Hiwar

Ust Rokhmat S. Labib: Takwa Itu Taat Secara Kaafah

Pengantar Redaksi:

Ramadhan telah berakhir. Puasanya telah berlalu. Idul Fitri pun sudah kita rayakan saat ini. Idealnya, umat Islam yang menjalani puasa Ramadhan sebulan penuh menjadi pribadi yang bertakwa.

Pertanyaannya: Apa itu takwa? Apakah takwa bersifat individual? Bagaimana dengan kondisi umat hari ini yang masih jauh dari kata takwa? Apa penyebabnya? Bagaimana pula solusinya? Apa dan bagaimana pula seharusnya umat Islam dalam menyikapi kondisi mereka yang terpuruk di berbagai bidang kehidupan?

Itulah di antara pertanyaan yang diajukan Redaksi kepada Ustadz Rokhmat S. Labib dalam wawancara kali ini.

 

Apa makna Idul Fitri bagi Umat Islam, Ustadz?

Idul Fitri adalah salah satu dari hari raya umat Islam. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah saw. kepada Abu Bakar ra., “Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari raya dan inilah hari raya kita.” (HR al-Bukhari).

Tentu selayaknya umat Islam menyambut hari raya mereka dengan gembira. Menjelaskan hadis di atas, al-Qadhi ‘Iyadh dalam Kitab Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâid Muslim  berkata, “Ini adalah hari raya kami.”

Di dalam hadis di atas terdapat dalil untuk menampakkan kebahagiaan dan sebab-sebab yang membuat gembira pada hari raya-hari raya itu

Umat Islam pun bergembira dan bersyukur karena mendapatkan taufik dari Allah SWT untuk menyelesaikan ibadah puasa yang telah Dia wajibkan. Ia juga bergembira karena dapat berharap untuk mendapatkan pahala dan rahmat-Nya setelah mengerjakan perintah-Nya.

Kegembiraan itu pun diwujudkan dengan melakukan ibadah dan ketaatan lainnya. Dengan takbir, tahmid, tasbih, tahlil, shalat id, silaturahum, dan lain-lainnya. Tentu ini jauh berbeda dengan perayaan hari raya selain Islam yang mengisi kegembiraan hanya dengan senang-senang, bahkan dengan berbagai kemaksiatan.

 

Selain rasa gembira, apa yang didapatkan umat Islam setelah menjalani puasa sebulan penuh?

Menjadi lebih bertakwa. Sebagaimana disebutkan dalam ujung ayat yang mewajibkan puasa adalah la’allakum tattaqûn; agar kalian bertakwa. Takwa adalah hikmah dari kewajiban puasa. Ketika puasa dihayati dan dikerjakan dengan benar, ia akan mendapat hasil itu, yakni takwa.

 

Apa makna takwa yang sebenarnya?

Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ulama tentang takwa. Yang paling popuer adalah definisi takwa yang dikemukakan oleh Thalq bin Habib, salah seorang Taabi’iin murid Ibnu ‘Abbas ra. Menurut Thalq: Takwa adalah amalan ketaatan kepada Allah SWT sesuai dengan petunjuk-Nya, dengan mengharap pahala-Nya dan menjauhi kemaksiatan kepada-Nya sesuai petunjuk-Nya, dengan perasaan takut akan azab-Nya.

Definisi tersebut menunjukkan bahwa ketakwaan meniscayakan ketaatan pada syariah secara keseluruhan. Apa pun yang diperintahkan, dikerjakan. Sebaliknya, apa pun yang dilarang, ditinggalkan dan dijauhi.

Sikap itu pula yang dihasilkan dari ibadah puasa. Puasa melatih kaum Muslim menahan diri dari makan dan minum serta syahwat seksual pada siang hari. Mereka pun tidak berani makan, minum dan berhubungan suami istri pada waktu dilarang makan. Mereka baru berani melakukan semua itu ketika itu dibolehkan oleh syariah. Ketaatan seperti itulah yang diajarkan oleh puasa.

Ketika seseorang mampu menahan hawa nafsunya dari makan dan minum pada siang hari, semestinya bisa lebih mudah bagi dia menahan dari makan dan minum yang diharamkan. Ia tidak tertarik makan harta korupsi, suap, riba, dan lainnya. Ketika dia berhasil menahan nafsu syahwatnya kepada istrinya pada siang hari, semestinya dia tidak tergoda dengan wanita yang bukan istrinya.

Jika pada bulan Ramadhan dapat bangun malam terakhir untuk sahur dan shalat malam, maka itu akan menjadi kebiasaan yang akan terbawa setelah Ramadhan usai. Demikian juga semangat membaca al-Quran, shalat jamaah di masjid, mendatangi majelis taklim, itikaf dan berbagai kegiatan positif lainnya. Semua akan terus dilanjutkan pasca  Ramadhan.

Itulah hasil puasa dan amaliah bulan Ramadhan. Ketika dihayati dan diamalkan dengan benar, akan menghasilkan pribadi-pribadi yang bertakwa.

 

Apakah ketakwaan itu bersifat individual semata?

Tentu tidak. Sebabnya, takwa meniscayakan ketaatan secara kâffah atau menyeluruh terhadap syariah. Tanpa terkecuali. Faktanya, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Tak hanya perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak serta kehidupan privat lainnya. Islam juga juga mengatur hubungan sesama manusia seperti sistem ekonomi, sistem pemerintahan, politik pendidikan, sistem sanksi terhadap para pelanggar hukum dan kehidupan umum lainnya. Semua hukum itu wajib ditaati, diamalkan, dan diterapkan.

Jika hanya mau mengerjakan sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya, bahkan menolak dan memusuhinya, jelas bukan takwa. Sebagai contoh, coba perhatikan firman Allah: Yaa ayyuha al-ladziina aamanuu kutiba لlaykum al-qishaash fii al-qathlaa. Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian (melaksanakan) qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh (QS al-Baqarah [2]: 178).

Dalam ayat ini Allah SWT mewajibkan hukuman qishaash atas orang yang melakukan tindakan pembunuhan sengaja. Kata yang digunakan untuk kewajiban ini adalah kutiba. Sama persis dengan ayat yang mewajibkan puasa. Al-Farra’, sebagaimana dikutip oleh Dr. Muhammad Ali al-Shabuni dalam kitab Rawâi’u al-Bayân fî Tafsîr آyât al-Ahkâm, mengatakan bahwa semua kata kutiba dalam al-Quran bermakna furidha. Artinya: diwajibkan. Itu artinya, kaum Muslim wajib menerapkan hukuman tersebut, sebagaimana kewajiban mereka berpuasa. Jika mereka tidak mau meninggalkan puasa, demikian pula hukuman tersebut. Pasalnya,  ketentuan hukum itu sama-sama datang dari Allah SWT.

Jika dalam ujung ayat tentang kewajiban puasa disebutkan: la’allakum tattaqûn, agar kalian berpuasa; demikian juga dengan ayat tentang kewajiban hukuman qishaash. Ayat itu jelas menyebutkan bahwa pelaksanaan hukuma qishaash itu juga membuat kaum Muslim menjadi bertakwa.

Oleh karena itu, ketakwaan tidak boleh diartikan secara sempit, hanya berkenaan dengan hukum-hukum yang mengatur kehidupan privat, namun juga berbagai hukum yang mengatur kehidupan publik.

 

Benarkah umat Islam saat ini belum merasakan kebahagiaan paripurna saat Idul Fitri karena masih banyak persoalan yang membelit umat Islam?

Benar. Kebahagiaan hakiki dalam pandangan kaum Muslim adalah mendapatkan ridha Allah SWT. Hal itu bisa diraih dengan menjalan ketaatan total kepada Allah SWT, yakni dengan menjalankan syariah-Nya secara kaaffah.

Seperti kita tahu bersama, sangat banyak hukum syariah yang belum terlaksana, terutama yang hukum-hukum yang mengatur hubungan sesama manusia. Penyebabnya jelas, karena tiada Khilafah. Hukum qishaash seperti yang  disebutkan di atas beserta nizhâm al-‘uqûbât (sistem sanksi dalam Islam) tidak diterapkan karena tidak ada institusi pelaksananya. Demikian juga sistem ekonomi, sistem pendidikan, politik pendidikan dan politik luar negeri. Semuanya tidak dijalankan. Bagaimana kita bisa  bergembira saat hukum Islam tidak diterapkan, sementara yang diterapkan justru yang bersumber dari ideologi sekularisme-kapitalisme?

Juga telah maklum bahwa sikap berpaling dari syariah itu menjadi penyebab kesengsaraan dan penderitaan. Ketika tidak ada Khilafah yang menyatukan umat, maka umat Islam menjadi bercerai-berai. Terkotak-kotak dalam negara-bangsa lebih dari lima puluh negara. Akibatnya, mereka mudah dikalahkan oleh negara-negara kafir penjajah dan diadu-domba oleh mereka.  Kekayaan alam yang melimpah-ruah dirampok dan dijarah oleh mereka sehingga sebagian besar umat Islam ada dalam jurang kemiskinan. Akidah dan pemikiran umat Islam digerogoti sehingga mereka jauh dari Islam, bahkan bersikap memusuhi ajaran agamanya. Masih banyak hal lain yang memprihatinkan. Sungguh sangat menyedihkan.

 

Lalu apa yang harus dilakukan oleh umat Islam?

Umat Islam tidak boleh diam dan berpangku tangan membiarkan fakta ini. Umat Islam harus bangkit mengubah keadaan tersebut. Sebabnya, Allah SWT hanya akan mengubah nasib suatu kaum ketika kaum itu menghendaki dan melakukan perubahan.

 

Bagaimana agar perjuangan semakin menggelora pasca Idul Fitri?

Harus dingatkan dengan ketakwaan. Takwa mewajibkan kita untuk berjuang sungguh-sungguh untuk menegakkan Islam secara kaaffah.  Ingatlah bahwa Allah SWT berfirman: Fattaquu maa istatha’tum. Artinya: Bertakwalah kamu kepada Allah sekuat kemampuanmu! (QS al-Taghabun [64]: 160).       Ayat ini memerintahkan kita semua untuk bertakwa kepada-Nya dengan sepenuh kemampuan. Bukan setengah, sepertiga, seperempatnya, atau semaunya. Namun,  sesuai dengan kemampuan yang sebenarnya.

Ingat juga bahwa melalaikan kewajiban merupakan perbuatan dosa yang mengantarkan pelakunya mendapatkan murka dan siksa-Nya. Juga harus terus diingat, waktu kita hidup di dunia sangat sebentar dan kita tidak tahu kapan berakhirnya. Maka dari itu, kita harus menggunakan sebaik-baiknya dan mengisi hidup kita dengan perjuangan menegakkan Islam.

Kita harus memiliki keyakinan sangat kuat ketika Islam diterapkan secara kaaffah akan melahirkan kebaikan, keberkahan dan rahmat dari Allah SWT. Umat ini hanya akan mendapatkan kembali kemuliaan dan kejayaannya dengan Islam. Tidak dengan Kapitalisme, Sosisalisme, demokrasi, nasionalisme dan semua sistem selain Islam. Sebaliknya, semua ide dan sistem selain Islam hanya akan menyengsarakan Islam.

Ini seperti yang dikatakan Sayidina Umar ra.: “Inna kunna adzalla qwm[in], fa a’azzanaalLaahu bi al-Islaami. Fa mahmaa nathlubu al-‘izzata bi ghayri maa a’azzanaalLaahu bihi, adzallanalLaahu.” Artinya: “Kita dulu adalah kaum yang paling hina. Lalu Allah memuliakan kita dengan Islam. Karena itu jika kita mencari kemuliaan selain dengan apa yang dengan itu Allah telah membuat kita mulia, maka Allah pasti akan menghinakan kita.”

Tidak kalah pentingnya, kita harus terus menggalakkan persaudaraan, persatuan dan solidaritas sesama umat Islam. Sebabnya, perjuangan ini demi ‘izzah al-Islâm wa al-Muslimîn, untuk kejayaan dan kemulian Islam dan umatnya.

Tak ada satu pun alasan yang membuat kita ragu, pesimis atau mundur ke belakang. Kita yakin bahwa perjuangan menegakkan Islam itu tidak akan sia-sia. Allah SWT akan memberikan pahala besar kepada pelakunya. Perjuangan ini juga akan membuahkan kemenangan. Allah SWT pasti memenangkan Islam atas semua agama dan ideologi lainnya. Allah SWT telah menjanjikan pertolongan kepada siapa pun yang menolong agama-Nya. Apalagi ada kabar gembira dari Rasulullah saw. bahwa pasca berkuasanya mulk[an] jabriyyah, penguasa diktator, umat Islam akan kembali berada dalam kepemimpinan Khilafah ‘alâ minhâj al-nubuwwah.  Semuanya membuat kita terus bersemangat untuk terus bejuang menegakan Islam secara kaaffah. []

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fifteen − eleven =

Back to top button