Fokus

Perubahan Tatanan Dunia Pasca Corona

Wabah Covid-19 yang sudah berlangsung beberapa bulan menimbulkan spekulasi bahwa wabah ini akan memberikan perubahan tatanan secara global. Tidak hanya berdampak terhadap aspek kesehatan saja karena menimbulkan kemasifan dalam tingkat penyebaran dan kematian jiwa. Wabah juga memberikan dampak sistemik, baik persoalan ekonomi, sosial budaya, bahkan politik.

 

Dampak Ekonomi

Aktivitas ekonomi yang terpaksa berhenti tentu memberikan dampak terhadap perputaran roda ekonomi secara global. Masalah utang yang tinggi, penurunan harga akibat deflasi dan tingkat pengangguran yang meroket akan menghambat pemulihan ekonomi secara global usai pandemi Covid-19.

Bagi beberapa kalangan, kondisi wabah saat ini akan memberikan tantangan ekonomi sebagaimana dulu terjadi pada tahun 1930-an.

Selama masa Great Depression, di Amerika Serikat, misalnya, pengangguran tidak meningkat dengan kecepatan yang hampir sama dengan sekarang. Selama enam minggu terakhir, ketika Amerika Serikat memberlakukan lockdown, sejumlah 30 juta orang atau sekitar satu dari lima pekerja Amerika telah dipaksa untuk mengajukan tunjangan pengangguran. Sangat mungkin, tingkat pengangguran AS akan memuncak di atas 20 persen dari angkatan kerja.

 

Dampak Politik

Secara politik, wabah ini menguji kapabilitas dari suatu negara. Menguji kesigapan dan kemampuan untuk menangani krisis secara cepat dengan berbagai kebijakannya.

Hampir tidak ada negara yang selamat seiring pandemi COVID-19 yang telah menyebar ke seluruh dunia. Tanggapan terhadap wabah sangat berbeda dari satu negara ke negara lain. Karantina dan penguncian wilayah telah dilakukan di mana-mana. Meski demikian, ada perbedaan tingkat keparahannya.

Di Afrika Selatan, puluhan ribu tentara telah diminta menegakkan salah satu penguncian wilayah paling ketat di dunia. Negara-negara seperti Korea Selatan dan Taiwan telah berhasil menahan wabah tanpa menutup semua tempat dan aktivitas publik.

Di India, pada 24 Maret 2020, masyarakat hanya mendapatkan pemberitahuan empat jam sebelumnya oleh Perdana Menteri Narendra Modi bahwa India akan menerapkan lockdown. Keputusan itu membatasi 1,3 miliar orang pulang ke rumah mereka selama 21 hari. Jam malam diberlakukan. Sebagian besar bisnis ditutup. Akibatnya, sejumlah besar orang kehilangan pekerjaan. Jumlah terbaru orang yang menganggur adalah 140 juta. Langkah-langkah penguncian wilayah juga menimbulkan migrasi internal besar-besaran ketika orang-orang India melarikan diri dari kota-kota untuk kembali ke desa mereka. Akibatnya, beberapa daerah yang paling ramai di dunia menjadi sunyi.

Pembatasan pergerakan dan penguncian India (yang mulai mereda minggu ini) adalah salah satu yang paling ketat di dunia. Sejumlah video menunjukkan polisi memukul dan mencambuk orang-orang yang ketahuan melanggar aturan.

 

Dampak Sosial-Budaya

Pola interaksi sosial pun terdampak akibat wabah ini. Kekhawatiran penyebaran virus melahirkan berbagai protokol kesehatan. Social distancing yang kemudian dikoreksi menjadi physical distancing menjadikan interaksi sosial menjadi terbatas. Berbagai larangan untuk berkumpul menjadikan arena-arena publik dihindari untuk didatangi.

Tidak hanya tempat untuk interaksi ekonomi dan sosial, juga tempat-tempat ibadah. Negara-negara Muslim mulai melarang salat bersama di masjid mana pun. Di Turki, misalnya, Ali Erbas, Kepala Urusan Agama Turki, telah menyampaikan bahwa Islam tidak mau membahayakan hidup manusia. Semua ibadah di masjid telah ditangguhkan. Negara-negara lain yang sekarang telah melarang shalat berjamaah adalah Lebanon, Irak, Mesir dan Yordania. Ada pula larangan parsial untuk jamaah dan salat di masjid-masjid Arab Saudi (termasuk di Makkah dan Madinah), Iran, Sudan, Nigeria, Rwanda, Kenya dan Kuwait.

Aktivitas transportasi publik juga mengalami pembatasan. Berbagai penerbangan telah dilarang. Upaya ini dilakukan oleh beberapa negara untuk mencegah impor virus melalui imigrasi. Ada pula negara-negara seperti Pakistan, Afghanistan, Bangladesh dan beberapa negara yang belum memulai tindakan efektif untuk menahan tren tersebut.

Isu rasialis juga menyertai wabah Covid-19. Sebanyak 200 juta umat Muslim India menghadapi tantangan unik selama pandemi: kekerasan dan pelecehan. Sebagai minoritas agama terbesar di negara itu, umat Muslim telah dikambinghitamkan dan dituduh menyebarkan virus. Tuduhan itu dipicu oleh berita televisi dan beberapa anggota Partai Bharatiya Janata yang berkuasa. Klaim palsu itu juga menyebar luas di media sosial.

Hal serupa berupa hoax terkait dengan wabah—pengaitan dengan isu konspirasi global, ramalan masa depan, tips pengobatan mujarab—menjadi  fenomena lain dari wabah ini.

 

Mengubah Tatanan Politik

Ketika peradaban manusia berkembang, demikian pula penyakit menular. Sejumlah besar orang yang hidup berdekatan satu sama lain dan memelihara hewan sering dihadapkan pada sanitasi dan nutrisi yang buruk. Ini menyediakan tempat subur bagi berkembangnya pelbagai penyakit. Ini ditambah rute perdagangan luar negeri yang menyebarkan infeksi baru ke mana-mana sehingga menciptakan pandemi global pertama.

Para ilmuwan dan peneliti medis selama bertahun-tahun berbeda pendapat tentang definisi yang tepat dari pandemi (apakah itu pandemi, atau epidemi). Namun, satu hal yang disetujui semua orang, frasa tersebut menggambarkan penyebaran penyakit secara luas, melebihi apa yang biasanya secara geografis.

Kolera, wabah pes, cacar dan influenza adalah beberapa ‘pembunuh’ lintas batas paling brutal dalam sejarah manusia.

Kolera merupakan penyakit menular yang berulang dalam sejarah manusia. Kolera telah mengalami tujuh kali pandemi dengan korban total jutaan manusia. Namun demikian, penyakit ini telah mendorong pengetahuan baru mengenai pentingnya kesehatan masyarakat. Kini negara yang memperhatikan sanitasi sudah tidak ada lagi yang terkena wabah ini. Sebaliknya, negara miskin, dengan satitasi minim, masih mendapati wabah menimpa rakyatnya.

Flu hampir sama dengan kolera. Sama-sama menjadi ancaman pandemi yang berulang. Dengan berbagai nama; Flu Asia, Flu Rusia, Flu Hongkong (1968) dengan korban yang juga jutaan jiwa. Apalagi Flu Spanyol (1918) dengan menginfeksi lebih dari sepertiga populasi dunia. Sekitar 500 juta orang dan dengan kematian 20-50 juta jiwa. Terjadi menjelang Perang Dunia I. Berkelindan dengan problematika politik. Ini memberikan pengaruh pada perubahan tatanan politik global.

Namun demikian, berbagai wabah ini tidak semuanya memberikan dampak secara politik. Apalagi politik secara global. Beberapa di antaranya:

Pertama, Wabah Antonine atau Galen (165 M). Ini adalah pandemi kuno yang mempengaruhi kawasan Asia Kecil, Mesir, Yunani dan Italia. Wabah ini diduga sejenis cacar atau campak. Penyebab sebenarnya masih belum diketahui. Penyakit tak dikenal ini dibawa kembali ke Roma oleh tentara yang kembali dari Mesopotamia sekitar 165 M. Tanpa sadar, mereka telah menyebarkan penyakit yang akhirnya akan menewaskan lebih dari 5 juta orang dan menghancurkan tentara Romawi. Wabah ini mengubah konstelasi politik di kawasan tersebut.

Kedua, Wabah Justinian. Wabah Justinian terjadi di Konstantinopel, Ibukota Kekaisaran Bizantium, pada 541 Masehi. Ia dibawa dari utusan yang menumpang kapal melintasi Laut Mediterania dari Mesir. Sebuah tanah yang baru saja ditaklukkan dan membayar upeti kepada Kaisar Justinian. Kutu yang ada pada tikus hitamlah yang jadi dalang penyakit. Wabah itu menghancurkan Konstantinopel dan menyebar seperti api ke seluruh Eropa, Asia, Afrika Utara dan Arab. Wabah ini menewaskan sekitar 30 hingga 50 juta orang atau setengah dari populasi dunia. Di Kota Konstantinopel, pada puncaknya wabah membunuh 5.000 orang perhari dan akhirnya mengakibatkan kematian 40 persen dari populasi kota. Episode wabah berkontribusi pada melemahnya Kekaisaran Bizantium dalam bidang politik dan ekonomi. Ketika penyakit menyebar ke seluruh dunia Mediterania, kemampuan Kekaisaran untuk melawan musuh-musuhnya melemah. Sektor pertanian hancur dan perdagangan terganggu. Wabah tersebut berlangsung selama 225 tahun dan berhenti pada tahun 750 M.

Ketiga, Black Death. Dari 1346 hingga 1353. Wabah itu menghancurkan Eropa, Afrika dan Asia. Jumlah korban jiwa diperkirakan antara 75 dan 200 juta orang. Dua pertiga penduduk Eropa. Diduga kuat, wabah berasal dari Asia, yang kemungkinan besar melompat benua melalui kutu yang hidup di tikus yang begitu sering hidup di atas kapal dagang. Pelabuhan, yang menjadi pusat kota besar pada saat itu, adalah tempat berkembang biak yang sempurna untuk tikus dan kutu. Akibatnya, bakteri berbahaya berkembang. Menghancurkan tiga benua. Wabah ini telah memunculkan sinisme terhadap pejabat agama yang tidak bisa menepati janji mereka untuk menyembuhkan korban wabah dan mengusir penyakit. Perdebatan antara kalangan ilmuwan dan agamawan di Eropa pun semakin menajam. Kemudian lahirlah perang 30 tahun di Eropa yang diakhiri dengan Perjanjian Westphalia yang menelorkan dua prinsip dasar kehidupan politik modern; sekularisme dan nasionalisme.

Keempat, Cacar. Cacar adalah endemi yang menjalar di Eropa, Asia dan Arabia selama berabad-abad. Cacar menjadi ancaman yang terus-menerus hingga menewaskan tiga dari sepuluh orang yang terinfeksi. Penyakit ini juga meninggalkan penderitanya dengan bekas luka bopeng. Namun, tingkat kematian pada masa lalu lebih banyak dibandingkan dengan kerusakan yang ditimbulkan pada populasi asli di Dunia Baru ketika virus cacar tiba pada abad ke-15 dengan penjelajah Eropa pertama. Masyarakat adat Meksiko modern dan Amerika Serikat saat ini tidak memiliki kekebalan alami terhadap cacar dan virusnya telah mengurangi jumlah mereka hingga puluhan juta jiwa. Cacar yang melanda dunia baru ini telah mempercepat punahnya penduduk asli yang tidak memiliki kekebalan yang kuat terhadap penyakit ini dan kemudian menjadikan benua ini adalah benua Barat.

Kelima, Pandemi HIV/Aids (2005-2012). Sejak pertama kali diidentifikasi di Republik Demokratik Kongo pada 1976, HIV/AIDS telah benar-benar membuktikan dirinya sebagai pandemi global, menewaskan lebih dari 36 juta orang sejak 1981. Saat ini ada antara 31 dan 35 juta orang yang hidup dengan HIV. Sebagian besar dari mereka berada di Afrika Sub-Sahara. Di sana 5 persen dari populasi terinfeksi atau sekitar 21 juta orang. Dengan penyebab yang sudah diketahui, semestinya kesadaran terhadap bahaya penyakit ini tumbuh. Alih-alih demikian, justru pengabaian telah menjadikan penyakit ini terus berkembang dengan pengendalian program-program yang berusaha mengadaptasi dengan penyakit ini. Bukan memberantasnya.

 

Menakar Perubahan Dunia Pasca Corona

  1. Resesi Dunia.

Hampir dapat dipastikan bahwa Wabah Corona (Covid-19) ini menimbulkan resesi ekonomi. Bukan hanya menimpa satu negara saja, namun secara global. Resesi ini sudah diprediksikan banyak kalangan. Roda perekonomian, faktor produksi barang dan jasa dan distribusi berhenti. Faktor konsumsi pun semakin terbatas. Sudah dipastikan resesi terjadi.

Wabah ini belum dapat diperkirakan kapan berhenti. Dengan karakter wabah menular yang meniscayakan pembatasan interaksi, tidak mudah untuk kembali membangkitkan roda perekonomian dunia. Penyesuaian-penyesuaian terus dilakukan, namun masih belum menemukan bentuk ‘new normal’-nya.

 

  1. Kepemimpinan Amerika Serikat.

Kapitalisme global yang dipimpin Amerika Serikat merasakan terpaan yang luar biasa. Dengan status sebagai negara adidaya, dibandingkan dengan status negara lain semisal Vietnam, sebagai contoh, AS tidak bergerak secepat Vietnam dalam menanggapi ancaman potensial COVID-19 di awal. Terlambatnya tindakan tidak diragukan lagi berkontribusi pada tingginya kematian AS.

AS juga tidak mengoordinasikan informasi kesehatan dan keselamatan kepada publik melalui siaran, media cetak, poster jalanan, dan peringatan di mana-mana, seperti yang dilakukan Vietnam. Gencarnya informasi itu bahkan dilakukan dalam skala yang mencerminkan upaya mobilisasi massa selama perang.

 

  1. Adidaya Baru.

Cina dianggap muncul sebagai salah satu kutub terkuat yang memperebutkan hegemoni AS. Interaksi Cina di berbagai kawasan terus meningkat. Terutama di Eropa bagian Selatan dan Timur, Afrika, Asia Tengah, Selatan dan Tenggara serta Amerika Latin. Negara-negara di kawasan tersebut telah saling terhubung dalam perdagangan dan investasi dengan Cina. Pesaingan dagang antara Cina dengan Amerika Serikat semakin kentara ketika Cina menjadi negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi. Pertumbuhan ekonomi ini berimplikasi pada peningkatan kapasitas negara dengan proses penguatan di berbagai sektor lainnya. Jadilah Cina mulai menjadi emerging state yang bergeser dari Regional Power State menuju Global Power. Hanya saja, minimnya pengalaman Cina dikancah global, terutama dalam konflik internasional, menjadikan China masih diragukan untuk dapat menggeser hemegoni AS sebagai pemimpin Kapitalisme global. Upaya Cina menggandeng Brazil, Rusia, India dan Afrika Selatan untuk membangun poros ekonomi baru dengan BRICS-nya masih dipertanyakan efektivitasnya. Apalagi mereka belum bisa melepaskan diri dari kerangka sistem Brettonwoods yang menjadi pondasi Kapitalisme global.

India bergerak masih jauh terbelakang dibandingkan Cina. Dengan potensi yang hampir mirip, India tidak se-‘lincah’ Cina. Walau demikian, eksistensi regional power, dengan sparing-nya Pakistan, menjadikan India kekuatan yang juga memiliki potensi.

Bila merujuk pada prediksi NIC maka hanya Khilafah State yang belum memiliki pondasi realitas dalam konteks kenegaraan. Walau secara historis keberadaannya sulit hilang dalam benak pertarungan peradaban besar, kini terserak dalam gagasan yang terus terwacana.

Wabah memang tidak serta-merta akan melahirkan adidaya baru. Namun, ia akan menguji kapabilitas negara. Negara lemah akan segera runtuh. Negara kuat akan terlemahkan. Potensi yang ‘ngadodoho’ bersiap mengambil-alih peradaban. Mengubah peradaban rusak menjadi peradaban yang membawa rahmat bagi sekalian alam.

WalLahu ’alam bi ash-shawab. [H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × one =

Back to top button