahiran Nabi Isa layak disebut Pohon Natal? Benarkah Nabi Isa disalib? Jika bukan, siapa dia sebenarnya, dan kemana Nabi Isa?

Jika ada pohon yang boleh disebut erat dengan kelahiran nabi Isa, tak lain adalah pohon kurma. Quran Surah Maryam ayat 22 hingga 26 menceritakan bagaimana Siti Maryam yang tengah mengandung diperintahkan Allah untuk bertelekan pada pohon kurma dan menggoyangnya agar kurma yang sudah matang itu jatuh untuk menambal rasa laparnya. Jadi, jelaslah Nabi Isa lahir saat pohon kurma masak, sekitar bulan Agustus-September, bukan Desember, saat musim dingin. Pada musim itu, kurma sudah tidak lagi berbuah.

Terkait dengan anggapan Nabi Isa mati di tiang salib. Allah menegaskan dalam QS an-Nisa ayat 156 sampai 158, bahwa mereka tidaklah membunuh dan tidak pula menyalib Nabi Isa. Lantas siapa yang dibunuh dan disalib itu. Kemana pula Nabi Isa pergi? Menurut ayat tadi, yang disalib dan dibunuh adalah orang yang diserupakan Allah dengan Nabi Isa. Nabi Isa sendiri diangkat Allah ke langit. Pada saatnya nanti, sebagaimana disebut dalam hadis sahih Riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, ia akan turun ke bumi: ‘sebagai seorang hakim yang adil. Lalu ia akan memecahkan salib, membunuh babi, menghapus jizyah/upeti. (Saat itu) harta benda berhamburan sampai-sampai tidak ada seorang pun yang bersedia menerimanya (harta pemberian).”

++++

Oleh karena itu, umat Islam harus tegas menolak klaim Isa anak tuhan, dan menolak kegiatan natal bersama. Fatwa MUI yang dikeluarkan pada tahun 1981 tegas menyatakan Natal bersama haram. Perayaan Natal di Indonesia, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa, tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas. Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Toleransi bukanlah partisipasi.

Bagaimana jika sekadar mengucap selamat Natal? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ucapan selamat diartikan doa yang mengandung harapan supaya sejahtera atau beruntung. Benarkah kita mengucapkan selamat untuk sesuatu yang  justru telah membuat Allah sangat murka?

Bagaimana memahami ayat 33 QS Maryam, yang seolah ada ucapan selamat atas kelahiran Nabi Isa? Ibnu Katsir menjelaskan, “Dalam ayat ini ada penetapan ubudiyah Isa kepada Allah, yaitu bahwa ia adalah makhluk Allah yang hidup dan bisa mati dan beliau juga akan dibangkitkan kelak sebagaimana makhluk yang lain. Namun, Allah memberikan keselamatan kepada beliau pada kondisi-kondisi tadi (dihidupkan, dimatikan, dibangkitkan) yang merupakan kondisi-kondisi paling sulit bagi para hamba. Semoga keselamatan senantiasa terlimpah kepada beliau.”

Jadi, itu bukan dalil atas kebolehan mengucapkan Selamat Natal.

Jika sudah demikian jelas, semestinya umat Islam, sebagaimana dilakukan Nabi saw. dalam hadis shahih Riwayat Imam Muslim, harusnya justru tegas mengajak Yahudi dan Nasrani kepada Islam. Bukan malah berpartisipasi dalam ibadah agama Nasrani dengan alasan toleransi. [H. Muhammad Ismail Yusanto]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 × two =

Check Also
Close
Back to top button