Hiwar

Dr. Arim Nasim: Segera Terapkan Ekonomi Islam!

Pengantar Redaksi:

Baru-baru ini Pemerintah mengklaim pertumbuhan ekonomi sebesar 7,07%. Angka yang cukup tinggi. Namun anehnya, di lapangan yang terjadi sebaliknya. Ekonomi masyarakat terpuruk. Banyak PHK dan pengangguran. Daya beli turun drastis. Penanganan pandemi sangat buruk. Pemerintah pun masih terus menambah utang baru.

Pertanyaannya: Parameter apa yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi selama ini? Mengapa seolah ada kontradiksi dengan realitas di lapangan? Jika benar angka pertumbuhan ekonomi tinggi, mengapa seolah tidak ada dampaknya sama sekali bagi masyarakat? Kalau begitu siapa saja yang menikmati tingginya pertumbuhan ekonomi tersebut?

Itulah beberapa hal yang ditanyakan kepada Pengamat Ekonomi Islam, Dr. Arim Nasim, dalam wawancara dengan Redaksi kali ini,

 

Benarkah pertumbuhan ekonomi Indonesia tinggi sehingga bisa di klaim sesudah keluar dari krisis ekonomi?

Ekonomi Indonesia  tumbuh 7,07 % dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Ini memang lebih tinggi karena kuartal sebelumnya negative. Namun, untuk  mengklaim bahwa Indonesia telah keluar dari krisis, menurut saya, terlalu berlebihan. Bahkan menyesatkan. Mengapa?

Pertama:  Angka pertumbuhan ini rendah jika kita bandingkan dengan negara-negara lain yang juga mengalami hal yang sama setelah setahun sebelumnya mengalami kontraksi yang lebih dalam. Kita bandingkan, misalnya, dengan Cina yang bisa tumbuh sebesar 18,3%, Singapore 14%, Amerika 12,2%  dan  Eropa 13,2%.

Kedua: Pertumbuhan PDB pada Triwulan II-2021 ini menunjukkan  pertumbuhan yang semu karena menggunakan base rendah di Kuartal II tahun 2020, yaitu -5,3%. Pada saat itu ada PSBB, sementara pada Triwulan II-2021 terjadi pelonggaran PPKM.

 

BPS merilis angka pertum-buhan tahunan 7,07%. Apa dasar dan bagaimana membacanya?

Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II tahun 2021 sebesar 7,07% itu menggunakan dasar Triwulan II Tahun 2020 atau  year on year (yoy) terhadap Triwulan 2 tahun 2020. Kita ketahui angka pertumbuhan ekonomi Triwulan II 2020 sedang mengalami kontraksi sebesar – 5,3%. Jadi, pertumbuhan ini tinggi karena dasar pembandingnya, yaitu Kuartal 2 tahun 2020, sangat rendah atau low base effect (dasar perhitungan rendah).  Seperti tahun 2019, misalnya, punya harta 100 juta, kemudian tahun 2020 turun menjadi 95 juta dan tahun 2021 naik lagi menjadi 102 juta. Maka kalau dihitung berdasarkan tahun 2020 memang naik 7 juta. Namun, kalau dasarnya normal, yaitu 100 juta, maka harta kita hanya tumbuh 2 juta.  Itu dari sisi angka pertumbuhannya.

Lalu dari sisi apa yanag tumbuh kita harus melihat faktor-faktor yang membuat ekonomi Triwulan II itu tumbuh. Pertama: Ada  peningkatan pendapatan ekspor karena kenaikan harga komoditas ekspor yang signifikan seperti batubara dan minyak sawit, sementara ada penurunan impor karena impor bahan baku industri menurun.

Kedua: Ada peningkatan konsumsi masyarakat yaitu  dari kelas menengah (penghasilan diatas 5 juta/bulan) yang melakukan belanja dalam tiga bulan terakhir, khususnya barang-barang durable goods.

Jadi dari situ juga bisa dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi 7,07% persen ini tidak dinikmati oleh masyarakt kecil atau orang miskin.

 

Berarti klaim tersebut tidak sejalan dengan realitas ekonomi Indonesia yang ada?

Iya, jelas. Bahkan dari sisi kebijakan Pemerintah pun tidak menunjukkan Indonesia itu sudah terbebas dari krisis. Saya malah melihat Indonesia semakin terperosok ke dalam jurang krisis yang lebih parah.

 

Bagaimana kontradisksinya?

Kita lihat saja realitas ekonomi di masyarakat, PHK semakin massif. Ini dampak dari pandemi Covid-19 dan PPKM yang terus diperpanjang tanpa jaminan pemenuhan kebutuhan pokok. Banyak tenaga kerja kena PHK bahkan mencapai angka 29,6 juta. Ini akan terus bertambah. Jumlah orang miskin terus bertambah. Menurut BPS angka orang miskin pada Maret 2021 berjumlah  27,54 juta orang. Padahal kita tahu standar miskin berdasarkan data BPS Indonesia itu sangat rendah sekali.  Itulah kontradiksi pertumbuhan ekonomi  dari sisi realitas ekonomi dimasyarakat.

Dari sisi kebijakan Pemerintah juga menunjukkan kontradiksi. Katanya ekonomi tumbuh tinggi, tetapi Pemerintah malah menambah utang baru. Menurut Sri Mulyani, Pemerintah akan menambah utang baru di Semester II Tahun 2021 sebesar Rp 515,1 triliun. Ini berarti bayar bunga utang dari hasil pinjam lagi. Bukan dari peningkatan kegiatan ekonomi. Kemudian kita dengar juga dari pidato kenegaraan, Presiden Jokowi mengatakan ekonomi Indonesia tahun 2022 diprediksi tumbuh hanya 5%. Ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi 7,07 hanya pertumbuhan semu .

 

Apa parameter Pemerintah sehingga bisa menetapkan pertumbuhan 7% dan Indonesia diklaim keluar dari krisis sehingga bisa dikatakan sejahtera?

Ya tadi, Pemerintah hanya melihat  dari angka pertumbuhan yang secara statistik positif dengan  angka pertumbuhan  7,07 % year on year.  Dengan capaian tersebut, menurut Pemerintah seperti yang disampaikan oleh BPS dan Menteri Keuangan, ekonomi Indonesia akhirnya mampu kembali ke zona positif, setelah mengalami kontraksi 4 kali berturut-turut sejak Kuartal II 2020. Kala itu di Kuartal II 2020, ekonomi RI -5,32 persen. Beberapa indikator yang dilihat adalah komponen ekspor-impor, investasi dan konsumsi rumah tangga mengalami peningkatan di Kuartal II 2021.

Padahal indikator-indikator tersebut tidak berhubungan dengan kepentingan atau penyelesaian masalah ekonomi  bagi mayoritas masyarakat Indonesia yang sedang mengalami kesulitan. Bahkan peningkatan konsumsi itu dihasilkan dari semakin tingginya kelas menengah (penghasilan di atas > 5 juta/bulan) melakukan belanja dalam tiga bulan terakhir, khususnya barang-barang durable goods, yaitu barang-barang seperti TV, Lemari Es, Mobil dll. Bukan konsumsi sandang dan pangan.

 

Ada yang mengatakan bahwa rilis pertumbuhan tinggi Indonesia ada kepentingan politik?

Ya, memang. Saya melihat ini sekadar untuk menutupi kegagalan  Pemerintah dalam menjalankan tugasnya untuk mengurus rakyat. Juga untuk menutupi kebijakan Pemerinah yang tidak pernah peduli terhadap kepentingan rakyat banyak, tetapi lebih serius melayani kepentingan para kapitalis yang ada di oligarki kekuasaan. Kepercayaan masyarakat terhadap rezim ini sudah sangat rendah sekali. Padahal dana yang digelontorkan untuk pemulihan ekonomi nasional dan penanganan pademi Covid-19 itu sampai sekarang sudah melebihi Rp  1.200 triliun. Namun, sebagian besar masyarakat tidak merasakan dan menikmati dana tersebut. Mereka dipaksa PSBB dan PPKM tanpa dijamin kebutuhan pokoknya. Ada dana bansos, tetapi hanya dinikmati segelintir orang. Sebagiannya juga dikorupsi. Untuk menutupi kegagalan dan ketidakberpihakan mereka terhadap rakyat maka diangkatlah angka pertumbuhan semu. Seolah-olah Pemerintah berhasil mengatasi pandemi dan krisis ekonomi. Kenyataannya krisis bukan berakhir, tetapi malah akan memicu terjadi gempa ekonomi dengan semakin tingginya utang, kemiskinan, tsunami PHK dan dominasi investasi asing terhadap Ekonomi Indonesia.

 

Bagaimana standar kesejahteraan dalam Islam?

Islam memandang kesejahteraan itu sebenarnya bukan hanya dilihat dari aspek ekonomi. Faktanya, dari segi ekonomi negara-negara kapitalis banyak yang terpenuhi kebutuhan pokoknya, tetapi kelihatannya banyak yang hidupnya tidak sejahtera. Karena itu Islam mendefinisikan kesejahteraan sebagai kondisi saat seseorang dapat mewujudkan semua tujuan (maqashid) syariah, yakni: (1) terlindungi kesucian  agamanya; (2) terlindungi keselamatan dirinya; (3) terlindungi akalnya; (4) terlindungi kehormatannya; (5) terlindungi hak miliknya/hak ekonominya .

Jadi  dalam pandangan Islam, kesejahteraan  bukan hanya merupakan hasil dari kebijakan ekonomi yang lahir dari sistem ekonomi, tetapi berhubungan dengan kebijakan-kebijakan yang lainnya yang lahir dari sistem yang lannya seperti sistem hukum, sistem politik, sistem budaya dan sistem pergaulan sosial.

Dalam aspek ekonomi Islam menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu secara sempurna sebagaimana yang tercermin dalam politik ekonomi. Politik Ekonomi Islam, seperti yang dijelaskan oleh Abdurahman al-Maliki (2001) dalam bukunya, As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah al-Mutslâ (Politik Ekonomi Ideal), adalah jaminan  pemenuhan atas pemuasan semua kebutuhan  primer (sandang, pangan dan papan) setiap orang serta pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat tertentu yang memiliki gaya hidup yang khas.

 

Lalu apa saja parameter Islam mendefinisikan sebuah negara sejahtera?

Kalau kita melihat definsi sejahtera dalam pandangan Islam seperti yang saya jelaskan di atas, maka indikator sebuah negara itu sebagai negara sejahtera adalah jika negara mampu menjamin maqashid asy-syari’ah, seperti yang saya sebutkan di atas, bagi setiap individu masyarakat bukan secara kolektif.  Dalam konteks ekonomi sebuah negara dikatakan sejahtera jika setiap individu bisa memenuhi kebutuhan pokoknya baik kebutuhan pokok dalam bentuk barang seperti sandang, pangan dan  papan; maupun kebutuhan pokok jasa seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan.

Jadi indikator kesejahteran dalam Islam bersifat individual, bukan indikator global seperti dalam sistem kapitalis, yang bersifat komunal seperti GNP dan income perkapita dan pertumbuhan ekonomi. Semuanya itu merupakan indikator kesejahtertaan semu.

 

Lalu apa langkah-langkah yang wajib dilakukan sebuah negara agar mencapai pertumbuhan riil yang benar-benar menyejahterakan rakyatnya?

Pertumbuhan riil yang benar benar menyejahterkana rakyat terwujud kalau sistem ekonomi yang dikembangkan berbasis sistem ekonomi riil dan tidak mengabaikan distribusi atau pemerataan. Untuk mewujudkan itu maka negara harus menghentikan liberalisasi ekonomi dan menata sistem kepemilikan. Sistem kepemilikan harus ditata ulang dengan mengelompokkan SDA menjadi kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Begitu juga kepemilikan industri harus disesuaikan dengan konsep kepemilikan SDA. SDA dan Industri yang menjadi hajat hidup orang banyak dan industri strategis seperti industri migas, batubara, hutan dan sumberdaya air harus dikelola oleh negara baik dalam bentuk Badan Usaha Milik Umum (BUMU)  atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sistem ekonomi yang mampu mewujudkan pertumbuhann riil yang benar benar mensejahteraakan setiap individu  rakyat hanya ada dalam sistem ekonomi Islam. Dengan kata lain, kalau negara dan pemimpinnya memang serius ingin mengurus rakyat, maka tinggalkan sistem ekonomi kapitalis liberal dan ganti dengan sistem ekonomi Islam yang sudah terbukti selama kurang lebih 13 abad mensejahterkan umat manusia, baik Muslim maupun non-Muslim.

 

Apa yang perlu dilakukan oleh umat Islam melihat realitas pertumbuhan ekonomi semu Pemerintah?

Umat Islam harus menyadari bahwa sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan oleh Pemerintah hanya menghasilkan pertumbuhan dan kesejahteraan semu. Mereka juga harus memahami dan menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan riil hanya bisa diwujudkan dalam sistem ekonomi Islam. Karena itu saatnya umat Islam merapatkan barisan untuk bersama-sama berjuang mengganti sistem ekonomi kapitalis dengan sistem ekonomi Islam. Karena penerapan sistem ekonomi berhubungan erat dengan sistem lainnya terutama sistem politik, maka perjuangan umat juga harus mengarah pada perjuanagn perubahan sistem politik dan sistem ekonomi dari kapitalis menuju sistem Islam. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

20 − twelve =

Back to top button