Menang Di Sisi Allah SWT
Hari itu, 7 Mei 2018, adalah hari pembacaan keputusan gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di PTUN tentang penundaan dan pembatalan pencabutan status Badan Hukum Perkumpulan (BHP). Keputusannya, gugatan HTI ditolak oleh majelis hakim.
Wakil Ketua MPR, Fadli Zon menyayangkan, “Tidak boleh ada organisasi yang diberangus oleh negara hanya karena perbedaan-perbedaan pendapat dan sikap.”
Yusril Ihza Mahendra yang juga kuasa hukum HTI melihat banyak kejanggalan dalam keputusan hakim. Di antaranya: Pertama, hakim terlalu banyak mengambil kutipan ahli dari pihak tergugat. Kedua, hakim terlalu banyak mengutip isi dari buku dalam pertimbangannya, padahal buku tidak dapat menjadi alat bukti. Buku hanya menjadi rujukan dalam persidangan. “Saya jujur kemarin bingung. Mau mengadili surat keputusan atau mengadili buku bacaan? Ini aneh buat saya,” urainya.
Ketiga, hakim juga tidak mempertimbangkan keterangan saksi fakta yang menjabarkan bahwa sama sekali tidak ada agenda makar atau mempertentangkan Pancasila dalam semua kajian HTI.
Keempat, hakim dinilai telah melampaui kewenangannya karena sudah masuk ke dalam substansi pembubaran. Padahal kewenangan mereka hanya pada administrasi.
Ada pemandangan tidak biasa saat itu di pelataran Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta. Masyarakat bersujud. Ternyata, mereka adalah para ulama, kiai dan para pendukung HTI. Seorang wartawan bergumam, “Aneh, wong gugatannya ditolak kok malah sujud syukur. Di luar nalar.”
Memang agak mengherankan, musibah datang, sebut saja begitu, kok malah sujud syukur. Kok bisa? Ustadz Rokhmat S. Labib menegaskan, “Saudara-saudara, barusan sudah sama-sama kita ketahui, gugatan kita ditolak. Ternyata, alasan penolakan tersebut adalah karena kita memperjuangkan Islam. Gugatan kita ditolak karena kita memperjuangkan syariah Islam dan berusaha menyatukan umat dalam Khilafah.”
Beliau segera menambahkan, “Jadi, pengadilan membuktikan bahwa kita ini pejuang Islam. Kita berjuang untuk Islam tanpa kekerasan. Untuk itulah kita melakukan sujud syukur.”
Suara takbir pun membahana. “Kami bersyukur karena berhasil menunjukkan bahwa rezim saat ini memang anti-Islam,” ujar Kiai Asep dari Jawa Barat.
“Kami sudah berupaya sekuat tenaga. Namun, apapun hasilnya, pasti itu yang terbaik. Kita menerima apapun ketetapan dari Allah SWT. Qadhâ’ baik dan buruk itu hakikatnya dari Allah,” ungkap Dede.
Juru Bicara HTI, Ustadz Muhammad Ismail Yusanto menegaskan, “Kita menolak keputusan ini. Penolakan itu kita wujudkan dengan kita ajukan banding.”
Mereka pun pulang dengan tenang. Tampak dada mereka tegak, tak terlihat rasa kecewa apalagi sedih hati. Mereka yakin betul akan firman Allah SWT (yang artinya: Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal sesuatu itu lebih baik bagi kalian. Boleh jadi kalian mencintai sesuatu, padahal sesuatu itu buruk bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 216).
Begitu juga firman-Nya (yang artinya): Boleh jadi kalian membenci sesuatu, sementara Allah menjadikan di dalamnya kebaikan yang banyak (TQS an-Nisa’ [4]: 19).
Itu pada satu sisi. Pada sisi lain, betapa menakjubkan sikap mereka itu. Imam Ibnu al-Qayyim menyatakan bahwa sikap atas musibah yang menimpa seorang hamba ada empat tingkatan atau maqam. Pertama, tingkatan lemah. Tingkatan ini berupa keluh-kesah atau marah. Hal demikian tidak dilakukan kecuali oleh orang yang lemah akal, agama dan kehormatan (murû’ah)-nya. Kedua, sabar. Ketiga, ridha atas musibah itu. Ridha ini lebih tinggi daripada tingkatan sabar. Keempat, tingkatan tertinggi, adalah bersyukur. Tidak ada kenikmatan kecuali di dalamnya terdapat musibah. Begitu juga tidak ada musibah kecuali di dalamnya ada kenikmatan. Karena itu ia akan bersabar sekaligus bersyukur.
Rupanya, dari pandangan tasawuf, sikap para pendukung HTI itu berada pada maqam keempat, maqam tertinggi. Barangkali, inilah kekuatan dahsyat itu, yakni idrak silah bilLâh; kekuatan saat seseorang selalu berhubungan dengan Allah SWT, Zat Maha Gagah Perkasa. Inilah kekuatan akidah. Kekuatan yang lahir dari kecintaan kepada Allah SWT. SubhânalLâh walhamdulilLâh walLâhu akbar.
Berkaitan dengan hal ini, da’i muda yang tengah kondang, Gus Nur menyatakan, “Kita, kalau melihat, jangan hanya yang lahir, tapi juga yang tidak kelihatan. Boleh jadi di pengadilan HTI ditolak gugatannya, dianggap kalah, namun HTI justru menang di sisi Allah SWT.”
Mendengar ungkapan Gus Nur tersebut saya teringat pada peristiwa Perjanjian Hudaybiyah. Khususnya terkait ‘boleh jadi secara lahir kelihatan kalah namun sesungguhnya menang di mata Allah Rabbul ‘Alamin’.
Dulu dalam perjanjian tersebut disebutkan: (1) ini perjanjian damai, tidak boleh ada perang; (2) orang Quraisy yang masuk Islam harus dikembalikan kepada Quraisy, sementara orang Islam yang keluar dari agamanya tidak harus dikembalikan; (3) orang Arab yang ingin bergabung dengan Muhammad silakan, yang ingin bergabung dengan Quraisy silakan; (4) Muhammad harus pulang ke Makkah tahun ini, tidak melakukan umrah/haji, dan boleh datang masuk Makkah tahun depan selama tiga hari tanpa membawa senjata selain golok yang tersarung; (5) perjanjian ini berlaku 10 tahun.
Mayoritas sahabat keberatan dengan perjanjian tersebut. Secara manusiawi, wajar belaka bila mereka merasa kalah. Mereka pun pulang menuju Madinah al-Munawwarah. Di tengah perjalanan ke Madinah turunlah surat al-Fath. Surat itu mengabarkan Perjanjian Hudaibiyah adalah kemenangan bagi kaum Muslim. Mereka pun bergembira. Sejarah pun mencatat, Peristiwa Hudaybiyah itu merupakan gerbang kemenangan hingga terjadinya Futuh Makkah.
Ya, di mata manusia, secara lahiriah boleh jadi kalah, namun di sisi Allah SWT mereka justru para pemenang. [Dr. M. R. Kurnia]