Hadis Pilihan

Al-Luqathah (Barang Temuan)

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلَهُ عَنْ اللُّقَطَةِ، فَقَال: اعْرِفْ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا، ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً، فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا فَشَأْنَكَ بِهَا

Zaid bin Khalid al-Juhani berkata: Seorang laki-laki pernah datang kepada Rasulullah saw. Lalu dia bertanya tentang luqathah. Beliau bersabda, “Kenalilah wadahnya dan tali pengikatnya, kemudian umumkan selama setahun. Jika datang pemiliknya (maka berikan). Jika tidak maka luqathah itu urusanmu.”  (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan asy-Syafi’i).

 

Di dalam redaksi lainnya Rasul saw. bersabda:

عَرِّفْهَا سَنَةً ثُمَّ اعْرِفْ وِكَاءَهَا وَوِعَاءَهَا وَعِفَاصَهَا ثُمَّ اسْتَنْفِقْ بِهَا فَإِنْ جَاءَ رَبُّهَا فَأَدِّهَا إِلَيْهِ

Umumkan setahun. Kemudian kenalilah tali pengikat wadahnya, wadahnya dan tali penutupnya. Lalu belanjakanlah. Jika datang pemiliknya maka serahkan kepada dia (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

 

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash ra. bahwa Rasul saw. pernah ditanya tentang luqathah. Beliau bersabda:

مَا كَانَ مِنْهَا فِي طَرِيقِ الْمِيتَاءِ أَوْ الْقَرْيَةِ الْجَامِعَةِ فَعَرِّفْهَا سَنَةً فَإِنْ جَاءَ طَالِبُهَا فَادْفَعْهَا إِلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَأْتِ فَهِيَ لَكَ وَمَا كَانَ فِي الْخَرَابِ يَعْنِي فَفِيهَا وَفِي الرِّكَازِ الْخُمُس

Apa yang ada di jalan yang dilalui atau kampung yang ditinggali maka umumkan selama setahun. Jika datang orang yang mencarinya maka serahkan kepada dia. Jika tidak ada yang datang maka itu untukmu. Apa yang di reruntuhan, maka di dalamnya, dan di dalam rikaz, ada khumus (HR Abu Dawud).

 

Abu Hurairah ra. juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya tentang luqathah. Beliau bersabda:

تُعَرَّفُ وَلَا تُغَيَّبُ، وَلَا تُكْتَمُ، فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا، وَإِلَّا فَهُوَ مَالُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ

Umumkanlah. Jangan dihilangkan dan jangan ditutupi. Jika datang pemiliknya (maka berikanlah). Jika tidak maka itu merupakan harta Allah yang Dia datangkan kepada orang yang Dia kehendaki (HR al-Hakim).

 

Imam al-Hakim meriwayatkan hadis ini di dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn. Ia berkata, “Ini adalah hadis shahih menurut syarat Muslim meski al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya.”

Imam adz-Dzahabi berkomentar, “Menurut syarat Muslim.”

Al-Luqathah berasal dari kata laqatha–yalquthu–laqth[an]. Ibnu Manzhur di dalam Lisân al-‘Arab menyatakan, al-laqthu maknanya mengambil sesuatu dari tanah. Laqathahu yalquthuhu laqth[an] wa iltaqathahu, maknanya: mengambilnya dari tanah. Al-Luqathah adalah sebutan harta al-malqûth, yakni yang ditemukan (mawjûd).

Menurut Ibnu Duraid al-Azdi (w. 321 H) di dalam Jumhurah al-Lughah, al-luqathah adalah apa yang dipungut orang dari tanah sehingga perlu diumumkan. Menurut al-Jurjani (w. 816 H) di dalam At-Ta’rifât, al-luqathah adalah harta yang ada di tanah dan tidak diketahui pemiliknya. Menurut Rawas Qal’ah Ji di Mu’jam Lughah al-Fuqahâ‘, al-luqathah berasal dari laqatha asy-syay‘a jika dia mengangkatnya dari tanah. Al-Luqathah adalah harta yang ditemukan, dibuang di jalan dan semacamnya dan tidak diketahui pemiliknya.

Sabda Rasul a’rif ‘ifâshahâ wa wikâ`ahâ dimaksudkan agar barang itu dikenali sifat-sifatnya, termasuk wadahnya. Hal itu untuk dua tujuan: Pertama, untuk mengetahui kejujuran atau kebohongan orang yang mengakui itu barangnya yang jatuh. Kedua agar tidak bercampur dengan harta si penemunya.

Tsumma ‘arrifhâ sanatan (lalu umumkan setahun). Ini adalah perintah agar harta itu diumumkan di tengah khalayak. Menurut Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim, ini hukumnya wajib menurut ijmak.

Fa ‘in jâ‘a shâhibuhâ (jika datang pemiliknya [maka serahkan kepada dia]). Tentu setelah diketahui minimal ghalabah azh-zhann (dugaan kuat) akan kebenaran atau kejujuran pengakuannya bahwa itu miliknya.

Wa illâ fasya’nuka bihâ (jika tidak datang maka luqathah itu urusanmu). Maknanya, jika selama setahun tidak ada pemilik barang itu yang datang mengakuinya, maka kamu boleh memilikinya.

Imam at-Tirmidzi menyatakan setelah meriwayatkan hadis tersebut, “Amal berdasarkan hadis ini, menurut sebagian ahlul ‘ilmi dari kalangan Sahabat Nabi saw. dan selain mereka, mereka memberikan rukhshah dalam luqathah jika telah diumumkan setahun dan tidak ada orang yang mengenalinya (mengakui sebagai miliknya), orang yang menemukan boleh memanfaatkannya. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.

Makna fasya’nuka bihâ adalah bahwa luqathah, jika setelah diumumkan setahun tidak ada yang mengakuinya, maka boleh dimiliki. Hal itu dikuatkan dalam riwayat al-Bukhari no. 2438 dan 6112, Muslim 1722 dan Abu Dawud no. 1704 dengan lafal istanfiq bihâ (maka belanjakanlah); riwayat Abdullah bin Amru bin al-‘Ash “fahiya laka” berupa lâm al-milk (huruf lâm yang menunjukkan milik); riwayat Abu Hurairah di atas “itu harta Allah yang didatangkan kepada siapa yang Dia kehendaki”; riwayat al-Bukhari no. 5292 dan Ibnu Majah non. 2504 dengan lafal “fa [a]khlithhâ bi mâlika (maka campurlah dengan hartamu); dan riwayat Muslim no. 1722, Ibnu Majah no. 2507 dan Abu Dawud no. 1706: tsumma kulhâ (lalu makanlah).

Semua itu merupakan bentuk tasharruf atas harta temuan itu layaknya tasharruf oleh pemiliknya.

Dengan demikian luqathah itu termasuk salah satu sebab kepemilikan individu atas harta yang ditemukan itu. Hal itu setelah diumumkan setahun kepada khalayak dan tidak ada yang mengklaimnya.

Itu jika harta itu bisa disimpan setahun. Jika tidak mungkin disimpan setahun, maka yang menemukan boleh memanfaatkannya dan menjamin harganya atau menjualnya dan menyimpan harga hasil penjualan itu selama setahun.

Kewajiban diumumkan dan ditahan setahun itu bagi harta yang biasanya dicari oleh pemiliknya jika hilang atau terjatuh. Ini jelas dipahami dari hadis-hadis di atas. Hadis di atas sekaligus mengisyaratkan bahwa jika harta itu biasanya menurut ‘urf tidak dicari, misalnya karena murah, sederhana atau sepele, maka tidak perlu diumumkan, melainkan boleh langsung dimiliki. Ukuran atau kadar harta yang seperti itu mengikuti ‘urf di masyarakat.

WalLah a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 × one =

Back to top button