Hadis Pilihan

Menjadi Makelar Termasuk Sebab Kepemilikan

عَنْ قَيْس بْن أَبِي غَرَزَة : كُنَّا نُسَمَّى فِى عَهْدِ رَسُولِ الله – صلى الله عليه وسلم- السَّمَاسِرَةَ فَمَرَّ بِنَا رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم- فَسَمَّا بِإِسْمٍ هُوَ أَحْسَنُ مِنْهُ فَقَالَ: يَامَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ الْحَلِفُ وَاللَّغْوُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ

Dari Qays ibn Abiy Gharazah: Kami pada masa Rasulullah saw. disebut as-samâsirah (bentuk jamak dari as-simsâr, pen.). Lalu Rasulullah saw. belewati kami dan menyebut kami dengan sebutan yang lebih baik dari sebutan itu. Kemudian beliau bersabda,”Wahai para pedagang, sungguh jual-beli itu sering diikuti oleh sumpah dan laghw[un]. Karena itu campurilah jual-beli itu dengan sedekah.”  (HR Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi).

 

Imam at-Tirmidzi (w. 279 H) di dalam Sunan at-Tirmidzî atau Al-Jâmi’ al-Kabîr berkomentar, “Hadis Qays bin Abi Gharazah ini hasan shahih.”

Al-Hakim an-Nisaburi (w. 405 H) di dalam Al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn berkomentar, “Ini adalah hadis shahih al-isnad meski keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya.”

Adz-Dzahabi (w.) di dalam At-Talkhîsh berkomentar: (hadis ini) shahih.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abiy Syaibah (w. 235 H) di dalam Mushannaf Ibni Abi Syaibah; Abd ar-Razaq ash-Shan’ani (w. 211 H) di dalam Mushannaf Abd ar-Razâq; Abu Dawud ath-Thayalisi (w. 204 H) di dalam Musnad Abi Dâwûd ath-Thayâlisi; Ali bin al-Ja’di (w. 230 H) di dalam Musnad al-Ja’di; dan al-Baihaqi (w. 459 H) di dalam Sunan al-Kubrâ .

Pada bagian awalnya Qays bin Abiy Gharazah menyebutkan, “Rasulullah saw. keluar menghampiri kami, sementara kami sedang berjual-beli di pasar…”

Di dalam riwayat al-Humaidi (w. 219 H), di dalam Musnad al-Humaydi, juga al-Hakim (w. 405 H) di dalam Al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn, Qays menyebutkan mereka sedang berjual-beli di Baqi’.

Tentang sebutan Rasul saw. yang lebih baik itu, Nuruddin Mula al-Qari (w. 1014 H) di dalam Mirqâth al-Mafâtîh Syarhu Misykât al-Mashâbîh menjelaskan:

 

Yang paling baik, apa yang disebutkan oleh ath-Thayyibi rahimahulLah: yang demikian karena at-tijarah merupakan ungkapan tentang tasharruf atas modal dalam rangka mencari keuntungan. As-Samsarah begitu juga. Namun, Allah SWT menyebutkan at-tijârah di dalam Kitab-Nya tidak hanya sekali dalam bentuk pujian, seperti dalam firman-Nya QS ash-Shaff [61]: 10; an-Nisa’ [4]: 29; Fathir [35]: 29. Boleh jadi yang beliau maksudkan juga firman Allah dalam QS an-Nur [24]: 38, sebagai peringatan kepada mereka dengan sebutan ini agar mereka mensifati diri dengan sifat-sifat ini secara khusus. Di dalam sebutan ini juga ada isyarat kepada firman Allah SWT QS at-Taubah [09]: 111).

 

Lafal as-samâsirah adalah bentuk jamak dari as-simsâr.  Menurut al-Laits yang dikutip oleh Ibnu Manzhur (w. 711 H) di dalam Lisân al-‘Arab, juga menurut al-Khathabi (w. 388 H) di dalam Ma’âlim as-Sunan, kata as-simsâr itu berasal dari non-Arab, yakni dari Persia, lalu diarabkan.  Hal itu karena pada zaman itu orang yang menyelesaikan penjualan dan pembelian itu banyak. Di antara mereka adalah orang ‘ajam (non-Arab). Lalu orang Arab mendapatkan sebutan itu dari mereka.

Qadhi Iyadh (w. 544 H) di dalam Masyâriq al-Anwâr ‘ala Shihâh al-Atsâr mengatakan: As-Simsâr pada asalnya berarti yang melaksanakan suatu perkara dan menjaganya (al-qayyimu bi al-amri wa al-hâfizh lahu). Kemudian kata itu digunakan untuk menyebut orang yang melakukan jual-beli untuk orang lain (mutawalliyu al-bay’ wa asy-syirâ’ lighayrihi).

Menurut Ibnu al-Jawziy (w. 597 H) di dalam Gharîb al-Hadîts, as-simsâr hakikatnya seseorang mewakilkan kepada orang lain, lalu orang lain itu menjualkan barangnya.

Menurut Ibnu al-Atsîr (w. 606 H) di dalam an-Nihâyah fî Gharîb al-Atsar, as-simsâr adalah sebutan untuk orang yang masuk (terlibat) di antara penjual dan pembeli sebagai orang yang memediasi pwlaksanaan jual-beli.  As-Samsarah (adalah) jual-beli.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islaâmiyyah Juz II pada bab as-samsarah menyatakan, “Para fukaha mendefinisikan as-simsâr adalah sebutan untuk orang yang beraktivitas (bekerja) untuk orang lain dalam bentuk aktivitas menjual dan membeli dengan mendapat upah. As-Simsâr itu benar diterapkan pada ad-dalâl. Ad-Dalâl bekerja untuk orang lain berupa aktivitas menjual dan membeli dengan mendapat upah.”

Dalam penjelasan para fukaha, sebutan as-simsâr itu secara istilah fikih hanya digunakan dalam konteks jual-beli. Jadi, mediasi yang disebut samsarah dan padanya berlaku hukum-hukum samsarah adalah dalam konteks jual-beli.  Para fukaha tidak menggunakan istilah as-samsarah dan as-simsâr di luar jual-beli. Hadis di atas mengisyaratkan hal itu. Sebab Rasul saw. mengganti sebutan as-simsâr dengan at-tujjâr (para pedagang).

Fakta fikih as-simsâr (makelar/broker): seseorang menjualkan barang milik orang lain, atau membelikan barang untuk orang lain, atau memediasi jual-beli yang dilakukan oleh penjual dan pembeli, lalu dia mendapatkan kompensasi harta atas hal itu. Jadi modalnya hanyalah tenaga saja. Aktivitasnya bisa dikategorikan sebagai ‘amal (kerja). Dengan aktivitasnya itu dia jadi memiliki harta. Jadi aktivitas samsarah yang dilakukan oleh seorang as-simsâr termasuk sebab kepemilikan harta yang syar’i.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Juz II pada bab as-samsarah menyatakan tentang ketentuan samsarah,  “Hanya saja aktivitas atau pekerjaan yang dikontrakkan untuk menjual dan membeli itu harus jelas, baik dengan komoditi/barang atau jangka waktu. Hendaknya, keuntungan, komisi atau upahnya juga jelas. Jika seseorang mempekerjakan orang lain untuk menjualkan untuk dirinya atau membelikan untuk dirinya rumah anu atau barang anu maka sah. Juga jika dia mempekerjakan orang lain untuk menjualkan untuk dirinya atau membelikan untuk dirinya dalam jangka waktu tertentu yang jelas—baik sekian hari, minggu, bulan, tahun—maka itu juga sah. Demikian juga jika seseorang mempekerjakan orang lain untuk menjualkan untuknya atau membelikan untuknya harian, atau bulanan dengan upah sekian, dan pada waktu yang sama juga dipekerjakan untuk menjualkan atau membelikan barang dengan komisi tertentu atas setiap transaksi maka juga sah. Sebab pekerjaan yang dikontrakkan untuk menjual dan membeli itu jelas dan upahnya juga jelas.”

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eighteen + seven =

Back to top button