Fokus

HTI Layak Menang; Andai Hakim PTUN Obyektif dan Adil

Kalau Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bersikap objektif dan adil dalam sengketa pencabutan status Badan Hukum Perkumpulan (BHP) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh Menteri Hukum dan HAM, tentulah hakim mengabulkan gugatan HTI.

Kepada Majelis Hakim PTUN, HTI mengajukan dua gugatan atau petitum atas keputusan pencabutan BHP tersebut. Pertama, penundaan. Kedua, pembatalan. Sayang, setelah sidang yang berlangsung sekitar setengah tahun tersebut, hakim malah memenangkan tergugat (Pemerintah cq Menteri Hukum dan HAM).

“Memutuskan menolak gugatan penggugat (HTI) untuk seluruhnya dan membebankan biaya perkara sebesar Rp 445.000,” ujar Ketua Majelis Hakim Tri Cahya Indra Permana, Senin (7/5/2017) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur.

Kuasa hukum HTI Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra ‘memaklumi’ mengapa PTUN bersikap demikian. Memang tidak mudah bagi Pengadilan TUN menangani perkara ini. Mantan Menteri Kehakiman dan HAM—yang setidaknya tujuh kali menggugat Pemerintah ke pengadilan dan setidaknya tujuh kali pula menang tersebut—ini mengakui perkara kali ini menarik perhatian masyarakat, menyita banyak energi, menimbulkan pro-kontra yang sangat besar. Lalu Pemerintah memutuskan mencabut SK BHP HTI. Keputusan tersebut kemudian digugat ke PTUN.

“Lalu (kalau, red.) Pemerintah kalah, itu dampaknya luar biasa bagi Pemerintah. Jadi, saya menyadari tidak mudah bagi hakim untuk sepenuhnya bersikap objektif dan adil dalam mengadili perkara ini,” ungkapnya dalam jumpa wartawan sehari setelah putusan hakim, Selasa (8/5) di Kantor Pusat HTI, Jakarta Selatan.

Artinya, ada intervensi politik yang kuat sehingga membuat peradilan tak lagi independen.

 

HTI Layak Menang

PTUN adalah pengadilan yang menangani masalah tata usaha atau adminstrasi negara sehingga fokusnya pada masalah formil (prosedur). Oleh karena itu HTI mempertanyakan keabsahan sebuah surat keputusan (SK) ke PTUN. Keabsahan tersebut dilihat dari tiga indikator. Pertama, dari segi kewenangan. Kedua, dari segi prosedur. Ketiga, dari segi substansi. Dari segi kewenangan mungkin tergugat (Pemerintah) punya kewenangannya dari Perppu Ormas 2017. Namun, dari segi prosedur, tunggu dulu! Tampak Pemerintah tidak menjalankan prosedur yang berlaku.

“Itulah yang kita gugat ke PTUN!” ungkap kuasa hukum HTI Gugum Ridho Putra.

Sayang, sampai sidang terakhir sebelum sidang putusan, tidak pernah terjelaskan ada prosedur yang dijalankan. Misalnya, adakah orang HTI yang dipanggil? HTI-nya diperiksa, ditunjukkan buktinya yang dianggap melanggar itu yang mana. Itu tidak pernah dilakukan tergugat.

Bukti yang diajukan Pemerintah hanya video Muktamar Khilafah (2013) yang diselenggaran HTI dan video mahasiswa yang bersumpah akan memperjuangan tegaknya Khilafah (2016). Ada juga kitab fikih siyasi, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah (Fi al-Hukmi wal Idârah), yakni Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi), yang dikaji HTI. Itu semua, menurut kuasa hukum dan ahli dari Pemerintah, merupakan bukti yang menunjukkan HTI bertentangan dengan Pancasila sehingga Pemerintah mencabut status BHP HTI.

Menurut Gugum, bukti yang diajukan Pemerintah semuanya tidak bisa dikatakan sebagai bukti karena yang namanya bukti itu harus ada prosesnya secara formil. HTI dibubarkan tanggal 19 Juli 2017, tetapi tergugat baru mengumpulkan bukti pada 3 November 2017, padahal seharusnya sejak diterbitkan Perppu Ormas 10 Juli 2017 hingga 19 Juli 2017.

“Bayangkan, bagaimana bukti itu baru bisa dikumpulkan jauh hari setelah Hizbut Tahrir dibubarkan?” ungkapnya.

Kemudian, pada tanggal 3 November 2017 baru diminta kepada Bareskrim Polri validitas orisinalitasnya. Dijawab oleh Bareskrim Polri pada 19 Desember 2017. Jadi baru tahu bahwa bukti itu valid tanggal 19 Desember, lima bulan setelah Hizbut Tahrir dibubarkan. “Itu fatal sekali!” tegasnya.

Belum lagi dengan bukti rekaman-rekaman kegiatan itu seperti Muktamar Khilafah pada tahun 2013 dan video lawas lainnya. Semuanya terjadi jauh sebelum adanya Perppu Ormas. Jelas itu tidak bisa dijangkau oleh Perppu karena memberlakukan Perppu surut ke belakang (retroaktif) itu melanggar asas hukum dan bertentangan dengan Pasal 24D ayat 1 UUD 1945.

Dari sisi substansi, yang dikatakan Pemerintah dalam Perppu itu kan pencabutan status sekaligus pembubaran. Namun, dalam SK yang disengketakan tidak ada kata pembubaran. Yang ada pencabutan status badan hukum saja. Nah, definisi pembubaran itu seharusnya disebutkan dalam keputusan. HTI sebagai subjek hukum sejak aktanya terbit. Namun, sampai saat ini akta penerbitannya tidak pernah dibatalkan. Jadi HTI tidak pernah dibubarkan. Kalau dalam SK itu disebut “sekaligus mencabut akta” baru bisa dikatakan bubar. Namun, kan di SK itu hanya mencabut status badan hukum saja.

Lebih jauh lagi sebenarnya ke arah filsafat hukum, tetapi itu bukan domain administrasi negara.

Pada intinya Perppu itu banyak masalahnya. Perppu itu mencabut kewenangan Pengadilan. Pembubaran itu sama saja dengan menjatuhkan hukuman mati kepada individu. Menjatuhkan hukuman mati itu tidak bisa dilakukan oleh eksekutif atau legislative, tetapi harus oleh yudikatif. Jadi hakim yang mempunyai kewenangan untuk mencabut hak; hak berpolitik orang, hak kebebasan, hak berserikat. Itu semua kewenangan hakim.

Jadi Perppu itu langsung memberikan kepada menteri (eksekutif) untuk langsung mencabut hak tanpa ada proses peradilan. Itu melanggar hak asasi manusia (HAM).

Surat Pencabutan SK BHP-nya pun tidak langsung diberikan kepada pengurus HTI. Alasan Pemerintah tidak memberikan kepada pengurus HTI karena HTI sudah bubar. Sebagai subyek hukum sudah lenyap. Logika berpikirnya Pemerintah: kalau sudah lenyap, ngapain lagi kita kirim surat kepada mereka.

“Tidak begitu konsepsi hukum administrasinya. Saya juga heran, di Menkumham apakah tidak ada orang yang mengerti administrasi? Secara administratif, yang dibubarkan ini punya ‘nyawa cadangan’. Punya waktu 90 hari untuk membela diri. Jadi masih berhak menerima surat keputusan pencabutan badan hukum,” beber Gugum.

Surat pencabutan status BHP malah dikirim ke notaris. Itu pun fotokopiannya saja. “Itu salah besar!” tegas Gugum.

Notaris itu memang membantu dalam proses pendaftaran akta, tetapi notaris itu bukan advokat. Ia tidak bisa bertindak mewakili orang ataupun mewakili organisasi. Notaris itu dilarang merangkap jadi advokat.

Jadi Pemerintah salah karena melanggar asas umum pemerintahan yang baik, asas keterbukaan. Harusnya prosesnya terbuka, dikirimkan kepada orang. Orangnya diberi hak untuk membela diri.

Kesalahan substansi administratif lainnya, di dalam Surat Keputusan Pencabutan SK BHP HTI itu tidak ada pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis. Surat itu hanya berisi dasar hukum kewenangan saja.

Dari sisi yuridis, tidak cukup hanya mencantumkan kewenangan Pemerintah saja, tetapi juga harus mencantumkan pasal yang dilanggar HTI. Jadi kita tidak pernah tahu, pasal mana yang dilanggar HTI.

Sosiologisnya, ya harus mencantumkan bukti-buktinya. Ada memperhatikan, menimbang dan memutuskannya. Latar belakang menerbitkan surat keputusan pencabutan badan hukumnya itu jelas. Jadi bagi yang mau membela diri atau mengetahui lebih dalam, bisa mendapat kepastian apa permasalahannya. Tidak perlu cari-cari tahu lagi.

Sampai persidangan berakhir pun aspek sosiologis ini tidak terungkap. “Kita mengira jangan-jangan tidak ada prosesnya sama sekali, tetapi langsung main bubarkan saja. Saya melihat majelis hakim paham juga soal itu. Hakimnya juga berulang mengingatkan ini bukan sidang yang membahas persoalan-persoalan Hizbut Tahrir, tetapi ini pengadilan atas prosedur keputusan hukum. Bagaimana prosedurnya Pemerintah memutuskan membubarkan Hizbut Tahrir, saksi dan ahli dari Pemerintah tidak ada yang bisa menjelaskan,” ungkap Gugum membeberkan suasana persidangan sebelum sidang putusan hakim.

Saksi dari Pemerintah itu cuma dua. Satu orang staf administrasi Kemenkumham yang menangani pendaftaran HTI. Ketika ditanya bagaimana proses administratif pembubaran HTI, dia tidak tahu. Dia tahunya hanya proses pendaftaran.

Satu lagi Guntur Romli. Dia hanya bercerita pengalamannya bertemu Hizbut Tahrir di Mesir dan banyak mengamati Hizbut Tahrir di media sosial saja. Jelas tidak nyambung. Ahli ada sebelas. Umumnya tidak berhubungan dengan administrasi sehingga tidak relevan.

Alhasil, banyak pelanggaran asas hukum yang dilakukan Pemerintah. Sikap Pemerintah yang benar itu semestinya bukan memperba-nyak ahli, tetapi memperbanyak saksi.

“Jadi intinya secara hukum kita optimis karena lubang-lubang ini sudah kita tutup. Dari mana lagi hakim akan membela argumen Pemerintah? Kalau pengadilan bersikap yang sama dengan Pemerintah, yakni tidak menegakkan aspek keadilan dan aspek kepastian hukum yang berlaku, wah kita bingung lagi. Dengan cara hukum apalagi kita membela dirinya?” beber Gugum saat diwawancarai jelang sidang putusan.

 

Peradilan Tidak Independen

Sebagaimana publik ketahui, Majelis Hakim malah menyatakan Surat Keputusan Pencabutan SK BHP HTI yang dilakukan Menteri Hukum dan HAM itu sah dan bukti-bukti yang diajukan Pemerintah juga dapat diterima.

Padahal selain kejadiannya sudah lampau (2016/sebelum Perppu Ormas diterbitkan), video kegiatan mahasiswa di IPB itu bukanlah bagian dari kegiatan HTI. Makanya penggugat (HTI) juga merasa aneh mengapa Majelis Hakim menempatkan video tersebut sebagai bagian dari putusan. Itu tidak ada hubungannya dengan HTI. Lagi pula sebenarnya tidak ada pembaiatan. Jadi jelas sekali Majelis Hakim tidak cermat di dalam menilai bukti-bukti yang diajukan oleh tergugat (Pemerintah).

Padahal dalam persidangan, saksi fakta dari HTI menegaskan bahwa itu memang bukan kegiatan HTI dan kesaksian ini valid.

Dari segi kegiatannya juga tidak ada pembaiatan seperti yang dituduhkan tergugat (Pemerintah). Kalau majelis hakim mau sedikit menilik videonya. Sumpah tersebut adalah sumpah memperjuangkan, bukan baiat khalifah atau sumpah berdirinya Khilafah. Itu tidak ada. Itu sumpah perjuangan. Dari situ saja sudah membuktikan bahwa Majelis Hakim tidak sungguh-sungguh menilik sehingga lahirlah putusan yang menempatkan video itu sebagai bagian dari putusan.

Lantas apa yang menyebabkan hakim tidak cermat dan tidak sungguh-sungguh menilik video? “Karena dia telah mengikuti kerangka berpikir dan prespektif Pemerintah!” tegas Juru Bicara HTI Muhammad Ismail Yusanto.

Video lainnya, yakni Muktamar Khilafah pada 2013, memang diselenggarakan HTI. Itu dilakukan setelah mendapatkan izin. Berjalan dengan tertib, damai, hadir aparat ikut mengamankan. Tidak ada masalah setelah itu. Bahkan dilakukan siaran tunda di TVRI.

Tidak ada yang dipermasalahkan karena memang tidak ada masalah. Jadi tidak ada putusan pengadilan yang mempermasalahkan. Bahkan sekadar diperiksa saja tidak ada sama sekali. Setahun kemudian, tepatnya pada 2014, HTI malah mendapatkan SK BHP dari Pemerintah.

Makanya pihak tergugat (Pemerintah) juga tidak bisa menunjukkan bukti bahwa HTI pernah diperingatkan. Artinya, itu dulu kegiatan dilakukan dengan baik dan benar. Lantas bagaimana bisa kegiatan yang dulu dibilang baik dan benar, sekarang ditarik sebagai bukti bahwa HTI salah?

“Itu sama saja seperti Anda berjalan dalam sebuah jalan. Tidak ada tanda perboden dan juga tidak ditilang polisi. Nah, beberapa tahun kemudian Anda ditilang dengan alasan perbuatan tersebut melanggar tanda perboden dan tanda perbodennya baru dipasang kemarin sore. Anda terima tidak? Nah, itu nasib Hizbut Tahrir seperti itu,” jelasnya dalam jumpa wartawan, Selasa (8/5) di Kantor Pusat HTI, Jakarta Selatan.

Menjadikan kitab fikih sebagai bukti juga jelas keliru. Pasalnya, kitab tersebut bukanlah peristiwa hukum (fakta) melainkan sekadar referensi ilmiah. Referensi ilmiah itu pun tidak pernah dikonfirmasi secara sah melalui pemeriksaan yang fair dan objektif serta tidak pernah dinyatakan pengadilan sebagai buku terlarang.

Perppu Ormas 2017, yang kini menjadi UU Ormas pengganti UU Ormas 2013, merupakan salah satu bukti telah lahirnya rezim dictator. Rezim ini bisa membubarkan ormas mana pun kapan saja dengan alasan bertentangan dengan Pancasila tanpa harus dibuktikan terlebih dulu di Pengadilan.

Dalam pembubarannya, Pemerintah pun tidak mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Salah satunya seperti dalam kasus pencabutan SK BHP HTI. Parahnya, PTUN malah mengamini tindakan Pemerintah yang represif dan melanggar hukum tersebut.

Bahkan, dalam putusannya, sang hakim melampaui kewenangannya. Ia mempidana perjuangan penegakan Khilafah yang dilakukan HTI tanpa kekerasan dan tanpa melanggar hukum yang berlaku di NKRI. Ini bahkan dinilai sebagai extra ordinary crime (kejahatan yang luar biasa). Padahal Khilafah adalah ajaran Islam di bidang pemerintahan yang wajib ditegakkan. HTI hanya mendakwahkan kewajiban tersebut.

Menunjukkan negara hukum (rechstaat) ini telah berubah menjadi negara otoriter/kekuasaan (machstaat) yang represif dan anti Islam. Parahnya, ini didukung pula oleh Pengadilan yang tidak lagi independen.

Tentu itu merupakan suatu kezaliman yang sangat besar. Oleh karena itu HTI akan melawan kezaliman tersebut. Secara hukum akan mengajukan banding, kasasi bahkan PK. Di luar itu tentu saja HTI akan terus mendakwahkan kewajiban yang mulia ini dengan metode yang telah digariskan Rasulullah saw. yakni berjuang tanpa kekerasan hingga Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah tegak.

“Berdakwah itu bukan karena keputusan atau vonis manusia. Kita itu berdakwah karena Allah SWT. Khilafah itu adalah kewajiban dari Allah, bukan kewajiban dari Hizbut Tahrir sendiri. Maka dari itu, apapun perkataan manusia tentang kegiatan Hizbut Tahrir, perjuangan itu akan terus kita jalankan. Berhasil atau kita binasa,” ujar Ketua HTI KH Muhammad Shiddiq al-Jawi, Senin (7/5) sesaat usai sidang. [Joko Prasetyo]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

12 − seven =

Back to top button