Fikih

Masa ‘Iddah Wanita Yang Ditinggal Mati Suaminya

Pertama: Wanita yang di-khitbah, jika suaminya mati apakah dia punya masa ‘iddah? Apakah dia mewarisi lelaki yang meng-khitbah dirinya?

Kedua: Apakah masa ‘iddah itu ada karena senggama atau cukup karena akad nikah dilangsungkan? Pasalnya, ada kondisi-kondisi talak yang di dalamnya belum terjadi persenggamaan karena suatu sebab, apakah masa ‘iddah-nya sama?

 

Jawab:

Dua pertanyaan itu berdekatan. Oleh karena itu kami akan jawab sekaligus dengan izin Allah.

Pertama: Jika yang dimaksud dengan al-makhthûbah (wanita yang di-khitbah) di dalam pertanyaan itu adalah wanita yang dilamar seorang pria dan ada persetujuan awal atas pernikahan, tetapi belum terjadi akad pernikahan sama sekali, artinya belum terjadi apa yang oleh sebagian disebut “al-imlâk” sehingga belum terjadi ijab-qabul sesuai hukum-hukum syariah terkait—kondisi ini yang tersebar di sebagian negeri kaum Muslim, yakni terjadi persetujuan awal atas pernikahan (pertunangan), tetapi tanpa akad pernikahan—ini tidak dinilai sebagai pernikahan. Wanita yang di-khitbah juga tidak dinilai sebagai istri. Dia tetap menjadi orang asing bagi pria yang meng-khitbah dirinya. Karena itu pria itu tetap tidak boleh ber-khalwat dengan wanita itu. Wanita itu pun tidak boleh menyingkap auratnya di depan pria itu.

Khitbah dengan makna ini tidak memiliki akibat sebagaimana akibat akad pernikahan berupa masa ‘iddah, mahar, waris, dsb.

Kedua: Jika yang dimaksud dengan wanita yang di-khitbah (al-makhthûbah) adalah wanita yang dinikahi oleh pria yang meng-khitbah dirinya dengan akad pernikahan yang syar’i, maka wanita itu menjadi istri pria itu secara syar’i. Akad pernikahannya memiliki akibat-akibat hukum sesuai rincian yang telah dijelaskan di dalam buku-buku fikih.

Ketiga: Wanita yang ditinggal mati suaminya sebelum terjadi persenggamaan, yakni setelah dilangsungkan akad pernikahan terhadap wanita itu, tetapi sebelum terjadi persenggamaan, wanita ini dinilai sebagai istri yang ditinggal mati suaminya dan dia menjalani masa ‘iddah  syar’i, yaitu empat bulan sepuluh hari. Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT:

وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجٗا يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرۡبَعَةَ أَشۡهُرٖ وَعَشۡرٗاۖ

Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber-’iddah) empat bulan sepuluh hari (QS al-Baqarah [2]: 234).

 

Juga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra.:

أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَلَمْ يَفْرِضْ لَهَا صَدَاقًا وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا حَتَّى مَاتَ فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ لَهَا مِثْلُ صَدَاقِ نِسَائِهَا لَا وَكْسَ وَلَا شَطَطَ وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ وَلَهَا الْمِيرَاثُ فَقَامَ مَعْقِلُ بْنُ سِنَانٍ الْأَشْجَعِيُّ فَقَالَ قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بِرْوَعَ بِنْتِ وَاشِقٍ امْرَأَةٍ مِنَّا مِثْلَ الَّذِي قَضَيْتَ فَفَرِحَ بِهَا ابْنُ مَسْعُودٍ

Ia pernah ditanya tentang pria yang menikahi seorang wanita, sementara dia belum menentukan mahar untuk dirinya dan belum berhubungan suami-istri dengan dirinya sampai dia mati. Ibnu Mas’ud ra. berkata, “Untuk wanita itu semisal mahar wanita-wanita lainnya. Tidak kurang dan tidak lebih. Dia harus menjalani masa ‘iddah. Dia pun memiliki hak waris.” Lalu Ma’qil bin Sinan al-Asyja’iy berdiri dan berkata, “Rasulullah saw. pun telah memutuskan untuk Birwa’a binti Wasyiq. seorang wanita dari kami, semisal apa yang engkau putuskan.” Ibnu Mas’ud pun bergembira karenanya (HR at-Tirmidzi).

 

Imam at-Tirmidzi berkata, “Hadis Ibnu Mas’ud ini  hasan-shahih.”

Wanita itu mewarisi suaminya yang meninggal hingga meskipun suaminya belum berhubungan suami-istri dengan dirinya. Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT:

۞وَلَكُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٰجُكُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٞۚ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٞ فَلَكُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡنَۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصِينَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٖۚ وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّكُمۡ وَلَدٞۚ فَإِن كَانَ لَكُمۡ وَلَدٞ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا تَرَكۡتُمۚ مِّنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ تُوصُونَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٖۗ ١٢

Bagi kalian (para suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istri kalian itu mempunyai anak, kalian mendapat seperempat dari harta yang mereka tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai anak, para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kalian tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kalian buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutang kalian (QS an-Nisa’ [4]: 12).

 

Juga berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud di atas.

Keempat: Wanita yang ditalak oleh suaminya setelah akad pernikahan, tetapi sebelum persenggamaan, masa ‘iddah-nya berbeda dengan wanita yang ditinggal mati suaminya. Wanita yang ditalak sebelum terjadi persenggamaan tidak memiliki masa ‘iddah. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نَكَحۡتُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقۡتُمُوهُنَّ مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمۡ عَلَيۡهِنَّ مِنۡ عِدَّةٖ تَعۡتَدُّونَهَاۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحٗا جَمِيلٗا ٤٩

Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu mencampuri mereka, maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagi kalian yang kalian minta untuk disempurnakan. Berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya (QS al-Ahzab [33]: 49).

 

Ada kondisi yang diperselisihkan, yaitu jika sebelum talak dan sebelum persenggamaan, suaminya telah berdua-duaan (ber-khalwat) dengan wanita itu. Khalwat ini menurut sebagian fuqaha mewajibkan masa ‘iddah. Saya kutipkan sebagian pendapat fikihnya dalam topik khalwat:

Dinyatakan di dalam Al-Mughni karya Ibnu Qudamah: “Masalah ia—rahimahulLâh—yang berkata: ‘Jika seorang laki-laki mentalak istrinya dan dia telah berdua-duaan (ber-khalwat) dengan dirinya, maka masa ‘iddah-nya adalah tiga kali haid selain haid yang di situ dia ditalak.’ Dalam masalah ini ada tiga pasal: Pertama, masa ‘iddah wajib bagi setiap wanita yang suaminya telah berdua-duaan (ber-khalwat) dengan dirinya meski belum menyentuhnya. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul ‘ilmi tentang kewajiban masa ‘iddah atas wanita yang ditalak setelah persenggamaan. Adapun jika suami itu ber-khalwat dengan wanita itu, tetapi dia belum menyetubuhi dirinya, kemudian dia mentalaknya, maka menurut mazhab Ahmad wajib  masa ‘iddah atas wanita itu.

Imam Ahmad dan al-Atsram meriwayatkan dengan sanad dari Zurarah bin Awfa yang berkata, “Khulafaur Rasyidin memutuskan bahwa siapa yang menutup tirai atau menutup pintu, maka telah wajib mahar dan wajib ‘iddah.” Al-Atsram juga meriwayatkan dari Al-Ahnaf dari Umar dan ‘Ali dan dari Sa’id bin al-Musayyib dari ‘Umar dan Zaid bin Tsabit.”

Yang demikian juga diriwayatkan dari Khulafaur Rasyidin, Zaid dan Ibnu ‘Umar. Itu menjadi pendapat ‘Urwah, ‘Ali bin al-Husain, Atha’, az-Zuhri, ats-Tsauri, al-Awza’i, Ishaq, Ashhabu ar-Ra’yi dan asy-Syafi’i dalam qawlul qadim.

Asy-Syafii berkata dalam qawlul jadid: Tidak ada ‘iddah atas wanita itu. Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نَكَحۡتُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقۡتُمُوهُنَّ مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمۡ عَلَيۡهِنَّ مِنۡ عِدَّةٖ تَعۡتَدُّونَهَاۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحٗا جَمِيلٗا ٤٩

Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian campuri, maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagi kalian yang kalian minta untuk disempurnakan. Berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya (QS al-Ahzab [33]: 49).

 

Ini merupakan pernyataan nas. Karena wanita yang ditalak itu belum disentuh (disetubuhi), maka menyerupai orang yang belum di-khalwat-i.

Ringkasnya, wanita yang ditalak sebelum persengamaan, tidak ada masa ‘iddah untuk dirinya kecuali jika suaminya telah berdua-duaan (ber-khalwat) dengan dia, yakni terbukti suaminya telah bertemu dengan dia di kamar dan dia menutup pintu dan berduaan saja di dalamnya. Dalam kondisi ini, bagi wanita itu ada masa ‘iddah, menurut Imam Ahmad.

WalLâh a’lam wa ahkam. []

 

[Dinukil dari Soal-Jawab Amir Hizbut Tahrir, Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 16 Dzul Qa’dah 1441 H/07 Juli 2020 M]

 

Sumber:

http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer/jurisprudence-questions/69265.html

https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/2677787155800625%D8%9F__tn__=K-R

http://archive.hizb-ut-tahrir.info/arabic/index.php/HTAmeer/QAsingle/4051

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one × 2 =

Back to top button