Berbahagialah Orang-orang ‘Terasing’
بَدَأَ الْإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُكَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَءِ
Islam itu bermula asing dan akan kembali asing seperti awalnya. Karena itu kegembiraan dan kebaikanlah untuk orang-orang yang terasing (HR Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim menyatakan, makna thûbâ, dengan wazan fu’lâ dari ath-thîb.
Al-Farra’ berkata, “Tidak lain datang wawu karena dhamah-nya huruf thâ’. Ada dua bahasa orang Arab: thûbâka dan thûbâ laka. Adapun makna thûbâ maka para mufassir berbeda pendapat tentang makna firman Allah SWT: thûbâ lahum wa husna ma’âb. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., maknanya kegembiraan dan kesenangan. Ikrimah berkata: Sungguh baik apa yang untuk mereka. Adh-Dhahak berkata: Ghibthah (kebahagiaan) untuk mereka. Qatadah berkata: Kebaikan untuk mereka dan mereka mendapatkan kebaikan. Ibrahim berkata: Kebaikan dan kemuliaan untuk mereka. Ibnu ‘Ajlan berkata: Ajegnya kebaikan (dawâm al-khayr). Dikatakan pula: Surga dan pohon di surga. Semua pendapat ini mungkin (menjadi makna thûbâ) di dalam hadis ini, WalLâh a’lam.”
Al-Munawi di dalam Faydh al-Qadîr menjelaskan: “Yang dimaksudkan dengan al-Islâm adalah ahluhu (pemeluknya). Alasannya, karena dalalah penyebutan al-gurabâ`u setelahnya, dalam bentuk jamak. Ath-Thaibi mengatakan, bisa jadi kata al-Islâm dipinjam untuk menggantikan al-Muslimûn, dan al-ghurbah adalah qarînah-nya. Jadi kesendirian dan keasingan itu kembali pada diri kaum Muslim. Boleh jadi kata al-Islâm itu bermakna hakikinya. Berarti ucapan di sini adalah tasybîh (penyerupaan); kesendirian dan keasingan itu dengan anggapan lemahnya dan sedikitnya Islam.
Atas dasar itu kata gharîb[an] bisa sebagai hâl (keterangan), yakni Islam bermula serupa dengan orang asing; atau sebagai maf’ûl muthlaq, yakni muculnya seperti kemunculan orang asing ketika bermula sendirian seorang diri; lalu Allah menyempurnakan cahaya-Nya dan Islam tumbuh di segala penjuru timur dan barat, kemudian kembali pada akhir perkara menjadi sendiri lagi.
Thûbâ—yakni kegembiraan, kesenangan, surga atau pohon di surga—untuk al-ghurabâ‘u. Mereka adalah kaum Muslim yang berpegang teguh dengan tali Islam, tidak goyah. Thûbâ dikhususkan untuk mereka (al-ghurabâ‘u) karena kesabaran mereka atas gangguan kaum kafir di awal dan akhir serta keterikatan mereka pada Islam.
Rasul saw. mendeskripsikan sifat al-ghurabâ‘ itu. Ibnu Mas’ud ra menuturkan, Nabi saw. bersabda:
إِنَّ الْإِسْلاَمَ بَدَأَ غَرِيبًا, وَسَيَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ, فَطُوبَى لِلْغُرَءِ قِيلَ: وَمَنِ الْغُرَباءِ, قَالَ النُّزَّاعُ مِنَ الْقَبَائلِ
“Sungguh Islam bermula asing dan akan kembali asing seperti mulanya. Karena itu kegembiraan untuk al-ghurabâ`.” Dikatakan, “Siapakah al-ghurabâ`?” Beliau bersabda, “Orang yang terasing jauh dari kabilah-kabilah.” (HR Ahmad).
Ath-Thabarani dan al-Qudha’i meriwayatkan hadis dari Sahal bin Saad as-Sa’idi bahwa Rasul saw. bersabda:
إِنَّ الْإِسْلامَ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا, فَطُوبَى لِلْغُرَءِ, قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ, وَمَا الْغُرَبَاءُ, قاَلَ: اَلَّذِينَ يُصْلِحُونَ عِنْدَ فَسَادِ النَّاسِ
“Sungguh Islam bermula asing dan akan kembali asing seperti mulanya. Karena itu kegembiraan untuk al-ghurabâ`.” Mereka berkata, “Ya Rasulullah, siapakah al-ghurabâ`itu?” Beliau bersabda, “Orang-orang yang melakukan perbaikan ketika masyarakat rusak.”
Rasul saw. juga bersabda:
إِنَّ الدِّينَ بَدَأَ غَرِيبًا وَيَرْجِعُ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَءِ اَلَّذِينَ يُصْلِحُونَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِى مِنْ سُنَّتِى
Sungguh agama bermula asing dan kembali asing. Karena itu kegembiraanlah untuk al-ghurabâ‘, (yakni) orang-orang yang memperbaiki sunnahku yang dirusak oleh orang-orang.” (HR at-Tirmidzi, ath-Thabarani, Ibnu ‘Adi dan Abu Nu’aim al-Ashbahani).
Ismail bin Abdurrahman ash-Shabuni meriwayatkan hadis ini dengan lafal:
إِنَّ هَذَا الدَّيْنَ بَدَأَ غَرِيْباً وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ, فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ, قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ, وَمَنْ الْغُرَبَاءُ, قَالَ: اَلَّذِيْنَ يُحْيُوْنَ سُنَّتِي مِنْ بَعْدِيْ وَيُعَلِّمُوْنَهَا عِبَادَ اللَّهِ
“Sungguh agama ini bermula asing dan akan kembali asing seperti mulanya. Karena itu kegembiraan untuk al-ghurabâ`.” Dikatakan, “Ya Rasulullah, siapakah al-ghurabâ`? Beliau bersabda,“Orang-orang yang menghidupkan sunnahku sesudahku dan mengajarkannya kepada hamba-hamba Allah.”
Ibnu Wadhah juga meriwayatkan dari Bakar bin Umar dan al-Mughafiri, bahwa Rasul saw. bersabda:
طُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ, اَلَّذِيْنَ يُمَسِّكُوْنَ بِكِتَابِ اللَّهِ حِيْنَ يُتْرَكُ, وَيَعْمَلُوْنَ بِالسُّنَّةِ حِيْنَ تُطْفَأُ
Kegembiraan untuk al-ghurabâ‘, yaitu orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah ketika Kitabullah ditinggalkan dan mengamalkan sunnah ketika sunnah dipadamkan.
Hadis-hadis ini mendeskripsikan kondisi masyarakat (an-nâs) yang diliputi kerusakan. Di tengah-tengah mereka tersebar kemaksiatan dan fasad, yaitu penyimpangan terhadap syariah Allah SWT. Di masyarakat tersebar kerusakan dalam ide, perilaku, pemikiran, hukum dan peraturan, yang menyimpang dari tuntutan Allah dan menyalahi syariah-Nya. Siapa yang berpegang pada tuntunan Allah, terikat dengan syariah, tentu akan menjadi orang yang asing; terasing an-nuzâ’u dari kaumnya.
Mereka yang termasuk al-ghurabâ‘ itu juga melakukan perbaikan atas berbagai kerusakan yang ada di masyarakat, menghidupkan sunnah Nabi asaw., yakni syariah Islam, dan mengajarkannya kepada masyarakat. Kerusakan yang ada di masyarakat itu bukan hanya bersifat individual, tetapi juga kolektif bahkan sistemik. Karena itu tentu al-ghurabâ‘ itu juga haruslah berkelompok dan berjamaah. Karena itu potret al-ghurabâ‘ yang dipuji di dalam hadis-hadis di atas lebih dekat pada orang-orang yang berhimpun dalam jamaah yang senantiasa berpegang pada tuntunan Allah, terikat kepada syariah, menghidupan Islam dan syariahnya; mengajarkannya kepada masyarakat dan memperjuangkan penerapan syariah serta mengajak umat untuk menerapkan syariah Islam secara kâffah.
Jika demikian deskripsi al-ghurabâ‘ maka sungguh pantas keberuntungan, kegembiraan, kesenangan, kebaikan yang ajeg dan langgeng, keberkahan dan surga di akhirat kelak merupakan kabar gembira mereka.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]