Ust Rokhmat S Labib: Kita Harus Tetap Sabar dan Istiqamah
Bila membaca sirah Nabi Muhammad saw. secara utuh, pastilah akan dapat disimpulkan, bahwa hijrah yang dilakukan bukanlah karena menghindari persekusi yang semakin menjadi, apalagi lari dari dakwah yang telah diwajibkan Ilahi. Lantas apa yang mendorong Rasulullah saw. hijrah ke Madinah? Yang tak kalah pentingnya, apa relevansinya dengan kaum Muslim saat ini?
Temukan jawabannya dalam wawancara Redaksi dengan Ketua Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ustadz Rokhmat S Labib. Berikut petikannya.
Ustadz, apa sebetulnya yang mendorong Rasulullah saw. beserta para sahabatnya dakwah ke Madinah?
Setidaknya ada dua hal, yakni dakwah Islam dan pendirian Daulah Islamiyah. Keduanya ada di Madinah. Mereka siap untuk menerima dakwah Rasululullah saw. Mereka pun menyiapkan wilayah mereka untuk dijadikan negara Islam dengan Rasulullah saw. sebagai pemimpinnya. Itulah yang mendorong Rasulullah saw. hijrah ke Madinah.
Apakah kedua hal itu tidak dijumpai di Makkah?
Bisa dikatakan tidak ada. Pasalnya, setelah bertahun-tahun Rasulullah saw. mendakwahi mereka, mengajak mereka pada Islam, dan meninggalkan akidah beserta tatanan hidup mereka yang rusak, hanya sedikit di antara mereka yang menerima. Sebagian besar menolak. Bahkan mereka melakukan berbagai tindakan jahat untuk menghalangi dakwah. Apalagi setelah kematian paman beliau, Abu Thalib, yang senantiasa melindungi dakwah. Sikap mereka semakin keras dan beringas.
Menghadapi kondisi masyarakat yang jumud dan membatu seperti itu, harus dicari lahan baru yang bisa menerima dakwah. Rasulullah saw. datang ke Thaif untuk menawarkan Islam kepada mereka. Namun, mereka pun menolak beliau dengan sangat kasar dan tidak beradab.
Beliau kemudian mendatangi kabilah-kabilah lainnya. Di antaranya adalah Bani Kindah, Bani Amir bi Sha’sha’ah, Bani Kilab dan Bani Hanifah. Mereka juga menolak seruan dakwah. Bahkan ada yang menolak beliau dengan cara sangat kasar, seperti yang dilakukan oleh Bani Hanifah.
Jadi memang penerimaan dakwah itu ada di Madinah?
Ya. Setelah mendapatkan penolakan di sana sini, akhirnya beliau bertemu dengan orang-orang Khazraj dari Madinah. Setelah terjadi dialog, mereka pun menyatakan masuk Islam. Mereka akan berjanji menyampaikan Islam kepada keluarga, tetangga dan orang-orang Madinah. Ternyata mendapatkan sambutan yang luas.
Tahun berikutnya, ketika musim haji, mereka datang dengan rombongan lebih banyak. Terjadilan Baiat Aqabah I. Setelah mereka pulang, Rasulullah saw. mengirim Mush’ab bin Umair untuk mengajarkan Islam di sana. Tidak ada rumah kecuali membicarakan Islam dan Rasulullah saw. Tak hanya rakyat jelata, banyak tokoh dan pemimpin mereka juga masuk Islam. Penerimaan terhadap dakwah sangat besar. Tidak ada penganiayaan terhadap kaum Muslim. Hanya dalam setahun, dakwah Islam mengalami perkembangan yang amat pesat. Bahkan melebihi Makkah yang sudah didakwahi bertahun-tahun.
Dengan demikian, Madinah jauh lebih layak dibandingkan Makkah untuk pengembangan dakwah Islam. Masyarakat Madinah lebih berpotensi sebagai tempat cahaya Islam memancar daripada Makkah.
Lalu pada musim haji kedua, terjadilah Baiat Aqabah II. Para pemimpin dan tokoh Kabilah Khajraj dan Aus itu melakukan baiat terhadap Rasulullah saw. Di antara hal yang amat penting dalam baiat itu adalah kesediaan mereka untuk mendengar dan taat kepada beliau dalam keadaan apapun. Mereka pun rela berperang untuk menjaga, melindungi dan membela Nabi saw. Itu berarti telah terjadi penyerahan kepemimpinan dari mereka kepada Rasulullah saw.
Setelah Rasulullah saw. hijrah, otomatis tampuk kekuasaan langsung dipegang oleh beliau. Dengan begitu, Madinah menjadi Daulah Islamiyah. Negara Islam inilah yang menerapkan Islam secara total dalam kehidupan dan mengembannya ke seluruh dunia. Negara itu pula yang akan menghilangkan semua rintangan fisik yang menghalangi dakwah dan penerapan Islam.
Dengan demikian, yang mendorong Rasul saw. berhijrah ke Madinah adalah: penerimaan terhadap dakwah dan kesiapan bagi pendirian Daulah Islamiyah. Di sanalah cikal bakal Daulah Islamiyah berdiri. Islam tegak dan dijalankan dengan sempurna. Dakwah pun berkembang cepat. Bahkan Makkah yang sebelumnya menghalangi dakwah pun dengan mudah ditaklukkan. Penduduknya masuk Islam berbondong-bondong. Dalam tempo sekitar sepuluh tahun, seluruh Jazirah Arab berada dalam kekuasaan Islam.
Jadi hijrah Nabi saw. bukan karena beliau takut dan menghindari persekusi dari kaum kafir Quraisy?
Bukan.
Mengapa?
Kalau itu yang menjadi sebabnya, niscaya beliau sudah lama meninggalkan Kota Makkah. Nyatanya tidak. Bertahun-tahun beliau dan para sahabatnya mendapatkan ancaman, intimidasi, teror, pemboikotan dan lain-lain. Faktanya, semua itu tidak melemahkan beliau sedikit pun dalam berdakwah. Langkah beliau tidak surut. Beliau sama sekali tidak mempertimbangkan penderitaan dan mengkhawatirkan kematian. Sebaliknya, beliau sangat yakin dengan pertolongan Allah SWT.
Namun, juga harus diingat, melanjutkan dan mempertahankan dakwah kepada masyarakat yang sudah jumud dan membatu tidak akan membuahkan hasil yang banyak. Karena itu beliau melihat bahwa dakwah harus dialihkan dari kondisi masyarakat semacam ini ke kondisi masyarakat lainnya. Lalu beliau berpikir tentang kemungkinan hijrah dari Makkah. Inilah yang membawa beliau untuk hijrah ke Madinah. Bukan karena beliau dan para sahabatnya sering mendapatkan siksaan.
Bukankah malam sebelum beliau hijrah, rumah beliau dikepung oleh para pemuda dari berbagai kabilah untuk membunuh beliau?
Peristiwa itu memang benar. Namun, bukan itu yang menyebabkan beliau hijrah. Sebelumnya beliau sudah memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah terlebih dulu. Beliau sendiri menunggu perintah dari Allah SWT untuk hijrah. Ini bisa diketahui dari jawaban Rasulullah saw. ketika Sayidina Abu Bakar meminta izin kepada beliau untuk hijrah ke Madinah. Beliau bersabda, “Janganlah kau terburu-buru. Semoga Allah menjadikan bagimu seorang teman.”
Akhirnya, suatu hari beliau diberi tahu oleh Jibril untuk segera hijrah malam itu setelah orang-orang musyrik bersepakat untuk membunuh beliau. Keputusan mereka itu harus dibaca sebagai ketakutan mereka terhadap hijrah Nabi saw. Sebab, setelah banyak umat Islam yang hijrah ke Madinah, mereka amat khawatir jika itu akan mengokohkan dakwah Islam. Apalagi jika Rasulullah saw. ikut hijrah dan membangun kekuatan di Madinah. Itu akan menjadi kecelakaan besar dan kehancuran bagi kafir Quraisy.
Atas perhitungan itulah, kafir Quraisy memutuskan untuk membunuh beliau agar tidak sempat menyusul kaum Muslim di Madinah.
Jadi, hijrah Rasulullah semata-mata hanya menjalankan perintah Allah dalam rangka melangsungkan dakwah dan menegakkan Daulah Islam di Madinah?
Ya, benar.
Mendirikan negara itu kan ada kondisi sunnatullah yang perlu dipersiapkan. Apa yang dilakukan Rasulullah saw. sebelum hijrah?
Tetu saja. Pertama: mempersiapkan masyarakat Madinah untuk menerima Islam sepenuhnya. Inilah yang dilakukan Rasulullah saw. Untuk itu, beliau mengutus Mush’ab ke Madinah. Tugasnya membacakan al-Quran, mengajarkan Islam dan memberi pemahaman agama kepada mereka. Dia tidak pernah berhenti mengajak orang-orang pada Islam. Hasilnya, tidak satu pun rumah kaum Anshar kecuali di dalamnya dihuni laki-laki dan wanita-wanita Muslim.
Dalam jangka setahun, Mush’ab mampu membalikkan pemikiran di Madinah dari penyembahan berhala ke tauhid dan keimanan. Demikian juga perasaan mereka sehingga membenci kekufuran beserta semua perilakunya.
Kedua, mengokohkan dukungan dan loyalitas para tokoh dan pemimpin mereka. Ini juga dilakukan oleh Mush’ab. Beliau mampu mendakwahi Usaid bin Hudhair, Saad bin Muadz, dan lain-lain. Mereka adalah para pemimpin di tengah kaumnya. Para pemimpin inilah yang kemudian menyerahkan kepemimpinannya kepada Rasulullah saw. pada Baiat Aqabah II.
Karena kesiapan dua hal tersebut, maka ketika Rasulullah saw. sampai di Madinah, beliau langsung diterima sebagai pemimpin mereka. Sejak itu berdirilah sebuah dawlah (negara) dengan Rasululullah saw. sebagai kepala negaranya.
Dalam konteks sekarang, pemahaman dan spirit apa yang harus kaum Muslim lakukan dengan adanya peristiwa hijrah ini?
Pertama: Penerapan syariah secara kâffah membutuhkan negara. Tak mungkin Islam diterapkan secara kâffah tanpa ada negara. Untuk itu diperlukan adanya penerimaan dari masyarakatnya. Agar bisa diterima, dilakukan dakwah terus-menerus hingga terjadi perubahan mendasar pada pemikiran dan perasaan mereka. Jika sebelumnya pemikirannya tidak islami, harus dirombak menjadi islami. Jika sebelumnya perasaannya menyukai kekufuran, harus diubah menjadi perasaan yang mencintai Islam dan membenci kekufuran.
Kedua: Ketika dakwah di sebuah masyarakat mengalami kejumudan, maka harus dilakukan perluasan dakwah kepada masyarakat lainnya yang lebih berpotensi untuk menerima dakwah dan lebih siap menjadi cikal bakal berdirinya Daulah Islamiyah. Tidak boleh mematok dakwah hanya di masyarakat tertentu.
Setelah hijrah, umat Islam memiliki negara. Di dalamnya syariah Islam diberlakukan. Kekuasaannya dipegang oleh Rasulullah saw. Sejak itu perubahan besar terjadi. Jika sebelumnya mereka lemah dan tertindas, mereka menjadi umat yang kuat dan mulia. Keunggulan dan kehebatan Islam dapat disaksikan oleh setiap orng lantaran diterapkan dalam kehidupan nyata oleh negara.
Keadaan itu terus berlangsung, sekalipun umat ini ditinggal Rasulullah saw. Sebab, setelah beliau wafat, segera kekuasaan dilanjutkan oleh Sayidina Abu Bakar ra. dan para khalifah berikutnya. Itu berlangsung sekitar 13 abad hingga Khilafah Utsmani diruntuhkan oleh Musthafa Kemal laknatullah dan negara-negara kafir penjajah.
Sejak saat itu kaum Muslim nasibnya seperti anak-anak yatim. Lihatlah Palestina, Suriah, Rohingya, Afghanistan, Irak, dan lain-lain. Semuanya menderita karena tidak ada institusi yang melindungi mereka.
Saat ini Islam juga tidak bisa ditegakkan secara kâffah. Negara-negara yang menaungi mereka bukan saja tidak memberlakukan syariah, namun bahkan memusuhi dan memerangi siapa pun yang berjuang menegakkannya.
Oleh karena itu, siapa pun yang menginginkan keadaan Islam dan umatnya sebagaimana pasca hijrahnya Rasulullah saw., maka harus mencontoh apa yang dikerjakan oleh beliau.
Lalu bagaimana sikap kita dalam menghadapi tantangan dan hambatan dalam perjuangan saat ini?
Pertama: Kita harus sabar dalam dakwah. Jika kita bicara tantangan dan hambatan, itu juga dialami oleh Rasulullah saw. Bahkan, semua rasul. Dalam menghadapi semua itu, Allah SWT memerintahkan mereka untuk bersabar. Ini disebutkan dalam banyak ayat. Juga mengokohkan sikap istiqamah. Tidak berpaling, bergeser, atau mundur dari dakwah, apa pun yang terjadi.
Sikap tersebut hanya bisa terjadi ketika memiliki keimanan dan keyakinan yang kuat. Yakin bahwa tidak ada yang bisa menimpakan musibah kecuali dengan izin Allah SWT. Yakin bahwa semua orang yang memusuhi agama-Nya pasti akan binasa dalam keadaan hina. Yakin bahwa pertolongan Allah SWT pasti tiba. Yakin bahwa amalnya akan mendapatkan pahala yang besar dan balasan surga. Dengan keyakinan tersebut, sebesar apa pun ancaman dan intimidasi tidak akan berpengaruh.
Kedua, tetap terikat kuat dengan metode (tharîqah) dakwah Rasulullah saw. Apa pun tantangan dan hambatannya, tidak membuat kita bergeser sedikit pun dari tharîqah-nya. Sebab, tharîqah itulah yang disyariatkan sehingga wajib diikuti dan dicontoh. Tharîqah itu pula yang terbukti nyata mengantarkan pada keberhasilan. Berhasil menegakkan Daulah Islam. Karena itu siapa pun yang mendapatkan pahala dalam perjuangannya dan memperoleh keberhasilan sebagaimana Rasulullah saw., maka ikutilah tharîqah-nya.
Inilah setidaknya yang harus kita lakukan dalam mendakwahkan agama-Nya dan menghadapi tantangan dan hambatan dakwah.[]