Takrifat

Hakikat

Al-Haqîqah secara bahasa berasal dari haqqa–yahuqqu–haqq[an] yang bermakna tsabata (nyata, pasti, tetap) atau atsbata (menetapkan atau memastikan) (Kamus al-Munawir pasal haqqa). Imam al-Amidi (w. 631 H) menyatakan, al-haqîqah dalam hal ini menggunakan wazan fa’îl yang bisa bermakna fâ’il atau maf’ûl. Dengan begitu menurut makna fâ’il, al-haqîqah bermakna ats-tsâbitah al-lâzimah (yang tetap dan pasti); lawan dari al-bâthil (yang batil). Menurut makna maf’ul, al-haqîqah bermakna al-mutsbatah (yang dipastikan atau yang ditetapkan (Al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, 1/26). Lafal haqqa dengan makna tsabata (telah tetap/pasti). Dinyatakan di dalam al-Quran QS Yunus [10]: 33; az-Zumar [39]: 71 dan 96; Ghafir [40]: 8).

Ibnu Faris seperti dikutip oleh Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H) mengatakan, al-haqîqah dari ucapan kita haqqa asy-syay‘u idza wajaba (telah haqq sesuatu jika telah wajib) (Badruddin az-Zarkasy, w. 794 H, Bahru al-Muhîth fî al-Ushûl, III/5). Makna ini dinyatakan di dalam firman Allah SWT:

حَقِيقٌ عَلَىٰٓ أَن لَّآ أَقُولَ عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡحَقَّۚ

Wajib atas diriku tidak mengatakan apapun terhadap Allah, kecuali yang haq (QS al-A’raf [7]: 105).

 

Haqîqah juga dimaknai sebagai zat sesuatu dan substansinya, atau kenyataan sebenarnya. Misalnya, dalam ucapan haqîqah al-amri.  Maknanya, substansi perkara itu atau kenyataan perkara itu yang sebenarnya.

Itu adalah makna al-haqîqah secara bahasa. Adapun dalam pembahasan ushul, maknanya berbeda.

Menurut Nizhamuddin asy-Syasyi (w. 344 H), al-haqîqah adalah kullu lafzh[in] wadha’ahu wâdhi’u al-lughah bi izâ’i syay‘i (setiap lafal yang ditetapkan oleh penyusun bahasa terhadap sesuatu (Asy-Syasyi, Ushûl asy-Syâsyi, hlm. 42).

As-Sarakhsi (w. 483 H) menyatakan, al-haqîqah adalah sebutan untuk setiap lafal yang ditetapkan/disusun pada asalnya untuk sesuatu yang jelas (As-Sarakhsi, Ushûl as-Sarakhsî, I/170).

Sesuatu yang diungkapkan dengan lafal itu adalah sesuatu yang ada di dalam benak. Dengan begitu, seperti yang dikatakan oleh Syaikh Atha’ bin Khalil, al-haqîqah adalah al-alfâzh al-latî wudhi’at li dalâlati ‘alâ mâ fî adz-dzihni min ma’nâ (lafal-lafal yang ditetapkan untuk menunjukkan makna yang ada di dalam benak (Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, Tasyîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, hlm. 121).

Lafal-lafal itu pada dasarnya digunakan dalam pembicaraan (at-takhâthub). Abu al-Husain al-Bashri (w. 436 H) menyatakan, al-haqîqah adalah mâ ufîda bihâ mâ wudhi’at lahu fî ashli al-ishthilâh al-ladzî waqa’a at-takhâthub bihi (lafal yang dengan lafal itu dipahami apa yang ditetapkan dalam asal istilahnya, yang dengannya terjadi pembicaraan (Abu al-Husain al-Bashri, Al-Mu’tamad fî Ushûl al-Fiqhi, I/11).

Mâ ufîda bihâ itu tidak lain merupakan lafal yang digunakan. Dari situ seperti yang dinyatakan oleh al-‘Allamah asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, al-haqîqah bisa didefinisikan sebagai al-lafzhu al-musta’mal fîmâ wudhi’a lahu fî isthilâhi at-takhâthub (lafal yang digunakan dalam apa yang ditetapkan dalam istilah pembicaraan (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah, III/157).

Al-Haqîqah adakalanya bersifat etimologis (lughawi) dan adakalanya bersifat istilahiAl-Haqîqah bersifat lughawiyah karena dia ditetapkan oleh pemilik/ahli bahasa (ahlu al-lughah) dalam pembicaraan mereka. Ini disebut al-haqîqah al-lughâwiyyah. Al-Haqîqah bisa bersifat istilahi karena haqîqah itu digunakan sejak pertama secara ‘urfi dalam disiplin ilmu atau kelompok ulama tertentu sebagai istilah khusus. Ini disebut al-haqîqah al-ishthilâhiyah al-‘urfiyah.

Al-Haqîqah al-Lughâwiyah ada yang maknanya ditetapkan sejak asal penetapan (penyusunan)-nya oleh pengguna/ahli bahasa Arab (ahlu al-lughah), yaitu orang-orang Arab aqhah (yang masih murni/genuine) dan makna itu tetap seperti itu. Ini yang disebut al-haqîqah al-lughâwiyah al-wadh’iyyah atau disebut al-haqîqah al-lughâwiyah saja. Adakalanya, makna lafal itu dialihkan ke makna yang berbeda dari makna asal bahasanya itu. Ini yang disebut al-haqîqah al-lughâwiyah al-manqûlah, dan ini ada dua macam. Pertama, dinukilkan (dialihkan) secara ‘urfi penggunaannya dan disebut al-haqîqah al-lughâwiyah al-‘urfiyah atau al-haqîqah al-’urfiyyah. Kedua, maknanya dialihkan melalui penggunaan oleh syariah ke makna lain yang berbeda dari makna asal bahasanya. Ini disebut al-haqîqah al-lughâwiyah asy-syar’iyyah atau al-haqîqah asy-syar’iyyah.

Al-Haqîqah al-Lughâwiyah al-Wadh’iyah atau disebut al-haqîqah al-lughâwiyah saja adalah lafal yang digunakan di dalam bahasa pada apa yang ditetapkan sejak awal. Artinya, lafal itu oleh orang Arab aqhah sebagai pemilik bahasa (ahlu al-lughah) digunakan pada makna tertentu sejak awal penggunaannya. Contohnya, kata al-asad untuk menunjuk singa; kata an-nazru bermakna al-qalîl (sedikit), ad-dahlu bermakna as-sâ’ah (waktu), ad-dahmah bermakna as-sawâd (hitam), dsb.

Al-Haqîqah al-Lughâwiyah al-‘Urfiyah atau al-haqîqah al-‘urfiyah saja adalah lafal yang digunakan pada apa yang ditetapkan melalui ‘urf penggunaan secara bahasa. Artinya, al-haqîqah al-‘urfiyah itu adalah lafal yang dialihkan dari makna bahasanya ke makna yang lain karena penggunaan secara umum di dalam bahasa. Lalu makna awal, yakni makna bahasanya, terhalang dan yang dominan adalah makna yang dialihkan itu.

Al-Haqîqah al-‘Urfiyah ini ada dua bagian: Pertama, isim atau sebutan itu telah ditetapkan untuk makna yang umum. Lalu melalui ‘urf penggunaan ahlu al-lughah (orang Arab aqhah) dikhususkan dengan sebagian maknanya saja dan ini yang menjadi dominan. Contohnya lafal ad-dâbah, awalnya bermakna semua yang melata di muka bumi sehingga mencakup manusia dan semua hewan. Lalu dengan ‘urf penggunaan umumnya oleh ahli bahasa dikhususkan pada hewan berkaki empat saja. Makna inilah yang menjadi dominan sehingga jika disebutkan lafal ad-dâbah langsung terlintas di dalam benak makna hewan berkaki empat. Begitu pula lafal al-mar’ah, awalnya bermakna orang berjenis kelamin perempuan, lalu dikhususkan pada wanita yang telah dewasa (balig) saja.

Kedua, isim atau lafal itu lalu terkenal dalam ‘urf penggunaan ahlu al-lughah dengan makna yang keluar dari makna bahasanya. Lalu makna ini menjadi dominan sehingga ketika disebutkan lafal itu, makna itulah yang langsung terlintas di dalam benak. Contohnya, lafal al-ghâ’ith. Makna bahasanya adalah tempat rendah dan tenam. Lalu dalam penggunaan oleh orang Arab aqhah secara umum di dalam bahasa dialihkan dari makna itu ke makna lain di luar itu, yaitu untuk menyebut kotoran yang keluar dari dubur manusia (feses). Makna feses inilah yang menjadi dominan untuk memaknai lafal al-ghâ`ith. Lafal al-ghâ`ith dengan makna yang dialihkan ini menjadi al-haqîqah al-‘urfiyah.

Adapun istilah di kalangan para ulama berbagai cabang atau disiplin ilmu maka itu bukanlah al-haqîqah al-lughâwiyah al-‘urfiyah, melainkan al-haqîqah al-ishthilâhiyah al-‘urfiyah atau al-haqîqah al-‘urfiyah al-khâshshah. Sebab jika pun lafal itu awalnya memiliki makna bahasa, pengalihannya ke makna khusus itu bukan melalui ‘urf penggunaan oleh orang Arab secara umum, melainkan melalui ‘urf penggunaan oleh kelompok ulama tertentu dalam suatu disiplin atau cabang ilmu. Maknanya dialihkan ke makna khusus sebagai istilah di kalangan ulama atau cabang ilmu tertentu itu. Contohnya, lafal rafa’, nashab dan jarr dalam ilmu nahwu.

Al-Haqîqah al-Lughâwiyah asy-Syar’iyyah atau al-haqîqah asy-syar’iyah saja, yaitu lafal yang digunakan pada apa yang ditetapkan pertama-tama dalam istilah atau ‘urf syariah. Dengan ungkapan lain, penggunaan isim syar’i pada apa yang ditetapkan pertama-tama di dalam syariah. Artinya, lafal itu dialihkan dari makna bahasanya ke makna lain karena penggunaan oleh syariah dengan makna yang dialihkan itu. Jadi al-haqîqah asy-syar’iyah itu penetapannya dipahami dari syariah. Contohnya lafal ash-shalât, az-zakât, al-hajj, al-jihâd, al-îmân, dsb.

Penetapan isim syar’i atau al-haqîqah asy-syar’iyah ditetapkan oleh Asy-Syâri’, yakni berdasarkan wahyu Allah SWT (al-Qitab dan as-Sunnah).  Penggunaan suatu lafal pada makna tertentu oleh para imam mujtahid dan para fukaha tidak otomatis membuat lafal itu menjadi isim syar’i atau al-haqîqah asy-syar’iyyah. Artinya, disebut isim syar’i atau al-haqîqah asy-syar’iyah hanya jika suatu lafal digunakan oleh syariah saja. Artinya, jika penggunaan lafal tersebut berlangsung di dalam al-Kitab, as-Sunnah atau Ijmak Sahabat. Tegasnya, jika penggunaan suatu lafal pada selain makna yang ditetapkan oleh orang Arab aqhah itu ada di dalam al-Kitab, as-Sunnah atau Ijmak Sahabat maka lafal atau isim itu menjadi isim syar’i yang telah ditetapkan oleh Asy-Syâri’ untuk makna tersebut. Penggunaannya dalam makna itu menjadikan lafal tersebut al-haqîqah asy-syar’iyah.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twenty − 18 =

Back to top button