Fitnah Mengintai Siapa Saja yang Mendatangi Pintu Penguasa
… وَمَنْ أَتَى أَبْوَابَ السُّلْطَانِ افْتُتِنَ وَمَا ازْدَادَ عَبْدٌ مِنْ السُّلْطَانِ قُرْبًا إِلَّا ازْدَادَ مِنْ اللَّهِ بُعْدًا
“…dan siapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa niscaya terkena fitnah. Tidaklah seorang hamba makin dekat dari penguasa kecuali makin jauh dari Allah.” (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi, Ibnu ‘Adi dan al-Bukhari dalam Târîkh al-Kabîr).
Al-Hafizh al-Haytsami di dalam Majama’ az-Zawâ‘id berkomentar, “Salah satu sanad Ahmad, rijâl (para perawi)-nya adalah rijâl (perawi) shahih kecuali Hasan bin al-Hakam an-Nakha’i dan dia tsiqah.”
Dalam hadis ini, Rasul saw memperingatkan: Siapa saja yang mendatangi pintu penguasa niscaya terkena fitnah. Kedekatan dengan penguasa bisa membuat makin jauh dari Allah. Dalam riwayat lain ada perintah untuk menjauhi pintu-pintu penguasa. Rasul saw. bersabda, “Iyyâkum wa abwâbi as-sulthân (Jauhilah oleh kalian pintu-pintu penguasa).” (HR al-Baihaqi).
Sabda Rasul saw. uftutina, menurut al-Mubarakfuri di dalam Tuhfah al-Akhwadzi maknanya adalah waqa’a fî al-fitnah (terjatuh ke dalam fitnah). Sebab jika orang itu menyetujui penguasa atas apa yang dia datangkan dan memuji penguasa itu maka sungguh dia membahayakan agamanya. Sebaliknya, jika dia menyalahi penguasa itu maka dia membahayakan dunianya.
Al-Muzhhir, seperti dikutip oleh al-Mubarakfuri mengatakan, siapa saja yang mendatangi penguasa dan bermanis muka dengan dia, niscaya dia terjatuh dalam fitnah. Sebaliknya, siapa saja yang tidak bermanis muka, menyampaikan nasihat dan melakukan amar makruf nahi mungkar kepada penguasa itu maka itu merupakan jihad yang paling afdhal.
Abu Utsman Said bin Ismail, seperti diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi berkata, “Bagi orang yang takut kepada Allah seharusnya tidak mendatangi pintu penguasa sampai dia dipanggil, lalu dia mendatangi penguasai itu seraya diliputi rasa takut kepada Rabb-nya ‘Azza wa Jalla. Lalu dia melakukan amar makruf nahi mungkar kepada penguasa itu dan mengatakan kebenaran. Ini seperti yang ada dalam hadis, “Jihad yang paling afdhal adalah mengatakan kalimat kebenaran di depan penguasa yang zalim.” Kemudian dia pergi dari mereka dan dia tetap diliputi rasa takut kepada Rabb-nya. Maka orang yang ini tidak terjatuh dalam fitnah. Orang yang terjatuh dalam fitnah tidak lain orang yang mendatangi para penguasa karena kehendaknya sendiri dalam rangka mencari dunia, mencari kemuliaan di dunia, mencari posisi di masyarakat, merasa mulia dengan kemuliaan penguasa, membanggakan kekuasaannya. Mereka mendatangi para penguasa, bermanis muka kepada mereka, rela dengan buruknya perbuatan mereka, mendukung keburukan mereka, membenarkan perkataan mereka yang tidak benar, lalu dia kembali dari mereka dengan rasa bangga kepada mereka, merasa aman dari makar Allah, angkuh dengan kemuliaan yang dia peroleh dari mereka, menyakiti masyarakat dan melampaui batas kepada mereka dan berlaku kuat terhadap mereka. Inilah orang yang terjatuh dalam fitnah, lupa akhirat, bermaksiat kepada Rabb-nya, menyakiti kaum Mukmin dan kurang agamanya. Semua ini tidak bisa ditebus dengan dunia semuanya seandainya pun dunia itu miliknya.”
Banyak bertebaran riwayat-riwayat lain yang berisi larangan mendatangi pintu penguasa dan peringatan akan keburukannya. Karena itu para ulama salaf enggan mendatangi penguasa. Mereka juga enggan mendatangi penguasa meski diminta. Bahkan mereka tetap enggan meski diminta datang untuk mengajarkan ilmunya. Sebab, seperti yang dikatakan oleh Imam Malik ketika diminta datang kepada Khalifah Harun ar-Rasyid yang sedang berkunjung ke Madinah agar Khalifah bisa mendengar langsung isi kitab yang beliau tulis dari beliau sendiri, Imam Malik menjawab, “Al-‘Ilmu yuzâr wa lâ yazûr (Ilmu itu didatangi dan bukannya mendatangi).” (Abu al-Hasan bin Fihr, Fadhâ’il Mâlik).
Begitu juga sikap Imam al-Bukhari. Seperti diriwayatkan oleh Ibnu al-Munir, ketika penguasa Bukhara meminta Imam al-Bukhari datang membawakan dan membacakan kitab Al-Jâmi’ dan At-Târîkh, beliau tidak mau datang. Beliau menjawab, “Aku tidak menghinakan ilmu dan aku tidak datang ke pintu-pintu para penguasa. Jika engkau punya keperluan kepada sesuatu maka hendaklah engkau datang di masjidku atau di rumahku.”
Seperti itulah di antara keberanian dan kebiasaan para ulama salaf dalam bersikap kepada para penguasa dan melakukan amar makruf nahi mungkar terhadap mereka. Sikap seperti itu akan memperbaiki para penguasa dan menghindarkan umat dari kerusakan. Imam al-Ghazali di dalam kitabnya, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn di akhir bab, “Al-Amru bi al-Ma’rûf wa an-Nahyu ‘an al-Munkâr,” setelah memaparkan kebiasaan amar makruf nahi mungkar para ulama salaf, beliau menyatakan, “Inilah dulu sirah dan kebiasaan para ulama dalam amar makruf nahi mungkar dan sedikitnya mempedulikan lantai para penguasa karena mereka bertawakal kepada karunia Allah SWT agar Allah menjaga mereka dan mereka ridha dengan keputusan Allah sehingga Dia memberi mereka rezeki kesyahidan. Karena mereka memurnikan niat kepada Allah, ucapan mereka pun berpengaruh pada hati yang keras sehingga melunakkan dan menghilangkan kekasarannya. Adapun sekarang, ketamakan telah mengikat lisan para ulama sehingga mereka diam. Jika mereka berbicara, keadaan mereka tidak membantu ucapan mereka sehingga mereka tidak berhasil. Andai mereka jujur dan memaksudkan hak ilmu niscaya mereka berhasil. Jadi rusaknya rakyat karena rusaknya para raja (penguasa). Rusaknya para raja karena rusaknya ulama. Rusaknya ulama karena dikuasai cinta harta dan kedudukan. Siapa saja yang dikuasai oleh cinta harta, niscaya dia tidak mampu mengoreksi orang yang paling rendah sekalipun. Lalu bagaimana mungkin dia mampu mengoreksi para raja dan orang-orang sombong.”
Ulama seperti Imam Malik, Imam al-Bukhari dan para ulama salaf dulu itulah yang sangat dibutuhkan oleh umat saat ini. Mereka adalah ulama yang memiliki ‘izzah terhadap penguasa. Bukan ulama yang gemar mendatangi penguasa. Apalagi yang malah gemar menjadi stempel penguasa atas kezaliman dan penyimpangannya demi secuil dunia.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]