Takrifat

Al-Manthûq

Memahami nas berarti memahami makna yang ditunjukkan oleh lafal dan kalimat di dalam nas itu. Makna ini disebut juga madlûl yang diketahui dari dalâlah, yakni penunjukkan lafal atas makna.

Penunjukkan lafal itu ada kalanya melalui dalâlah lafal atas madlûl-nya, yakni dari sisi makna yang ditunjukkan oleh lafal, atau al-manthûq. Ada kalanya melalui dalâlah madlûl atas madlûl lain atau al-mafhûm. Artinya, dari sisi makna yang ditunjukkan oleh makna lafal, bukan oleh lafal itu sendiri. Penunjukkan makna lafal secara manthûq dan secara mafhûm itulah yang dipegang oleh jumhur ushuliyyun (jumhur ulama ushul).

Penunjukkan atau dalâlah lafal menurut para ulama ushul ada tiga bentuk: dalâlah al-muthâbaqah, dalâlah at-tadhammun dan dalâlah al-iltizâm.

Pertama: Dalâlah al-muthâbaqah, yaitu penunjukkan lafal atas makna secara sempurna atau keseluruhan. Misalnya, dalâlah lafal al-insân menunjuk pada hewan yang berakal secara keseluruhan. Disebut al-muthâbaqah karena dalalah-nya thâbiq (berlaku) atas maknanya secara sempurna.

Kedua: Dalâlah at-tadhammun, yaitu penunjukkan lafal pada sebagian maknanya. Contohnya, lafal al-insân yang hanya menunjuk pada manusia saja, yakni hanya sebagian hewan berakal, artinya hanya sebagian dari maknanya.

Kedua bentuk dalâlah ini, yakni dalâlah al-muthâbaqah dan dalâlah at-tadhammun, penunjukannya berasal dari lafal. Artinya, maknanya ditunjukkan oleh lafal itu sendiri.

Ketiga: Dalâlah al-iltizâm, yaitu penunjukkan lafal pada kelaziman maknanya. Contohnya, lafal al-asad untuk menunjukkan keberanian (syujâ’ah). Disebut dalâlah al-iltizâm karena konotasi yang ditunjuk itu menjadi lâzim, yakni yang tidak bisa dipisahkan dari konotasinya, atau terkait erat dengannya, sebagai keharusan atau tuntutan dari konotasinya. Keterkaitan atau keharusan (al-luzûm) itu adalah al-luzûm adz-dzihni (keterkaitan/keharusan di dalam benak). Artinya, konotasinya langsung terlintas di dalam benak ketika mendengar lafal itu. Konotasi yang ditunjukkan oleh bentuk dalâlah ketiga ini tidak ditunjukkan oleh lafalnya secara langsung, tetapi ditunjukkan oleh makna dari lafal itu.

Kelaziman itu ada kalanya berupa tuntutan kebenaran konotasi lafal baik secara syar’i maupun secara ‘aqli. Ini disebut dalâlah al-iqtidhâ`. Ada kalanya berupa kelaziman dari konotasi lafal secara wadh’u, mengindikasikan ‘illat dan ini disebut dalâlah at-tanbîh wa al-îmâ`. Ada kalanya kelaziman itu diambil dari apa yang diisyaratkan oleh makna lafal, dan ini disebut dalâlah al-isyârah. Ada kalanya kelaziman itu dipahami dari tarkîb al-jumlah (susunan kalimat) sebagai kelaziman sususan kalimat itu. Ini yang disebut mafhûm, baik yang sesuai atau mafhûm al-muwâfaqah atau kebalikannya atau mafhûm al-mukhâlafah.

 

Al-Manthûq

Al-Manthûq merupakan bentuk maf’ûl dari nathaqa–yanthiqu–nathq[an] wa nuthûq[an] wa manthiq[an], secara bahasa artinya takallama (berbicara). Jadi manthûq artinya mâ nuthiqa bihi, yakni apa yang diucapkan atau al-mutakallama bihi (apa yang dibicarakan).  Apa yang diucapkan itu tidak lain adalah lafal. Dengan begitu, manthûq secara bahasa adalah makna secara tekstual atau makna literal.

Dalam istilah para ulama ushul, al-manthûq kebanyakan dimaknai sebagai mâ fuhima min al-lafzhi fî mahalli an-nuthqi, yaitu apa yang dipahami dari lafal berdasarkan prononsiasi (pengucapan)-nya. Dengan kata lain, al-manthûq diartikan sebagai makna yang dipahami dari lafal secara literal. Sebabnya, apa yang diucapkan pada posisi prononsiasi (an-nuthqu) itu adalah lafal.

Hanya saja, Imam al-Amidi (w. 631 H) di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, pada pembahasan an-nazhru fî ma’nâ al-mafhûm, menyatakan bahwa pengertian dalam batas itu tidak benar. Sebabnya, hukum-hukum yang samar di dalam dalâlah al-iqtidhâ‘ dipahami dari lafal pada posisi prononsiasi. Hal itu tidak disebut manthûq lafal. Jadi  yang wajib dikatakan al-mathûq adalah mâ fuhima min dalâlah al-lafzhi qath’an fî mahalli an-nuthqi (apa yang dipahami dari dalalah [makna] lafal secara pasti pada posisi prononsiasi atau pengucapan).

Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl menjelaskan hal itu. Dikatakan qath’an (secara pasti) dalam definisi al-manthûq itu untuk membedakan sebagian dalalah (makna) dalam al-mafhûm yang dalam memahaminya dibantu dengan manthuq lafal untuk mendapatkan makna yang menjadi kelazimannya, yakni al-mafhûm semisal dalâlah al-iqtidhâ‘. Sebabya, hukum-hukum yang samar di dalam dalâlah al-iqtidhâ‘ dipahami dari lafal pada posisi prononsiasi yakni dibantu dengan posisi prononsiasi untuk mengekstrak makna yang menjadi kelazimannya atau untuk mengekstrak al-mafhûm.

Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah Juz 3 menjelaskan, al-manthûq adalah apa yang ditunjukkan oleh lafal secara pasti pada posisi prononsiasi (mâ dalla ‘alayhi al-lafhu qath’an fî mahalli an-nuthqi). Artinya, apa yang dipahami dari lafal secara langsung tanpa perantara atau kemungkinan (ihtimâl). Definisi ini mengeluarkan dalâlah al-iqtidhâ`. Sebabnya, dalâlah al-iqtidhâ` tidak dipahami secara pasti (qath’an), tetapi secara kemungkinan (ihtimâlan) dan tidak dipahami secara langsung dari lafal melainkan diharuskan atau dituntut oleh apa yang dipahami dari lafal. Sabda Rasul saw.: “Lâ shalâta illâ bifâtihati al-kitâb (Tidak ada shalat kecuali dengan al-Fatihah),” dikeluarkan oleh Abu ‘Awanah, ini menafikan eksistensi shalat. Padahal shalat itu secara riil ada. Artinya, yang dimaksudkan tidak lain adalah penafian keabsahan atau kesempurnaan. Jadi dalalah hadis itu terhadap tidak adanya keabsahan atau kesempurnaan shalat bukan dari dalâlah al-manthûq. Pasalnya, hal itu tidak dipahami dari lafal secara langsung, melainkan diharuskan oleh makna yang dipahami dari lafal itu. Oleh karena itu, definisi al-manthûq tidak hanya dikatakan apa yang dipahami dari lafal pada posisi prononsiasi dan cukup di situ saja, tetapi harus disebutkan apa yang menunjukkan bahwa lafal itu menunjukkannya dengan dalâlah yang qath’i. Hal itu dengan menambahkan kata qath’an sehingga mengeluarkan dalâlah al-iqtidhâ` dari cakupannya.

Atas dasar itu, al-manthûq adalah mâ dalla ‘alayhi al-lafzhu qath’an fî mahalli an-nuthqi (apa yang ditunjukkan oleh lafal secara pasti pada posisi prononsiasinya). Seperti kewajiban puasa Ramadhan yang dipahami dari firman Allah SWT: “faman syahida minkum asy-syahra falyashumhu (siapa saja yang menyaksikan bulan itu hendaklah dia berpuasa)”. Lafal itu dengan manthûqnya menunjukkan makna tersebut. Itu disebut dalâlah al-lafzhiyyah.

Dengan memperhatikan batasan tersebut, maka dari tiga dalâlah di atas, yang termasuk di dalâlah al-manthûq adalah dalâlah al-muthâbaqah dan dalâlah at-tadhammun. Adapun dalâlah ketiga, yakni dalâlah al-iltizâm dengan keempat jenisnya, tidak termasuk al-manthûq. Sebabnya, dalâlah al-iltizâm dengan keempat jenisnya itu tidak dipahami dari lafal secara langsung, melainkan dipahami dari lafal secara tidak langsung sebagai kelaziman dari konotasi lafal itu. Dengan kata lain, dalâlah al-iltizâm itu dipahami bukan dari lafal, tetapi dari makna lafal. Dengan demikian al-manthûq itu mencakup apa yang ditunjukkan oleh lafal secara muthâbaqah atau tadhammun[an].

Adapun bagaimana penunjukannya terhadap hukum, maka pertama-tama dibawa ke hakikat syar’iyyah. Jika terhalang maka dibawa ke hakikat ‘urfiyah. Jika terhalang maka dibawa ke hakikat lughawiyah. Jika makna hakikat ketiga-tiganya terhalang maka dibawa ke makna majaz.

Dalam hal ini Al-Isnawi asy-Syafi’i (w. 772 H) di dalam Nihâyah as-Sawl Syarh Minhâj al-Wushûl pada fasal kesembilan bagian ketiga—al-khithâb imâ an yadulla ‘alâ al-hukm bimanthûqihi fayuhmalu ‘alâ asy-syar’iy tsumma al-‘urfiy tsumma al-lughawiy tsumma al-majâzi…—dengan  mengutip Ibnu al-Hajib, mengatakan, “Lafal menunjukkan manthuq-nya dan disebut dalâlah al-lafzhiyyah. Pertama, dibawa ke hakikat syar’iyyah. Ini karena Nabi saw. diutus untuk menjelaskan syariah. Jika tidak memiliki hakikat syar’iyyah atau memiliki hakikat syar’iyyah, tetapi tidak mungkin dibawa ke hakikat tersebut, maka dibawa ke hakikat ‘urfiyah yang ada pada masa Nabi saw. Sebab, itulah yang langsung terlintas kepada pemahaman. Jika terhalang maka dibawa ke hakikat lughawiyah. Ini jika banyak penggunaannya secara syar’i dan ‘urfi yang salah satu dari keduanya lebih dulu dari lughawi. Jika tidak bisa (semua itu) maka itu merupakan musytarak yang tidak bisa di-rajih-kan (suatu makna) kecuali dengan qarinah.”

Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Juz 3 menyatakan hal yang sama. Beliau menambahkan bahwa nas-nas syar’iyyah merupakan lafal-lafal tasyri’iyyah. Dia telah datang untuk menjelaskan syariah islamiyah. Maka dari itu, yang asal dalam dalalah-nya adalah makna syar’i, kemudian makna ‘urfi, lalu makna lughawi. Ini berlaku jika banyak penggunaannya secara syar’i dan ‘urfi yang salah satu dari keduanya lebih dulu terlintas daripada secara lughawi. Jika tidak demikian maka merupakan musytarak, tidak bisa di-rajih-kan kecuali dengan qarinah.  Jika ketiga bentuk hakikat itu terhalang maka dibawa ke makna majazi untuk melindungi kalam (ucapan) dari pengabaian.

Jadi al-manthûq adalah apa yang dipahami dari lafal dalam bentuk dalâlah al-muthâbaqah atau dalâlah at-tadhammun. Penunjukkannya pada hukum secara hakikat (syar’iyyah, ‘urfiyyah dan lughawiyyah) atau majazi.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yoyok Rudianto]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

20 + eleven =

Back to top button