Fikih

Haram Mendonorkan Hati

Soal:

Di antara maqashid syari’ah adalah penjagaan terhadap jiwa. Al-Maqashid bukanlah ‘illat hukum secara keseluruhan, juga bukan ‘illat satu hukum tertentu. Di dalam syariah ada kaidah: Adh-Dharûrât tubîhu al-mahzhûrât (Keadaan darurat memperbolehkan apa yang diharamkan). Kaidah ini khusus pada topik makanan dan minuman untuk mempertahankan hidup manusia ketika terjadi kelaparan yang membinasakan.

Paksaan yang memaksa (al-ikrâh al-mulji‘) memperbolehkan pengucapan kalimat kufur jika seseorang diambil sebagian hartanya, atau jiwanya atau dipotong sebagian dari tubuhnya, atau ada ancaman sodomi atau zina pada mahram.

Pertanyaannya, di bawah pemahaman ini, apakah boleh seorang dokter berkata, bahwa dia membutuhkan transplantasi hati. Jika tidak, ghalabah azh-zhann (dugaan kuat) dia akan mati?

Perlu diketahui bahwa donor hati setelah kematian adalah haram. Demikian juga mengambil organ yang di donorkan. Itu bukanlah donasi.

 

Jawab:

Jelas dari pertanyaan Anda bahwa Anda menelaah topik maqashid, adh-dharûrât, paksaan yang memaksa (al-ikrâh al-mulji‘). Juga keharaman mendonorkan hati setelah kematian. Meski demikian, Anda bertanya tentang hukum transplantasi hati untuk seseorang yang dokter menduga kuat kematiannya jika tidak ada donor hati kepada dia. Anda mengisyaratkan perbedaan antara donor organ dan pengambilan organ yang didonorkan.

Pertama: sebelum menjawab pertanyaan Anda, saya menegaskan kembali sebagian yang ada di dalam Jawab Soal yang kami keluarkan pada 23 Rabi’ul Akhir 1440 H – 30 Desember 2018 M seputar topik transplantasi organ:

Berkaitan dengan pertanyaan Anda tentang transplantasi organ, jelas bahwa Anda menelaah dalil-dalil yang menunjukkan keharaman transplantasi organ dari seseorang yang telah mati dan dia termasuk orang yang terpelihara darahnya, kepada orang hidup, sesuai apa yang dijelaskan dalam boklet al-Istinsâkh (Kloning). Istidlal dalam booklet itu terjadi pada dua perkara atas keharaman transplantasi organ dari mayit ke orang hidup. Keduanya adalah:

1-       Tidak ada seorang pun yang memiliki jasad seseorang setelah kematiannya. Si mayit tidak memiliki kekuasaan atas jasadnya setelah kematiannya. Ahli waris juga tidak memiliki kekuasaan atas jasad mayit setelah kematiannya. Hal itu seperti yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syariah. Atas dasar itu, si mayit dan ahli warisnya tidak memiliki hak untuk mendonasikan organ dari jasad mayit tersebut. Pasarnya, jasad si mayit itu tidak berada dalam kepemilikan mereka dan mereka tidak punya kekuasaan atas dirinya.

2-       Tidak boleh menyerang dan menyakiti mayit. Demikian juga tidak boleh memutilasinya. Hal itu sebagai berikut:

a-       Berkaitan dengan keharaman menyerang dan menyakiti, telah dinyatakan hadis-hadis yang menunjukkan dengan dalalah yang jelas bahwa mayit memiliki kehormatan layaknya orang hidup. Menyerang atas kehormatan dan menyakiti mayit sama seperti menyerang kehormatan dan menyakiti orang hidup. Sebagaimana tidak boleh menyerang orang hidup dengan merobek perutnya, atau memotong lehernya atau mencabut bola matanya atau mematahkan tulangnya, demikian juga tidak boleh menyerang mayit dengan merobek perutnya, atau memotong lehernya atau mencabut bola matanya atau mematah-kan tulangnya. Sebagaimna haram menyakiti orang hidup dengan mencaci, atau memukul, atau melukainya, demikian juga haram menyakiti mayit dengan mencaci, memukul atau melukai. Di antara hadis-hadis itu adalah:

Aisyah Ummul Mukminin ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيّا

Mematahkan tulang mayit seperti mematahkannya ketika dia hidup (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Hibban).

 

Amru bin Hazmin al-Anshari berkata: Rasulullah saw. melihatku dan aku sedang bersandar ke kuburan. Lalu beliau bersabda:

لَا تُؤْذِ صَاحِبَ الْقَبْرِ

Jangan kamu menyakiti pemilik kubur ini (HR Ahmad).

 

Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda:

لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ مُتَحَرِّقَةٍ خَيْرٌ لَه مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ

Seseorang dari kalian duduk di atas bara api yang membara adalah lebih baik baginya daripada duduk di atas kubur (HR Muslim dan Ahmad).

 

b-       Berkaitan dengan mutilasi terhadap mayit, maka “mencabut bola mata mayit, merobek perutnya untuk mengambil jantungnya atau levernya atau kedua ginjalnya dan mentransplantasikannya ke seseorang lainnya yang membutuhkan-nya, hal itu termasuk memutilasi mayit. Islam telah melarang mutilasi.

Abdullah bin Zaid al-Anshari berkata:

نَهَى رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم عَنِ النُّهْبَى وَالْمُثْلَة

Rasulullah saw. melarang kanibal dan mutilasi (HR al-Bukhari).

 

Shafqan bin ‘Usal berkata, Rasulullah saw. mengutus detasemen dan bersabda:

سِيرُوا بِاسْمِ اللهِ، وَفِي سَبِيلِ اللهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ باللهِ، وَلَا تُمَثِّلُوا وَلَا تَغْدُرُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيْدًا

Berjalanlah dengan membaca asma Allah dan di jalan Allah, perangilah orang yang kafir kepada Allah, dan jangan kalian memutilasi, jangan berkhianat dan jangan membunuh lansia (HR Ahmad, Ibnu Majah dan an-Nasa’i).

 

Berdasarkan dalil-dalil di atas, tampak dengan sangat jelas bahwa transplantasi organ dari seseorang yang telah mati dan dia terjaga darahnya, kepada orang hidup, adalah haram secara syar’i (Selesai kutipan dari Jawab-Soal terdahulu).

 

Demikian juga saya kutipkan apa yang ada di booklet al-Intinsâh (Kloning) tentang transplantasi organ dalam kondisi terpaksa:

Keadaan darurat adalah keadaan yang Allah perbolehkan untuk orang yang dalam keadaan terpaksa (al-mudhtharr) yang tidak punya bekal dan kehidupannya terancam kematian. Allah memperbolehkan dia memakan makanan yang Allah haramkan, yang dia temukan, seperti bangkai, darah, daging babi dan yang lainnya. Apakah dalam kondisi ini diperbolehkan transplantasi organ dari organ mayit untuk menyelamatkan kehidupan seseorang yang lain dan kehidupannya bergantung pada transplantasi organ kepada dirinya?

Untuk menjawab hal itu maka harus diketahui hukum dalam keadaan terpaksa (al-idhthirâr) untuk sampai pada pengetahuan hukum transplantasi organ dari seseorang yang kehidupannya berakhir kepada seseorang lainnya yang memerlukan organ tersebut.

Adapun hukum idhthirâr (dalam keadaan terpaksa), Allah SWT telah memperbolehkan untuk orang yang dalam keadaan terpaksa yang tidak punya bekal, dan kehidupannya terancam dengan kematian, untuk memakan makanan yang Allah haramkan, yang dia temukan sehingga kehidupannya terjaga, seperti bangkai, darah, babi dan semua makanan yang Allah haramkan memakannya. Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ

Sungguh Allah hanya mengharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Namun, siapa saja yang dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa atas dirinya (QS al-Baqarah [2]: 173).

 

Orang yang dalam keadaan terpaksa (al-mudhtharr) boleh memakan apa yang dia temukan di antara makanan yang diharamkan. Ini sekedar untuk mempertahankan hidupnya dan kehidupan-nya tetap bertahan. Jika dia tidak makan itu, dia bisa mati. Dia berdosa dan sama dengan membunuh dirinya sendiri. Allah SWT berfirman:

وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ ٢٩

Janganlah kalian membunuh diri kalian (QS an-Nisa’ [4]: 29).

 

Berdasarkan hukum keadaan terpaksa sebelumnya, apakah mungkin menerapkan hukum ini pada keadaan transplantasi organ dari seseorang yang kehidupannya berhenti kepada seseorang lain yang memerlukan organ itu untuk menyelamatkan hidupnya, dengan jalan qiyas?

Jawaban atas hal itu, perlu dilihat. Syarat penerapan hukum qiyas dalam masalah ini mengharuskan ‘illat di masalah cabang yang di-qiyas-kan (yaitu keadaan transplantasi organ berserikat pada ‘illat yang menjadi sandaran qiyas; yaitu keadaan keterpaksaan untuk orang yang tidak punya bekal, baik pada zatnya atau pada jenisnya). Sebabnya, qiyas itu tidak melampaui hukum asal pada cabang, melalui ‘illat asal. Jika ‘illat cabang tidak berserikat pada ‘illat asal dalam sifat keumumannya dan tidak pada sifat kekhususannya, maka ‘illat asal tidak ada pada cabang. Dengan begitu, tidak mungkin hukum asal melampaui masalah asal ke cabang.

Di sini, berkaitan dengan keadaan transplantasi organ, organ yang ditransplantasi-kan, ada kalanya termasuk organ yang menentukan penyelamatan hidup menurut dugaan kuat seperti jantung, hati, dua ginjal, paru-paru. Ada kalanya termasuk organ yang tidak menentukan penyelamatan hidup seperti dua mata, ginjal kedua bagi orang yang ginjalnya sehat, tangan, kaki dan semisalnya.

Adapun organ yang transplantasinya menentukan penyelamatan hidup, yang ketiadaannya menyebabkan kematian manusia, maka ‘illat asal, yaitu penyelamatan kehidupan, tidak ada di situ. Berikutnya, padanya tidak berlaku hukum keadaan terpaksa. Berdasarkan hal itu, secara syar’i tidak boleh mentransplantasikan mata atau ginjal bagi orang yang ginjalnya sehat, tangan atau kaki dari seseorang yang kehidupannya berakhir kepada seseorang lainnya yang memerlukan organ tersebut.

Adapun organ yang transplantasinya menentukan penyelamatan kehidupan manusia menurut dugaan kuat maka di situ ada dua aspek: Pertama, ‘illat yang ada di situ (yaitu penyelama-tan kehidupan dan mempertahankan-nya) tidak ditegaskan terjadinya, seperti yang ada dalam keadaan terpaksa. Sebabnya, orang yang dalam keadaan terpaksa itu memakan makanan yang Allah telahharamkan, secara pasti menyebabkan penyelamatan kehidupannya. Hanya saja, transplantasi jantung, hati, paru-paru dan dua ginjal tidak secara pasti mengantarkan penyela-matan kehidupan orang yang mendapat trans-plantasi organ itu. Kadang tercapai penyelamatan kehidupan dan kadang tidak tercapai. Banyak fakta yang terjadi pada orang yang mendapat transplantasi organ-organ tersebut memastikan hal itu. Karena ini ‘illat tersebut tidak sempurna.

Adapun aspek kedua berkaitan dengan syarat lain dari syarat-syarat cabang di dalam qiyas, yaitu cabang itu harus kosong dari kontradiksi yang rajih yang mengharuskan lawan dari yang diharuskan oleh qiyas. Di sini pada cabang (yaitu kondisi transplantasi organ) telah ada nas rajih yang mengharuskan lawan dari apa yang diharuskan oleh ‘illat qiyas; yaitu pengharaman penyerangan terhadap kehormatan mayit atau pelanggaran terhadapnya atau mutilasi mayit itu. Nas rajih ini adalah lawan dari apa yang diharuskan oleh ‘illat transplantasi organ berupa kebolehan.

Berdasarkan atas dua aspek ini, maka tidak boleh transplantasi organ yang pentransplantasi-annya menentukan penyelamatan kehidupan seperti jantung, hati, paru-paru dan dua ginjal dari seseorang yang kehilangan kehidupan dan dia termasuk yang darahnya terlindungi, seorang muslim, kafir dzimmi, mu’ahad atau musta’min, kepada seseorang lainnya yang kehidupannya bergantung pada transplantasi organ ini kepadanya (Selesai kutipan dari Booklet al-Istinsâkh (Kloning).

Kedua, jelas dari apa yang disebutkan di poin pertama, bahwa transplantasi jantung (dan semisalnya adalah organ yang pentransplantasi-annya menentukan penyelamatan kehidupan seperti hati, dua ginjal dan paru-paru) dari orang yang terpelihara darahnya adalah haram secara syar’i.  Ini berarti bahwa donor jantung oleh orang yang terpelihara darahnya kepada orang lain adalah tidak boleh. Juga berarti bahwa mengambil jantung yang didonorkan dari orang yang terpelihara darahnya adalah tidak boleh. Sebabnya, makna penyerangan yang haram itu juga terjadi pada pengambilan jantung orang yang terpelihara darahnya yang mendonorkan jantung itu dan mentransplantasikannya pada tubuh seseorang lainnya adalah juga haram sebab makna pelanggaan terhadap tubuh mayit terjadi dalam keadaan pendonoran tersebut yakni dalam keadaan pencabutan jantung orang yang terpelihara darahnya dari tubuhnya. Juga terjadi pada pentransplantasian jantung orang yang terpelihara darahnya di tubuh seseorang lainnya. Yang wajib pada semisal keadaan ini, yakni dalam keadaan pencabutan organ dari tubuh mayit yang terpelihara darahnya, yang wajib adalah mengubur organ yang dicabut dari tubuh pendonor yang terpelihara darahnya itu bukan menggunakannya untuk mengobati seseorang lainnya. Aisyah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيّا

Mematahkan tulang mayit seperti mematah-kannya semasa hidup (HR Abu Dawud).

 

Di dalam ‘Awn al-Ma’bûd Syarhu Sunan Abî Dâwud dinyatakan: As-Suyuthi mengatakan tentang penjelasan sebab hadis tersebut dari Jabir ra. yang berkata: Kami pernah keluar bersama Rasulullah saw. menyaksikan sesosok jenazah. Lalu Nabi saw. duduk di tepi kubur dan kami duduk bersama beliau. Lalu penggali kubur mengeluarkan tulang betis atau tulang lengan. Lalu dia pergi untuk mematahkannya. Nabi saw. bersabda:

لَا تَكْسِرْهَا فَإِنَّ كَسْرَكَ إِيَّاهُ مَيِّتاً كَكَسْرِكَ إِيَّاهُ حَيّاً، وَلَكِنْ دُسَّهُ فِي جَانِبِ الْقَبْرِ

Jangan kamu patahkan. Kamu mematahkan dia sebagai mayit seperti engkau mematahkan dia semasa hidup, tetapi susupkan di samping kubur.

 

Ringkasnya: Tidak boleh mengambil organ yang menentukan kehidupan seperti jantung dari orang hidup yang terpelihara darahnya. Demikian juga tidak boleh mendonorkan jantung hingga meskipun untuk menyelamatkan orang lain. Juga tidak boleh mewasiatkan untuk mengambilnya setelah kematiannya sebab seseorang itu tidak memiliki tubuhnya setelah kematiannya. Ahli warisnya pun tidak memiliki kecuali bagian mereka dari harta. Mereka tidak memiliki tubuh orang yang sudah mati itu. Berikutnya mereka tidak dapat mendonorkan bagian apapun dari jasad orang yang sudah mati itu sebab itu merupakan penyerangan terhadapnya dan hukumnya haram.

WalLâh a’lam wa ahkam.

[Disarikan dari Jawab-Soal Syaikah Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 11 Jumadal Ula 1442 H/26 Desember 2020 M]

 

Sumber:

http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/72430.html

https://web.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/2826201610959178

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

20 − sixteen =

Back to top button